SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Sabtu, 21 Agustus 2010

The Year Of Living Dangerously - Christopher Koch

Bagaimana orang barat memandang Indonesia? Anda bisa membaca novel ini untuk mengetahui cara pandang seorang Australia tentang Indonesia. Christoper Koch menulis novel "The Year of Living Dangerously" dengan setting Indonesia tahun 1964-1965. Selama ini kita tahu bangsa kita menulis tentang kita sendiri, hanya jarang sekali orang barat menulis tentang kita. Hasilnya memang sungguh membuat kita asing akan diri kita sendiri. Bukan karena persepsinya melulu salah, melainkan karena kita menemukan diri kita yang tak pernah terlihat oleh kita sendiri. Dibutuhkan orang asing untuk memberitahu siapa diri kita sebenarnya. Kita seperti diberikan cermin yang berbeda dari yang biasa kita pakai melihat diri sendiri.


Christopher Koch juga tidak berarti selalu benar melihat kita. Beberapa kesalahan penggambaran lokal dalam novel ini menunjukkan bahwa dia tidak tinggal cukup lama di Indonesia untuk benar-benar memahaminya. Namun itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah kita bisa merekonstruksikan arkeologi pemikiran orang barat tentang Indonesia. Mungkin bias, tapi justru itulah gunanya membaca novel ini, untuk mengetahui bagaimana ada perbedaan cara pandang antar budaya. Untuk mengetahui perspektif historis lainnya.


Novel ini adalah novel romansa dengan bumbu thriller politik, mengisahkan hari-hari terakhir Soekarno menjadi presiden dan Panglima Besar Revolusi. Judul "The Year of Living Dangerously" sendiri adalah terjemahan bebas dari pidato Bung Karno yang menyebutkan istilah "Vivere Pericoloso" (dari bahasa Italia yang kira-kira artinya "tahun yang berbahaya"). Novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia pada zaman orde baru. Sebenarnya bukan karena buku ini membawa fakta baru kudeta G30S/PKI, melainkan, menurut saya, hanya karena rezim Orde Baru berniat untuk mempertahankan diri sebagai referensi tunggal peristiwa G30S/PKI. Segala versi lain, meskipun mirip atau hanya menyerempet, tidak akan direstui karena tidak resmi dari Orde Baru. Apalagi sebuah buku yang menceritakan kedua sisi secara berimbang seperti ini.


Begitu pula filmnya, sempat dilarang sampai akhirnya Orde Baru ambruk. Filmnya dibintangi oleh Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt (meraih Oscar di film ini). Film, yang diadaptasi oleh Koch sendiri dari buku ini, akhirnya mengambil tempat shooting di Filipina, karena sudah pasti ditolak oleh Pemerintah Orde Baru untuk shooting di Jakarta. Menurut saya, buku ini terinspirasi oleh film Casablanca, dimana Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman sebagai dua orang asing terlibat percintaan di tengah spionasi dan pergolakan perang yang mendekat di suatu negeri yang jauh di timur.


Narator dalam buku ini adalah seorang wartawan asing bernama Cookie yang ditugaskan sebagai koresponden di Indonesia pada tahun 1964-1965. Dikisahkan dalam buku ini Guy Hamilton, seorang wartawan Australia, ditugaskan menjadi koresponden di Indonesia. Dia bergabung dengan klub tidak resmi wartawan asing di Indonesia yang selalu berkumbul di Bar Wayang, Hotel Indonesia. Dibandingkan dengan wartawan lain di klub Bar Wayang seperti Cookie, Wally O'Sullivan, Pete Curtis, dan lain-lain, Guy masih hijau dan tidak berpengalaman. Dia frustrasi untuk menemukan jalan untuk mendapatkan berita.


Akhirnya Guy dikenalkan pada Billy Kwan, seorang kate keturunan Cina yang berkebangsaan Australia, yang sering mendapatkan ejekan. Billy adalah seorang kamerawan lepas yang cerdas, eksentrik, dan idealis. Awalnya dia sangat kagum dengan Soekarno, lama kelamaan kekagumannya berubah karena melihat kemiskinan meluas dimana-mana. Guy menyewa jasa kamerawan Billy dengan kebebasan penuh, dan Billy akan memberikan timbal balik kepada Guy untuk membantunya mendapatkan sumber berita. Dengan bantuan Billy, Guy mendapatkan wawancara dari tokoh-tokoh tinggi di Indonesia, termasuk Aidit, ketua PKI. Seketika itu Guy menjadi superstar di kalangan wartawan asing. Reputasinya semakin bersinar mengalahkan senior-seniornya di Bar Wayang.


Billy Kwan juga mengenalkan Guy kepada Jill Bryant, wanita cantik yang bekerja pada Kedutaan Besar Inggris. Billy menjodohkan mereka secara tidak langsung, dan ternyata berhasil, mereka akhirnya jatuh cinta satu sama lain.


Merasa aman dengan hubungan percintaannya, Jill memberikan bocoran laporan intelijen Inggris kepada Guy bahwa Cina sedang melakukan pengiriman senjata ke PKI. Senjata tersebut sedianya akan digunakan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima yang mereka usulkan ke Soekarno, yaitu Angkatan Petani. Jill meminta Guy berjanji untuk tidak menjadikan bocoran ini sebagai berita.


Namun Guy Hamilton adalah jurnalis yang penasaran yang dibuai ambisi kesuksesan. Dia berusaha mencari sumber sendiri dan melakukan investigasi diam-diam mengenai berita ini. Di waktu yang sama, Billy Kwan menghilang karena sibuk dengan petualangannya dalam memahami penderitaan rakyat kecil di pedalaman kampung-kampung kumuh Jakarta. Billy juga diusir dari Klub Bar Wayang karena menghina beberapa rekannya. Merasa kehilangan bantuan, Guy menjadi tergantung kepada Kumar, asisten pribadinya, orang Indonesia asli yang diam-diam adalah seorang komunis.


Billy yang idealis dan menghabiskan banyak waktu di perkampungan kumuh Jakarta, semakin marah dengan politik Soekarno yang membangun monumen-monumen mewah dan proyek-proyek ambisius di dunia tapi melupakan rakyatnya yang kelaparan. Dalam suatu acara dimana semua orang asing dan Soekarno akan menghadiri jamuan di Hotel Indonesia, dia berniat untuk mengibarkan spanduk anti Soekarno. Namun sebelum spanduk itu terpasang, Billy terjatuh dari ketinggian Hotel Indonesia dan tewas di depan Guy. Guy curiga dia dibunuh oleh Dinas Rahasia Soekarno.


Setelah itu, Indonesia menjadi tidak kondusif untuk orang asing. Beberapa kedutaan asing diserang. Orang kulit putih dianggap sebagai antek Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme). Bahkan orang Sovyet merasa gerah karena PKI lebih percaya Peking daripada Moskwa. Beberapa wartawan dan orang asing sudah dipulangkan ke negaranya. Jill juga harus pergi ke Singapura tanpa penjelasan kepada Guy.


30 September 1965, PKI melancarkan kudeta yang tidak terorganisir. Mereka menculik jendral-jendral musuhnya dan menduduki bandar udara. Kudeta itu gagal hanya dalam beberapa waktu saja. Guy yang haus akan berita terbesar dalam karirnya, mencoba mendekati Istana Merdeka untuk mencari berita tentang kudeta. Waktu itu, hanya dia satu-satunya wartawan barat yang masih tersisa di Jakarta. Dalam pencarian berita di depan Istana Negara tersebut, Guy Hamilton dipukul popor senapan oleh Tentara AD. Pukulan di kepala tersebut membuat dia terluka dan nyaris buta.


Dia dirawat sendirian di apartemen milik Kedutaan Inggris, terisolir dan tidak bisa melihat apa-apa. Kumar mengunjunginya, menanyakan kabarnya, dan kemudian berpamitan untuk bergabung dengan kamerad-kamerad PKI-nya yang melarikan diri ke daerah pedalaman. Dia berencana untuk membantu mereka melakukan kudeta berikutnya. Guy menasehati agar Kumar tidak bergabung dengan PKI, tapi Kumar sudah teguh dengan pendiriannya. Dia siap menerima setiap konsekuensinya.


Dan Kumar pergi. Kita semua tahu, setelah kudeta yang gagal 30 September, anggota PKI yang tersisa diburu dan dibunuh tanpa ampun.


Guy kemudian melarikan diri dari Indonesia tanpa mengindahkan resiko kebutaan total, mengingat dia belum sembuh benar. Dia bertemu Jill di Singapura yang sedang hamil, dan akhirnya mereka berdua pergi ke Eropa.


Ini adalah novel yang cukup baik menggambarkan masa-masa kelam sejarah Indonesia tersebut. Sebelumnya sangat jarang, hanya bisa dihitung dengan jari, sebuah roman yang menggambarkan masa-masa pemberontakan G 30 S/PKI tanpa adanya sponsor dari pemerintah. Untuk itu, novel ini terhitung berharga untuk bangsa Indonesia.


Indonesia disini dipandang dari kacamata orang asing. Pada masa itu, Indonesia sangat membenci orang asing dengan propaganda Soekarno yang anti Nekolim. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno pernah begitu tegas terhadap dunia. Malaysia diganyang. Amerika dan Inggris "Go to hell!". Keluar dari PBB. Peduli amat dengan blok barat dan timur, Soekarno membuat NEFO (New Emerging Forces).


Soekarno, telah diakui oleh siapapun, selalu membuat decak kagum, bahkan oleh musuh-musuhnya. Dia orator yang sangat ulung dan logis, yang membuat orang-orang tergerak hanya dengan mendengarkannya. Dia punya mimpi besar untuk Indonesia, untuk dunia. Namun seperti anak yang terlalu asyik bermain dengan mainannya, dia lupa menapak ke realitas. Realitasnya adalah rakyatnya miskin dan kekurangan makanan.


Soekarno, di mata orang yang tak pernah bisa memahaminya secara menyeluruh, adalah tiran dan pahlawan. Bahkan orang yang menganggap dia tiran pun mengakui bahwa Soekarno adalah pahlawan terbesar Indonesia. Soekarno selalu menarik untuk diperbincangkan, tak ada habis-habisnya membicarakan Soekarno. Bagaimana kecerdasannya yang melebihi rata-rata. Bagaimana percaya dirinya yang luar biasa. Bagaimana dia benar-benar di dalam hati mencintai petani (seperti Marhen) dan tukang becak. Bagaimana serunya petualangan seksualnya. Bagaimana dia berusaha membangun monumen-monumen untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah Superpower. Monumen Nasional konon dibangun menunjukkan mitos alat kelaminnya berujung emas. Orang membenci sekaligus mencintainya setengah mati. Seperti jatuh cinta, kita jatuh cinta kepada Soekarno, tapi kemudian frustrasi oleh cinta itu sendiri. Seperti Billy Kwan dalam buku ini, yang obsesif terhadap Soekarno.


Buku ini benar-benar bukan novel biasa. Sangat kompleks sebagai thriller psikologis. Sangat detail sebagai roman sejarah. Sangat mencekam sebagai sebuah drama. Sebuah buku yang lengkap, Anda tak akan menyesal membacanya. Ini adalah buku yang penting untuk Indonesia.


Dari orang asing, kita mendapatkan gambaran mengenai sejarah negeri kita. Dari orang asing, kita mengenal stereotip bangsa kita, orang-orang berkulit coklat, dengan etika kerja yang terganggu oleh cuaca yang begitu panas, selalu merokok kretek yang baunya membuat mual, dan menggemari sate.


Ya itulah kita, bangsa Indonesia. Bangsa yang pernah membuat negara-negara besar malu. Bangsa yang kemudian menjadi bangsa yang malu akan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar