SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Rabu, 22 Desember 2010

The History Of Love - Nicole Krauss

Saya jarang membaca buku dua kali. Menurut saya, itu membuang-buang waktu, sementara banyak sekali buku yang ingin saya baca belum tersentuh. Salah satu buku yang saya baca dua kali adalah buku History of Love tulisan Nicole Krauss. Tentunya ada sesuatu yang istimewa dari buku ini hingga saya melanggar kebiasaan saya sendiri.

Saya teringat pertama kali membacanya tahun 2007, saya terganggu, dan mulai membuat puisi berratus-ratus kata setelahnya. Sekarang saya membacanya lagi karena sudah lupa isinya. Yang saya ingat, saya suka sekali buku ini. Setelah membacanya, saya buru-buru menuliskan kembali review dan plot dari buku ini. Inilah tujuan utama saya membuat website ini dari awal, menuliskan kembali apa yang pernah saya baca agar tidak lupa, sehingga saya tidak perlu membacanya kembali.

Pertama kali atau kedua kali baca, pendapat saya tetap: Nicole Krauss adalah orang yang sangat cerdas dan penulis yang sangat berbakat. Buku yang luar biasa ini ditulis ketika wanita ini berumur 31 tahun, usia emas untuk seorang sastrawan.

Buku ini menurut hemat saya adalah sebuah tribut untuk Kafka. Terlihat sekali pengaruh Franz Kafka dalam buku ini. Buku ini juga sebuah perayaan untuk penulisan sastra. Buku ini merayakan Kafka, Tolstoy, Bruno Schulz. Terlihat bahwa Krauss sangat menghormati Nicanor Parra, penyair, dengan beberapa kali menyebut namanya dalam buku ini. Krauss juga terpengaruh dengan Don Quixote-nya Cervantes, dengan beberapa kali menyebutkan namanya dan dalam badan cerita, buku ini mirip Don Quixote. Buku ini adalah cerita tentang sebuah cerita dalam sebuah buku berjudul The History of Love. Dalam buku Don Quixote, tokohnya, Quixano terlalu sering membaca buku yang seakan nyata.

Beberapa orang mungkin resisten terhadap buku ini, karena buku ini membahas tentang agama Yahudi dan bangsa Israel. Bahkan disana-sini terdapat dipakai abjad Ibrani (Hebrew). Penulisnya memang seorang Yahudi asli (seperti juga Franz Kafka dan Boris Pasternak), jadi sangat wajar kalau dia menulis tentang apa yang dia tahu. Menurut saya, unsur-unsur Yahudi dan bangsa Israel yang kental dalam buku ini tak lebih penting dari penggambaran tentang dekorasi sebuah ruangan. Buku ini tetap imajinatif secara universal, di luar batas-batas peradaban, agama, dan negara.

Buku ini adalah tentang perjalanan sebuah buku berjudul History of Love, dan penulisnya, seorang penulis berbakat tak terkenal bernama Leo Gursky. Tokoh pencerita dalam buku ini berpindah-pindah dengan sangat dinamis dan brilian. Pertama Leo Gursky sendiri. Kedua seorang gadis kecil yang tak ada hubungannya dengan Gursky, hanya saja dia dinamakan berdasarkan tokoh dalam buku tulisan Gursky, yaitu Alma. Ketiga adalah Zvi Litvinoff, teman masa kecil Gursky yang membawa pergi naskahnya ke Chile, dan tak pernah bertemu lagi sejak itu. Ada juga Bird, adik Alma yang suka berniat baik turut campur dalam urusan kakaknya dan orang lain, karena menganggap dirinya adalah seorang nabi Yahudi.

Gursky dalam buku ini diceritakan lahir di Slonim, Polandia. Dia gemar sekali mengarang, beberapa temannya ternyata diam-diam mengakui bakatnya ini. Sebagai kritikus yang membangun, adalah seorang Zvi Litvinoff, teman mudanya yang bekerja di surat kabar sebagai penulis obituari yang selalu menyarankan bagaimana seharusnya Gusky menulis. Gursky menjalin hubungan percintaan dengan seorang gadis bernama Alma. Sebagai memoar atas rasa cintanya ke Alma, dia menulis sebuah buku berjudul Sejarah Cinta (The History of Love).

Buku itu belum sempat diberikan kepada Alma, ketika Alma dibawa pergi oleh ayahnya ke Amerika. Alma tidak sempat memberitahu Leo Gursky bahwa percintaan terakhir mereka telah berbuah janin dalam perutnya. Tak lama kemudian pecah perang dunia kedua. Nazi merangsek maju ke Polandia. Zvi Litvinoff melarikan diri ke Amerika Selatan dengan membawa naskah Sejarah Cinta yang ditipkan Gursky padanya. Sementara itu, Gursky menghundari pembantaian orang Yahudi, melarikan diri dan bersembunyi selama bertahun-tahun di hutan.

Setelah perang selesai. Gursky pergi ke Amerika menjemput Alma, yang ternyata tidak kesampaian karena Alma sudah menikah dengan orang lain. Anak dari Gursky, bernama Isaac, dipelihara oleh bapak tirinya, dan belakangan juga menjadi penulis yang dihormati. Isaac tak pernah tahu ayah aslinya. Patah hati, Gursky memutuskan untuk tidak pernah lagi jatuh cinta dengan orang lain. Dia tinggal di Amerika seorang diri, sembari terus mengawasi anaknya diam-diam, dan mengoleksi buku-buku tulisan anaknya. Ketika usianya semakin tua di Amerika, Gursky bertemu teman masa muda lainnya yang juga penulis berbakat bernama Bruno. Bruno sudah cukup lama tinggal di Amerika, dan ketika istrinya meninggal, dia pindah ke gedung apartemen Gursky. Sejak itu mereka menjadi sahabat dan tetangga yang saling menyemangati untuk terus menulis.

Sementara Zvi Litvinoff akhirnya menetap di Chile, dengan bekerja sebagai buruh, pegawai apotik, sampai belakangan seorang guru. Zvi bermimpi menjadi penulis, tapi dia tak kunjung menghasilkan karya yang bagus. Dia berkenalan dengan Rosa, seorang gadis muda yang tertarik akan intektualitas Zvi yang fasih membahas puisi dan karya sastra. Keduanya akhirnya menikah. Karena merasa tidak percaya diri, Zvi yang merasa tua dan miskin berusaha untuk menulis sebuah buku. Tapi karena tidak berbakat, dia menjiplak karya Gursky, menerjemahkannya ke dalam bahasa Spanyol, kemudian membawanya ke penerbit. Buku Sejarah Cinta akhirnya diterbitkan dalam bahasa Spanyol dengan nama Litvinoff sebagai pengarangnya tanpa diketahui Gursky.

Dalam sebuah tapestry fiksi yang nyaman dan menarik, cerita bergulir sampai akhirnya Gursky mendapatkan kembali naskah Sejarah Cinta. Masing-masing pencerita mempunyai plot suspense sendiri dan unik tiap karakter, baik dalam diksi maupun perspektif. Seperti sidik jari yang rumit dan unik, Krauss harus menggambarkan sidik jari untuk banyak orang.

Leo Gursky adalah orang yang imajinasinya berlebih tanpa mampu dikeluarkan. Dia hidup sendiri sampai tua. Bahkan ketika kekasihnya Alma mati, dia tetap hidup sendiri. Bahkan ketika anaknya Isaac mati, dia tetap hidup sendiri. Ini adalah orang yang luar biasa kesepian. Orang yang sangat kelelahan. Dia sudah mengalami terlalu banyak dalam hidupnya, sampai akhirnya kehilangan batas realitas maupun fiksi. Leo terlihat begitu kesepian sampai temannya adalah suara nuraninya sendiri. Orang yang sendiri dan kesepian tidak bisa tidak selalu berpikir tentang kematian dalam segala cara. Itu juga yang ada di benak Gursky.

Dia tidak ingin mati dalam kesendirian. Dia tahu waktunya semakin dekat. Untuk itu dia selalu menjadi pembuat onar, sekedar mencari perhatian di depan umum, agar dia bisa mati di tempat dia terlihat orang. Gursky menjadi model telanjang untuk para pelukis, agar dia berada di sekeliling orang yang melihatnya. Dia sering berpikir, siapa yang akan terakhir melihatnya hidup. Apakah tukang antar masakan Cina? Ataukan dia mati sendirian di dalam apartemennya sampai tiga hari kemudian baru ditemukan, seperti salah seorang tetangganya? Satu hal yang Leo Gursky lebih khawatir adalah bila pikiran dan imajinasinya mati. Dia penulis yang hebat karena dia bermain-main dengan imajinasinya. Kadang tidak ada batas antara realitas dan imajinasi. Bahkan kadang saya mempunyai kesan bahwa Bruno, sahabat dan tetangganya yang sama-sama tua, adalah tokoh imajinernya sendiri.

Bruno dalam buku ini, meskipun hanya sebagai background, mempunyai peran yang sangat vital. Perlu dicatat, dalam sebuah surat dimana secara implisit Bruno memakai samaran "Jacob Marcus", dia bercerita bahwa dia gemar membaca buku Street of Crocodiles. Street of Crocodiles adalah sebuah karya kumpulan cerpen yang cemerlang dari seorang Yahudi yang pendek umurnya dan mati mengenaskan bernama Bruno Schulz. Imajinasi liar kita bisa berkembang, bahwa Bruni teman Leo adalah Bruno Schulz yang lepas dari jeratan maut dan hidup anonim. Tapi ini imajinasi liar saya, Anda tidak perlu mengikutinya, juga tak perlu berusaha untuk membenarkannya.

Leo Gursky digambarkan sebagai seorang penulis cemerlang yang anonim. Dia telah menulis buku Sejarah Cinta dengan dalam. Disinilah kekuatan Nicole Krauss. Dia menulis buku tentang seseorang tua renta bernama Gursky. Sekaligus juga dia berperan sebagai Gursky untuk menulis masterpiece imajiner berjudul Sejarah Cinta. Krauss seakan menulis dua buku. Dan jika pembaca percaya bahwa Gursky adalah penulis yang hebat, tentunya Krauss jauh lebih hebat, karena dia menciptakan Gursky, dan menulis karya hebat untuk tokoh ciptaannya itu.

Saya sempat terkecoh dengan judulnya. Saya pikir buku dengan judul The History of Love terdengar cukup melankolis. Seperti chicklit yang ringan ber-haha-hihi. Kalau boleh jujur, seorang pengarang pria biasanya akan menghindari menulis buku berjudul The History of Love. Tapi ternyata isinya sangat dalam, sangat berbobot. Buku ini (atau kedua buku ini) ditulis dengan cara yang luar biasa.

Senin, 06 Desember 2010

Anna Karenina - Leo Tolstoy

Saya beruntung punya keluarga kutu buku. Suatu saat ketika saya berada di toko buku bersama istri, saya menunjuk buku Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sebagai buku yang ingin saya baca sejak lama. Istri saya malah menaruh kembali buku itu ke rak. Dia bilang saya tidak perlu beli karena di rumah sudah ada.

Sesampainya di rumah, istri saya mulai membongkar-bongkar lemari tua milik mertua saya. Ternyata memang benar dia menemukan buku bekas Anna Karenina milik mertua saya yang sudah lapuk dan menguning. Buku itu terdiri dari 4 jilid, sudah apak dan saya harus sangat hati-hati membalik-balik halamannya karena beberapa kali saya tak sengaja merobeknya. Dalam hati saya bilang, oke, memang Tolstoy adalah penulis tua, dan buku ini ditulis lebih dari seabad yang lalu, tapi kan tidak perlu didramatisir dengan buku yang luntur dan lapuk seperti ini?

Tapi saya memang terlanjur cinta pada buku bekas. Akhirnya buku ini saya bawa kemana-mana sesuai aktifitas saya. Ketika di kereta listrik, saya selalu membuka-bukanya dan menyempatkan membaca beberapa halaman. Beberapa orang yang saya temui menanyakan apakah bukunya sudah 100 tahun. Yang lain menanyakan apakah saya sedang membaca kitab kuning. Ada juga yang bertanya apakah itu buku stensilan.

Buku yang rapuh ini terbitan Indira, cetakan pertama tahun 1985 (Anda lihat, umurnya masih muda, belum ada 100 tahun). ISBN pun belum ada. Yang aneh, model sampulnya adalah aktris lawas Dana Christina (kadang saya teringat film Jaka Sembung bila melihat wajah Dana Christina). Perlu dicatat, buku ini adalah terjemahan yang berani langsung dari bahasa Rusia. Penerjemahnya adalah Koesalah Soebagio Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Terus terang, terjemahan buku ini sulit sekali dibaca. Menurut saya, ada beberapa hal yang menyebabkannya. Antara lain, Rusia adalah bangsa yang rumit dengan bahasa yang rumit pula. Penerjemahan kontekstual seringkali susah dilakukan karena perbedaan konsep dan cara berpikir. Yang kedua, teks ini terbit pertama kali 1878, artinya teks yang sudah cukup tua. Cara berpikir orang kuno berbeda dengan cara berpikir orang sekarang. Itu yang menyebabkan kadang tidak mengenanya referensi kata-kata, mungkin karena adanya jurang referensi. Tambahan lagi, proses editing yang buruk yang semakin menyulitkan. Pada tahun 1985, pasti komputer pengolah kata belum populer. Semuanya mungkin dilakukan secara manual, sehingga banyak kesalahan yang membingungkan. Kemungkinan besar editor mengolah teks dari penerjemah dalam tulisan tangan, siapa tahu? Salah satu kebiasaan aneh Koesalah dalam menerjemahkan buku ini adalah memakai kata "Ya Allah!" atau "Masya Allah!", seakan-akan Rusia saat itu adalah negara muslim.

Buku ini adalah buku yang susah untuk dibaca bagi saya. Semoga edisi mutakhir yang ada sekarang tidak sesulit ini. Saya memilih cara yang susah untuk "belajar" tentang Tolstoy, saya akui. Tapi biarlah. Seingat saya, tak pernah dengan mudah saya mencerna sastra Rusia. Saya ingat membaca Dostoyevsky dan Chekov dan menemui masalah yang sama.

Rusia memiliki kebudayaan yang rumit, dan mereka mencintai kerumitan itu. Mereka terkenal sebagai penyumbang kerumitan pemikiran di dunia, bahkan sampai sekarang pun mereka susah untuk dipahami. Dalam novel Tolstoy ini digambarkan bahwa masyarakat Rusia menyukai debat. Bahkan mereka meluangkan waktu santai mereka untuk berdebat, sehingga boleh dikatakan debat menjadi rekreasi. Mereka mempunyai kecenderungan untuk idealis dan kadang senang berada di garis keras. Mereka juga merasa minder dengan budaya Eropa yang lain, sehingga orang Rusia sering memakai bahasa Inggris dan (terutama) Perancis yang mereka anggap lebih mulia dari bahasanya sendiri. Rusia pra Sovyet merupakan masyarakat yang sangat berlapis-lapis dengan tingkatan sosial yang sangat rumit, akibat aristokrasi yang seperti gurita. Termasuk Tolstoy, dia juga suka ber-"rumit-rumit". Tapi dia sendiri sebenarnya menggambarkan kondisi sosial yang memang sudah rumit, sehingga pembaca akan mendapatkan gambaran besar. Salah satu contoh kerumitan yang dipakai Tolstoy adalah penggunaan nama alias untuk tokoh-tokohnya yang kadang lebih dari 3 nama. Anna Karenina adalah tokoh protagonis yang sebenarnya bernama Anna Arkadyevna. Dia bersuamikan Aleksei Aleksandrovic Karenin, sehingga dia disebut sebagai Anna Karenina. Anna jatuh cinta pada Vronskii. Anna punya kakak yang bernama Stepan Arkadic yang mempunyai nama keluarga Oblonskii, yang biasa dipanggil dengan nama Stiva. Stiva mempunyai istri bernama Dolly, yang nama aslinya adalah Darya Aleksandrovna, yang karena menikah dengan keluarga Oblonskii, menjadi menyandang nama Oblonskaya. Teman Stiva yang bernama Levin, memiliki nama asli Dimitri Levin, dimana dia dipanggil Konstantin oleh para pekerjanya, dan mempunyai alias sebagai Kostya. Tolstoy bahkan masih menantang kerumitan itu, seakan dia merasa masih belum cukup tantangan yang dia hadapi. Dia memberikan nama panggilan sama untuk suami dan kekasih gelap Anna, yaitu sama-sama Aleksei. Tolstoy adalah tipikal orang Rusia yang pemberani.

Bukunya sangat tebal, karena tadinya novel ini ditulis sebagai cerita bersambung di majalah. Plotnya sebenarnya simpel, tapi sangat panjang. Kisah yang ditutrkan disini adalah mengenai kehidupan aristokrasi di Rusia yang rumit, bertingkat, dan penuh hipokrasi. Dalam buku ini dikisahkan tokoh paralel, yaitu Anna Karenina dan Konstantin Levin. Anna Karenina adalah seorang wanita cantik dan sangat berkharisma, istri dari Aleksei Aleksandrovic, yang mempunyai seorang anak laki-laki di St. Petersburg. Suatu saat dia mendengar bahwa perkawinan saudaranya Stiva dengan Dolly sedang terancam karena kegemaran Stiva berselingkuh. Dolly ingin bercerai dari Stiva. Akhirnya Anna mengunjungi mereka di Moskow, dengan tujuan untuk mendamaikan mereka.

Pada saat yang bersamaan, Levin, teman lama dari Stiva, juga berkunjung ke Moskow dengan tujuan untuk melamar adik dari Dolly, Katerina Aleksandrovna dari keluarga Scerbatskii, yang lebih sering dipanggil Kitty (nama Inggris, seperti kakaknya "Dolly"). Yang tak diketahui Levin adalah bahwa hari itu akan diadakan pesta dansa dan pertunangan Kitty dengan seorang perwira muda tampan bernama Vronskii. Karena Kitty sudah memilih Vronskii, lamaran Levin ditolak. Levin sakit hati sehingga dia kembali ke desanya dan menyibukkan diri dengan pertaniannya, meskipun telah dibujuk Stiva untuk hadir dalam pesta dansa. Stiva, mendengar kakaknya berniat datang, menjemput Anna di stasiun kereta. Stiva bertemu dengan Vronskii di stasiun yang menjemput ibunya untuk hadir dalam pesta dansa. Di stasiun itulah Vronskii bertemu dengan Anna untuk pertama kali dan jatuh cinta. Anna yang berhasil mendamaikan Dolly dan Stiva, diundang ke pesta dansa.

Di pesta dansa, Kitty justru diabaikan oleh oleh Vronskii. Vronskii mengejar Anna Karenina mati-matian. Kitty patah hati oleh perilaku Vronskii, dan seketika itu jatuh sakit. Ketika Anna pulang ke St. Petersburg, Vronskii menumpang kereta yang sama membuntuti Anna. Ketika Anna disambut suaminya di St. Petersburg, Vronskii secara berani muncul memperkenalkan diri. Aleksei Aleksandrovic tidak suka dengan kekurangajaran Vronskii. Vronskii terus-menerus mengejar Anna, terutama melalu perantaraan masyarakat sosialita aristokrat St. Petersburg. Anna akhirnya bertekuk lutut di depan remaja tampan yang mempunyai karir cemerlang itu. Hasil hubungan gelap itu adalah Anna mengandung anak Vronskii. Anna akhirnya mengaku percintaannya dengan Vronskii kepada suaminya, dan memintanya untuk menceraikannya. Suami Anna menolak, dan ini membuat Vronskii makin tidak punya harapan untuk melanjutkan hubungannya. Dia merasa tertekan dan menembak dirinya sendiri. Beruntung, Vronskii tidak mati.

Ketika anak Anna yang kedua lahir, Anna dan Vronskii kemudian melarikan diri. Pertama ke Italia, terus kembali ke St. Petersburg, kemudian menyepi di desa. Sementara di pedesaan, Stiva kembali menjodohkan Levin dengan Kitty. Keduanya akhirnya berbaikan dan menikah dengan bahagia. Kitty belakangan melahirkan seorang anak dari Levin.

Sementara Anna dan Vronskii jauh dari bahagia. Anna belum bercerai, sehingga dia merasa menjadi sampah masyarakat dengan menjadi kekasih Vronskii. Dia tidak bisa bertemu anak pertama yang dicintainya karena dilarang oleh suaminya. Sedangkan anak keduanya yang juga bernama Anna dari Vronskii, dia tidak bisa mencintai. Vronskii terpaksa keluar dari militer, dia juga terbelit utang. Anna semakin frustrasi dan menjadi sangat pencemburu. Mereka bertengkar di setiap kesempatan, kebanyakan hanya karena prasangka, atau juga ketidakpuasan akan hidup yang mereka jalani. Anna menjadio paranoid, kehilangan kehidupan lamanya, sekaligus ketakutan kehilangan Vronskii. Pada suatu kesempatan, dimana otaknya dipenuhi pikiran-pikiran buruk tentang Vronskii, dia melompat ke depan kereta api yang sedang berjalan. Anna mati dengan tragis.

Tolstoy menggunakan teknik penceritaan yangbaru pada masa itu, yaitu metode "stream of conciousness". Teknik ini sering disebut sebagai monolog, karena kita mendengar sang tokoh berpikir dalam kepalanya. Teknik ini sekarang memang tidak baru lagi, kita sering melihat di sinetron-sinetron murahan, tokohnya berbicara dengan dirinya sendiri. Misalkan, seorang tokoh dalam sinetron tiba-tiba berbicara dengan dirinya sendiri, "Aku benci sama si Fitri! Dasar pembohong! Aku akan membunuh dia!" Teknik ini memang terkesan murahan dipakai di televisi, tapi kita dapat mendengar pikiran terdalam dan pergulatan pemikiran dari sang tokoh. Dalam film, monolog itu tidak realistis karena jarang sekali ada orang ngomong dengan dirinya sendiri.

Tolstoy sangat piawai memakai teknik ini. Pergulatan pemikiran tokohnya digambarkan sangat deras, sehingga kita tercekat ketika Anna memutuskan untuk bunuh diri. Dalam buku ini kita bisa mengikuti bagaimana pikiran seseorang yang tertekan dan akan membunuh dirinya. Ini bukti bahwa Leo Tolstoy adalah seorang psikolog yang natural. Dia juga mengungkapkan pikiran-pikirannya sendiri melalui perglatan pemikiran Levin. Levin adalah penggambaran dari diri Tolstoy sendiri. Panggilan kecil Tolstoy sendiri adalah Lev. Levin adalah tokoh yang idealis, keras kepala, pencemburu, tapi jernih memandang segala hal. Dalam buku ini kita bisa memetakan pemikiran Tolstoy dengan mendengarkan kata hati Levin, antara lain mengenai sosialisme, aristokrasi, budaya dan tradisi, modernisme, nasionalisme dan humanisme.

Banyak orang salah mengartikan novel Tolstoy ini menurut saya. Anna Karenina sering disalahpahami. Apabila Anda mengharapkan sebuah kisah cinta klasik yang romantis seperti Romeo dan Juliet atau Sam Pek Engtay, Anda salah besar. Novel ini menggambarkan cinta yang begitu dalam, saking dalamnya sampai begitu kotor. Buku ini menceritakan tentang hipokrisi kaum bangsawan yang menolak cinta tapi mengagungkan nafsu. Anna Karenina begitu mencintai seseorang sampai menusuk tulang. Cintanya sangat tulus. Tapi dirinya dianggap begitu kotor di masyarakat. Dia sendiripun menganggap dirinya kotor, hanya karena dia jatuh cinta.

Suaminya tidak akan memaafkannya. Dia kehilangan anaknya. Dia mencintai Vronskii begitu dalam, dengan mengorbankan segalanya. Tapi Vronskii adalah orang yang tidak layak dicintai, menurut saya. Vronskii mempermainkan Kitty. Vronskii juga bukan perwira militer yang tekun. Dia senang berpesta, kemudian akhirnya keluar dari ketentaraan. Dia sangat mengandalkan uang dari ibunya yang kaya untuk hidup sehari-hari. Di bagian akhir, dia malah menunjukkan sifat pengecutnya, dengan berpikir bahwa dia membuat kesalahan dengan menjalin hubungan dengan Anna. Kisah cinta sejati yang romantis justru bukan antara Anna dan Vronskii. Kita dapat menemui kisah cinta romantis antara Kitty dan Levin. Novel ini menurut banyak sastrawan adalah novel terbaik. Novel ini mempengaruhi penulis-penulis seperti Dostoyevsky, Woolf, Faulkner, dan lain-lain. Menurut saya, novel ini sangat berharga. Buku yang berlapis-lapis, kaya di segala dimensi.

Sabtu, 13 November 2010

The Outsider - Albert Camus

Buku ini begitu tipis dan simpel. Plotnya, meskipun kadang aneh, sangat lugas. Anda tak akan berharap emosi Anda diaduk-aduk ketika membaca buku ini.

Tapi itu hanya di permukaan. Novel ini sesungguhnya sangat dalam dan penuh makna. Novel ini membiarkan emosi Anda menunggu di luar, dan mengundang perdebatan sengit dalam pikiran Anda. Ini adalah sebuah novel filsafat sejati. Seperti sungai yang tenang di permukaan, tapi deras gelombang di kedalaman. Seperti menonton sebuah film pendek hitam putih berdurasi 15 menit dengan dialog minimal, tapi setelah itu membuat Anda tidak bisa tidur semalaman memikirkannya. Ini adalah sebuah novel filsafat sejati.

Novel ini aslinya berbahasa Perancis, berjudul asli L’Étranger, berarti 'orang asing' atau 'orang luar'. Albert Camus menulis buku tipis ini dan menerbitkannya pertama kali tahun 1942. Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi The Stranger, atau dalam terbitan lain The Outsider. Buku versi bahasa Indonesia ini mungkin terjemahan dari The Outsider, tapi judul 'Sang Pemberontak' yang diberikan oleh penerjemah sama sekali tidak tepat. Judul 'Sang Pemberontak' merancukan dengan buku tulisan Albert Camus lain yang terbit tahun 1951, yaitu L'Homme révolté, atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai 'The Rebel'. Ini catatan penting yang perlu diperhatikan oleh penerbit-penerbit pemula yang menjamur sekarang ini agar lebih hati-hati. Kerancuan ini, entah disengaja ataupun tidak, sebenarnya tak perlu terjadi.

Camus adalah seorang filsuf penting abad 20. Dia keturunan Perancis yang lahir di Aljazair, yang membuatnya tercatat sebagai peraih Nobel di bidang sastra pertama yang lahir di benua Afrika. Pemikiran yang penting yang dipopulerkan oleh Albert Camus adalah filsafat Absurdisme.

Cerita dalam buku ini mengekplorasi tema absurdisme dan eksistensialisme. Tokoh dalam novel ini bernama Meursault, seorang Perancis, yang seperti Camus sendiri, hidup di Alajazair. Meursault adalah gambaran dari seseorang yang abai akan nilai-nilai sosial, pasif, dan mengesampingkan emosinya dalam setiap tindakan. Meursault adalah orang yang masa bodoh dan dingin,namun teguh pendirian dan menerima konsekuensi setiap pilihannya. Mersault baru mendengar bahwa ibunya yang tinggal di sebuah panti wreda di kota lain meninggal. Meursault datang ke pemakaman ibunya, tapi tidak menunjukkan emosi kedukaan atau emosi apapun dalam pemakaman itu. Dia tidak menangis, tidak bersedih, dan kelihatan tidak tahu apa yang harus dilakukan di pemakaman ibunya sendiri.

Pulang dari melayat, dia kembali ke kotanya dan bertemu Marie, mantan pekerja dari kantornya. Mereka langsung menjadi dekat, berpacaran, dan melakukan hubungan seks, meskipun ibunya baru saja meninggal. Dia juga bertemu dengan tetangganya, seorang pembual yang kasar bernama Raymond. Mereka mengobrol, dan Raymond menceritakan bahwa dia mempunyai seorang pacar wanita Arab. Wanita Arab itu menurut Raymond sering berbohong, dan Raymond menghajar wanita itu. Namun Raymond ingin bertemu lagi dengannya, untuk tidur dengannya terakhir kali, setelah itu menghajar dan meludahinya untuk terakhir kali juga. Raymond meminta tolong Mersault untuk menuliskan surat atas namanya untuk wanita Arab itu agar dia mau datang. Mersault setuju untuk menuliskan surat itu.

Setelah membaca surat itu, beberapa hari kemudian wanita Arab itu datang ke apartemen Raymond. Raymond memakinya dan menghajarnya lagi. Pada saat itu datanglah polisi dan wanita Arab itu melaporkan tindakan Raymond. Raymond ditangkap polisi. Raymond minta Meursault bersaksi untuk meringankannya di pengadilan. Meursault setuju untuk membantunya kembali, dan Raymond bebas dari tahanan.

Sebebasnya dari tahanan, Raymond mengajak Meursault dan Marie berlibur ke rumah pantai milik teman Raymond. Ternyata mereka mendapati diri mereka dibuntuti olah saudara laki-laki si wanita Arab dengan beberapa orang lainnya. Mereka mungkin memiliki tujuan untuk membalaskan dendam si wanita Arab pacar Raymond. Pada suatu kesempatan, orang-orang Arab itu melukai Raymond dengan pisau. Raymond lari kembali ke rumah pantai, bersumpah untuk menuntut balas dengan mengambil sebuah pistol. Merasa khawatir bahwa Raymond akan melakukan hal-hal yang berbahaya, Meursault menyita pistolnya.

Ketika sedang sendiri dalam perjalanan dari pantai, Meursault bertemu salah satu dari seorang Arab tersebut. Meursault terkena disorientasi akibat serangan panas dan silaunya matahari saat itu yang mengganggunya. Dalam kondisi disorientasi tersebut, Meursault merasa melihat orang Arab tersebut mencabut pisaunya. Meursault menembak orang Arab tersebut dengan pistol yang disitanya dari Raymond. Meskipun orang Arab itu telah mati, Meursault menambahkan beberapa tembakan lebih ke tubuhnya.

Meursault akhirnya disidangkan atas tuduhan pembunuhan. Dia sangat pendiam dan pasif dalam pengadilan. Hal ini dimanfaatkan oleh penuntut umum untuk menggambarkan sisi buruk dari Meursault yang tidak berperasaan dan berdarah dingin. Penuntut menambahkan argumen mengenai insiden pemakaman ibu Meursault, dimana dia tidak menunjukkan emosi berduka sedikitpun. Meursault juga tak menyatakan penyesalannya sedikitpun, dan dia berkeras bahwa dia membunuh orang Arab itu karena "panas matahari". Hakim akhirnya memvonis Meursault bersalah dan memberikan dia hukuman pancung di depan umum. Meursault disarankan untuk memohon pengampunan Tuhan atas kesalahannya, seperti yang biasa dilakukan penjahat lain. Dia menolak saran itu, karena merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Tuhan.

Gaya penulisan ini adalah dari sudut pandang orang pertama, yaitu Meursault. Kita menelusuri cerita ini meminjam kacamata orang pertama dalam menggambarkan lingkungannya dan alasannya dalam melakukan setiap tingkah laku. Terlepas dari dia menceritakan segala sesuatu yang terjadi secara detail, Meursault sebenarnya tidak memberi penjelasan banyak mengenai logika berpikirnya. Dia tidak menjelaskan banyak mengapa dia tidak bersedih saat ibunya dimakamkan. Kita tak mengerti logika dia berteman dengan seorang kasar seperti Raymond dan membantunya dalam kejahatan. Dia juga tidak menjelaskan banyak mengenai alasan dia membunuh orang Arab itu selain "panasnya matahari yang menyilaukan". Sebuah alasan yang enigmatis. Gaya penulisan ini memberikan kita ruang yang banyak untuk menafsirkan dan memaknai.

Filsafat absurdisme menyatakan bahwa hidup ini tidaklah berarti. Manusialah yang memberi arti pada hidupnya sendiri. Mengapa absurd? Dalam filsafat, manusia memiliki kecenderungan untuk mencari arti hidupnya. Meskipun begitu, manusia memiliki keterbatasan untuk menemukan arti besar dari hidup ini. Manusia mencari arti arti hidupnya dan gagal menemukannya (maka dari itu ini adalah sebuah proses yang absurd). Meursault membunuh seorang Arab, tapi dia terbebas dari absurditas itu sendiri. Pembunuhan orang Arab yang dilakukannya tidak mempunyai arti apa-apa dalam hidupnya. Hanya sebuah kebetulan. Orang Arab yang tewas itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa bagi Meursault. Absurditas tergambarkan ketika hukum mendakwa Meursault akan kekejaman karena dia menembakkan beberapa tembakan. Tembakan pertama sudah membunuh orang Arab itu, tembakan kedua dan ketiga tentunya tidak akan membuat orang Arab itu "lebih mati" atau "mati dua kali".

Mersault adalah seorang tokoh anti-hero. Meursault bukan orang yang tanpa dosa. Dia mengakui bahwa dia bersalah. Tapi dia tidak menemukan alasan bagi dirinya untuk meminta pengampunan dan menyesal. Dia memilih untuk mati, mungkin karena ketiadaan alasan untuk terus hidup. Dia menggambarkan sendiri garis eksistensialisme baru. Itu yang membuat novel ini menjadi ajang perdebatan filosofis yang tajam, kaya, dan berlapis-lapis. Meursault adalah orang asing itu. Dialah the outsider. Orang asing yang tinggal di benua yang bukan miliknya. Dia juga mengasingkan diri dari peradaban manusia. Pada akhirnya, menjalani hukuman mati adalah pilihan dia yang harapkan. Dia melepaskan diri dari absurditas. Melepaskan diri dari hubungan nilai-nilai kemanusiaan yang irasional. Tapi, apakah sebenarnya yang rasional?

Senin, 11 Oktober 2010

Eat, Pray, Love - Elizabeth Gilbert

Oh, tidak! Saya benci buku feminin! Saya tidak pernah mengerti konflik yang mereka bicarakan. Tapi apa mau dikata? Saya sudah terlanjur berniat tidak akan menolak buku yang ada di depan saya.

Ketika bahan bacaan saya habis, saya bertanya kepada istri saya, buku apa yang dia punya yang bisa saya baca. Dia memberi saya bukunya, Eat, Pray, Love tulisan Elizabeth Gilbert. Saya setuju untuk membacanya. Setelah membacanya, ternyata lumayan. Saya yang awalnya skeptis dengan buku yang kewanitaan ini merasa cukup terhibur.

Buku ini sebenarnya bukan novel. Buku non-fiksi ini adalah sebuah memoar dari hidup penulisnya, Elizabeth Gilbert, seorang penulis lepas di beberapa majalah. Elizabeth Gilbert menceritakan tentang berakhirnya perkawinan dan percintaannya yang tragis, kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual ke Italia, India, dan Indonesia.

Dia melakukan perjalanan pertama selama empat bulan ke Italia. Disana dia hanya berniat belajar bahasa Italia. Perjalanannya ke Italia menjadi petualangan yang menarik untuk penjelajahan kekayaan kulinari negeri ini. Perjalanan kedua dia lakukan ke India, dengan mengurung diri untuk bermeditasi di sebuah Ashram (tempat menyepi untuk beribadah agama Hindu, kata "asrama" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari kata ini). Dalam empat bulan bermeditasi di India ini, dia berhasil menemukan pencerahan spiritual. Perjalanan terakhir dilakukannya selama empat bulan di Bali, dengan tujuan untuk menjadi murid seorang dukun tua bernama Ketut Liyer. Di Bali dia menemukan beberapa teman, termasuk membantu teman Bali-nya yang bernama Wayan dalam mendapatkan rumah. Selain itu ia juga menemukan kekasih baru.

Dalam judulnya secara tersirat, perjalanan itu dibagi menjadi tiga, yaitu "makan di Italia", "berdoa di India", dan "mencintai di Indonesia". Angka 3 yang ajaib, sebuah persamaan. Tiga bagian dalam buku ini ternyata diceritakan sangat berbeda. Bagian "makan di Italia" diceritakan secara kocak, membuat saya tergelak. Bagian "berdoa di India" sangat bertentangan dengan bagian pertama. Bagian kedua menceritakan tentang metode meditasi dan yoga dan pencerahan dan energi gaib. Kontras dengan bab pertama dimana Elizabeth Gilbert menjadi petualang makan, di bagian kedua dia berubah menjadi seperti biarawan Shaolin dengan segala filosofinya. Dalam bagian pertama diceritakan tentang deskripsi makanan-makanan dan resep-resep, dalam bagian India tidak dideskripsikan sekalipun mengenai makanan kecuali bahwa dia memakan makanan vegetarian yang sangat enak. Sebenarnya bagian kedua bukanlah petualangan di India, melainkan lebih tepat sebagai petualangan pencarian diri sendiri.

Dan tentu saja Indonesia. Ini yang dinantikan banyak orang, karena mereka ingin sekali pembahasan tentang Indonesia dimasukkan dalam buku-buku barat. Akan tetapi Anda orang Indonesia tidak perlu terlalu sentimentil, karena ini adalah cerita tentang seorang wanita yang bepergian, bukan tentang Indonesia itu sendiri. Tentu saja stereotip tentang Indonesia selalu muncul, harusnya dianggap wajar karena kita sudah bertahun-tahun tinggal di negara ini, antara lain korupsi, ketidaktertiban, jam karet, potensi pertikaian antar agama dan suku, dan lain-lain.

Kita boleh berharap bahwa Eat, Pray, Love merupakan sebuah argumen tesis, antitesis, dan sintesis, semacam dialektika Hegelian. Wajar, karena pembagian 3 yang ajaib itu. Ternyata tidak demikian pada bagian ketiga. Kita berharap sebuah keseimbangan dari dua bagian sebelumnya. Yang kita dapatkan di bagian terakhir di Indonesia bukanlah sintesis dari Italia dan India, melainkan sebuah ketidakberaturan, dan sedikit pendangkalan. Tidak ada tema besar dari cerita Elizabeth Gilbert di Indonesia, melainkan hanya menjadi montase cerita.

Tujuan pertama dia pergi ke Bali adalah untuk menjadi murid Ketut Liyer, dukun tua yang kocak, tapi ternyata tidak banyak menimba ilmu darinya. Elizabeth menemukan kekasih baru, yang entah kenapa saya mendapatkan kesan bahwa dia tidak yakin benar-benar akan cintanya. Elizabeth bertemu dengan Yudhi, seorang Jawa Kristen yang mempunyai kisah pahit dipenjarakan dan diusir dari Amerika Serikat pasca runtuhnya WTC. Dia juga bertemu Wayan, janda dengan seorang anak yang menjadi ahli pengobatan tradisional. Semuanya merupakan cerita acak yang sangat menarik untuk dijadikan kolom mingguan pada sebuah majalah. Seolah menekankan bahwa Indonesia memang selalu acak, tidak ada cerita besar disini.

Apabila buku ini dipecah menjadi tiga buku yang berbeda, kita tetap tidak akan merasakan bedanya. Tapi ini memang sebuah memoar, non fiksi. Kehidupan nyata memang berbeda dengan fiksi yang memiliki plot sebagai "grand design".

Salah satu hal yang cukup mengganggu dalam buku bahasa Indonesia yang saya baca adalah penerjemahan yang sangat buruk. Hal ini tidak dibantu oleh editing yang juga sama buruk. "Japa mala", kalung tasbih manik-manik khas India ditulis sebagai "Japa malas". Ini adalah editing yang buruk. Memang dalam bahasa Inggris, "s" selalu ditambahkan dalam setiap bentuk jamak. Akan tetapi menceritakan suatu hal di India dengan cara Inggris dalam bahasa Indonesia adalah usaha yang bodoh. Orang India tidak pernah menambahkan "s" ke dalam setiap kata bentuk jamak, demikian pula kita. Banyak pula tanda baca kurung yang membingungkan, apakah dia berasal dari penulis atau editor atau penerjemah.

Contoh lain, dalam halaman 95 ditulis, "BAIKLAH, anakku, nikmati, saya tahu ini hanya sementara. Beritahu saya jika eksperimenmu dengan kegembiraan yang sejati telah berlalu, dan saya akan melihat apa yang dapat saya lakukan mengenai kendali yang rusak ini."  Kendali yang rusak? Apa itu? Saya baca versi bahasa Inggrisnya, ternyata "kendali yang rusak" adalah terjemahan dari "damage control". Benar-benar berantakan.

Menerjemahkan adalah sebuah proses menciptakan kembali (re-inventing). Perlu kekayaan referensi, bahkan kadang harus setara dengan penulisnya, untuk melakukan proses penerjemahan. Banyak kesalahan penerjemahan yang tidak perlu membuat buku ini susah dibaca. Nama daerah di Manhattan, Hell's Kitchen, sangatlah tidak tepat diterjemahkan menjadi "Dapur Neraka". Ini seperti menerjemahkan New York menjadi "York Baru", atau Banyuwangi menjadi "Air Harum". Tidak semua orang (juga sarjana sastra Inggris) dapat menjadi penerjemah. Penerjemah bukan hanya harus menguasai dua bahasa, dia juga harus seorang researcher. Saya dalam hati berharap buku yang diterbitkan oleh Abdi Tandur ini diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit lain yang lebih berpengalaman.

Saya belum menonton filmnya, hanya trailernya, sehingga awalnya saya membayangkan Julia Roberts dalam buku ini berjalan dan berbicara. Tapi semakin banyak saya membaca, Julia Roberts semakin menghilang, alih-alih muncul Jennifer Aniston. Citra Julia Roberts dalam kepala saya adalah sosok feminis yang keras kepala, tegas, tapi menyenangkan dan mudah akrab dengan siapapun. Julia Roberts adalah Erin Brokovich. Sedangkan Jennifer Aniston adalah seorang peragu, pemurung, manis, gemar memanjakan diri sendiri, dan sangat tepat sebagai profil pecinta platonis. Kesan seperti itulah yang saya dapat dari Elizabeth Gilbert dalam buku ini.

Apakah ini buku feminin? Saya tidak tahu banyak batasannya. Belakangan sebelumnya saya sempat membaca novel klasik Madame Bovary, kisah tragis abad 19 tentang wanita yang suka membaca, bermimpi untuk berkelana melihat dunia, dan tidak pernah puas dengan kehidupan perkawinannya. Menurut saya, Elizabeth Gilbert adalah Madame Bovary dengan laptop, terapis Yoga, dan kontrak besar bayar di muka dari penerbit untuk keliling dunia (Puji Tuhan!). Elizabeth adalah penulis yang cerdas dan berwawasan luas dan selalu suka melakukan perjalanan keliling dunia. Dia menceritakan bahwa dia mudah sekali memberikan semua yang ada dalam hidupnya untuk pria-pria yang dicintainya. Dia juga tidak nyaman dengan kehidupan domestik, dengan rumah yang hangat, suami kelas menengah, dan mungkin anak-anak. Wanita-wanita seperti ini konon mempunyai kecenderungan "self-destruct" yang tinggi.

Dalam suatu bab saya terjebak dalam gosip wanita mengenai laki-laki dan seks, akhirnya saya sadar, ya, ini buku feminin. Gaya berceritanya sangat wanita, dengan tutur kata yang cerewet seakan kata-kata turun seperti hujan yang tiada akhir. Menurut saya lucu mendengarkan cerita seorang wanita yang cerewet seperti itu, sering dengan anak kalimat yang panjang dan eksklamasi dimana-mana. Mungkin wanita akan lebih menggemari buku ini.

Hanya saja, senyata apapun kisah hidup Elizabeth Gilbert, sulit bagi kita untuk menyamakan kehidupan kita dengannya. Apabila Anda sedang mengalami masa-masa sulit, mengalami perceraian atau putus cinta, apa yang akan Anda lakukan agar mental Anda pulih kembali? Akankah Anda pergi ke Italia? Makan pizza di Napoli? Ataukah Anda akan pergi menyepi ke India, di sebuah kuil dengan seorang guru spiritual mirip yang dilakukan The Beatles dulu? "Life goes on", kata pepatah bahasa Inggris. Tapi hidup saya, hidup Anda, dan hidup Elizabeth Gilbert sangatlah berbeda. Ini yang membuat buku ini lebih menghibur daripada menginspirasi. Kapan dalam ribuan tahun Anda menjalani hubungan seperti Elizabeth Gilbert, seorang warga New York yang mempunyai kekasih seorang duda Brasil yang tinggal di Ubud dengan anak-anak yang tinggal di Australia?

Anda tentu tidak menginginkan hidup seperti Elizabeth ketika membaca bahwa dia bercerai, depresi, dan sempat berpikir untuk melukai diri sendiri. Tapi Anda juga pasti menginginkan hidup seperti Elizabeth yang dapat pergi bertamasya kemanapun di dunia ini, melihat kota-kota indah, dan makan makanan enak dimanapun. Kisah Elizabeth Gilbert bukanlah "Panduan Praktis bagi Wanita untuk Melalui Masa-masa Sulit". Buku ini tentang makan, tentang berdoa, dan tentang cinta. Untuk itu marilah kita fokus untuk mendengarkan cerita yang luar biasa mengenai makan, berdoa, dan cinta. 

Meskipun sangat sedikit relevansi praktisnya, buku ini tetap berguna bagi wanita yang menyenangi cerita tentang wanita-wanita yang berjuang untuk tegar. Buku ini juga layak dibaca para praktisi yoga, meditasi timur, pencarian spiritual, atau new age. Pembahasannya cukup mendalam dan detail. Secara keseluruhan ini adalah sebuah buku yang sangat berguna dan menghibur. Buku yang bagus untuk dibaca para wanita yang galau.

Ups, apa yang baru saya bilang? Maaf, saya tidak bermaksud mengatakan itu.

Maksud saya, buku ini juga bagus untuk dibaca pria-pria galau. Lho?

Sabtu, 09 Oktober 2010

Baudolino - Umberto Eco

Setiap orang punya tempat liburan yang diimpikannya dalam hidup. Liburan impian saya adalah menginap beberapa hari di perpustakaan pribadi Umberto Eco. Saya penasaran dengan koleksi buku dan manuskrip yang dimilikinya, setelah membaca bukunya yang kaya tekstual. Tapi mungkin seperti tempat liburan lain, saya perlu guide, karena saya tidak menguasai bahasa Italia, Latin, dan bahasa Eropa lainnya.


Membaca Baudolino karya Umberto Eco, kita ditunjukkan kekayaan literatur abad pertengahan yang rinci. Membaca buku ini berarti mengakui bahwa Eco adalah seorang maestro dalam sejarah. Ini menunjukkan betapa sebuah paduan maut antara sejarawan, filsuf, linguis, dan pendongeng ulung bisa menghasilkan sebuah karya yang lengkap dan luar biasa. Bahkan Eco sampai menciptakan bahasa sendiri di buku ini (dalam bagian awal buku), yang membuat penerjemahan ke dalam bahasa apapun akan semakin rumit. Eco seakan melakukan eksperimen dengan bahasa dan interpretasinya.


Dalam novel ini, tokoh-tokoh dalam sejarah berhubungan dengan tokoh-tokoh fiktif karangan Eco. Mirip seperti Forest Gump abad pertengahan. Begitu piawainya Eco, sampai tokoh-tokoh sejarah kadang menjadi karakter dalam dunia dongeng, dan tokoh-tokoh fiktif menjadi seperti benar-benar ada dan pernah meninggalkan jejaknya di dunia. Tokoh dalam buku ini, Baudolino, bercerita tentang kehidupannya yang penuh pengalaman menarik kepada Niketas Choniates (tokoh sejarah), setelah Baudolino menyelamatkan Niketas dari para prajurit Perang Salib yang menyerang Konstantinopel (peristiwa aktual dalam sejarah, dimana Pasukan Perang Salib dari Kristen Roma menyerang kerajaan Kristen Byzantium di Konstantinopel, karena uang dan kekuasaan). Niketas melarikan diri dari Konstantinopel dibantu Baudolino, dan sepanjang pelarian, Baudolino bercerita mengenai hidupnya yang panjang.


Baudolino, bercerita kepada Niketas, lahir sebagai anak petani di Alessandria, Italia. Hidupnya berubah ketika dia diadopsi oleh Raja Jerman, Frederick I, Barbarossa (Si Janggut Merah) yang kemudian diangkat Paus Adrian IV menjadi Kaisar Roma. Frederick Barbarossa jarang sekali berada di istananya, selalu berkeliling Jerman, Italia, dan bagian Eropa lainnya untuk menaklukkan daerah tersebut. Baudolino ikut kemana dia pergi, sampai akhirnya Barbarossa mengirimnya sekolah ke Universitas Paris. Baudolino sebagai anak angkat yang disayangi lebih dari anak sendiri, mempunyai rasa bersalah terhadap Barbarossa, karena diam-diam jatuh hati dengan istri Barbarossa, Beatrice, ratu Burgundy yang cantik.


Di Paris dia berteman dengan beberapa orang yang setuju untuk ikut dengannya mencari kerajaan Kristen kuno yang dipimpin oleh Prester John, sebuah legenda tentang kerajaan kristen di timur. Prester John dalam legenda dikatakan sebagai keturunan Tiga Raja Magi, sebuah dongeng dalam Kristen dimana tiga raja Zoroaster dari timur datang melihat Yesus begitu dia dilahirkan. Baudolino pergi bersama Sang Penyair (tokoh sejarah), Kyot (tokoh sejarah, kelak menulis puisi terkenal mengenai grasal suci), Abdul (tokoh fiksi), Boron (kemungkinan Robert de Boron, penyair Perancis), Solomon (tokoh fiksi), dan Ardzrouni (tokoh fiksi). 


Mereka akhirnya melakukan perjalanan ke timur untuk menemukan bukti kerajaan Prester John. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan berbagai makhluk aneh, sebagian ada dalam legenda, sebagian diciptakan oleh Umberto Eco sendiri. Sebelum mencapai kerajaan Prester John, mereka bertemu dengan kerajaan Diakon Johannes, yang terkena kusta.


Baudolino bertemu dengan wanita yang bercengkerama dengan Unicorn bernama Hypatia, anggota dari sebuah kaum di hutan yang kesemuanya adalah wanita. Kaum yang semua anggotanya bernama Hypatia itu adalah keturunan dari murid Hypatia, seorang filsuf dan ahli matematika yang cantik yang hidup pada abad 4. Seperti kita ketahui dalam sejarah, Hypatia tinggal di Alexandria (Mesir) yang dikuasai oleh Kristen Roma, kemudian dibunuh oleh penduduk Kristen di jalan karena dianggap penghasut agama, dengan cara ditelanjangi, dikuliti, diukirkan tulisan di dagingnya, kemudian dibakar. Pengikutnya pun diburu untuk dieksekusi.


Dalam novel ini, Baudolino yang hidup di abad 11 bertemu dengan keturunan murid Hypatia yang melarikan diri di tengah hutan, jauh di timur. Mereka memutuskan segala hubungan dengan dunia luar, hidup dengan ajaran dari Hypatia, dan memilih nama yang sama untuk semua orang, termasuk Hypatia, kekasih Baudolino. Hypatia, kekasih Baudolino, belakangan ketahuan bahwa ternyata dia memiliki tubuh wanita yang rupawan tapi berkaki kambing.


Baudolino dan pengikutnya juga terlibat pertempuran besar dengan bangsa asing berwajah kuning yang agresif yang disebut dengan orang-orang Hun Putih. Orangh-orang Hun Putih itu menang, dan Baudolino dan kawan-kawan berhasil melarikan diri melalui burung raksasa yang akhirnya membuat mereka terdampar di Konstantinopel.


Dongeng dalam buku ini sangat menawan, karena Umberto Eco fasih bicara sejarah. Ada baiknya Anda membaca buku ini didampingi buku sejarah Eropa Abad Pertengahan, dan Anda akan menemukan fakta-fakta historis yang menarik. Buku ini sarat dengan sejarah perkembangan agama Kristen, tapi tetap saja menarik untuk dibaca seorang Muslim seperti saya.


Eco seakan mengatakan bahwa penulisan sejarah selalu subyektif, tak melulu potret sebuah masa tertentu dari masyarakat tertentu. Adalah menarik memperhatikan bagaimana sejarah terjadi dan sejarah ditulis. Membaca novel ini, saya mendapatkan kesan seakan Eco berusaha untuk menihilkan sejarah, sekaligus menyejarahkan yang nihil. Buku ini dapat membuat orang yang mengimani sesuatu mempertanyakan sendiri keimanannya. Surat dari Prester John untuk Kaisar Byzantium yang benar-benar beredar dalam sejarah, dalam buku ini diceritakan ditulis oleh Baudolino sendiri, sebelum akhirnya dicuri.


Relikui suci yang sering ditemukan dalam dunia Kristen, ternyata dalam buku ini dengan mudah dipalsukan, termasuk kain kafan di Turin yang disebut-sebit sebagai kain kafan Yesus, dalam buku ini diceritakan didapatkan Baudolino dari seorang diakon yang terkena lepra. Kerangka tiga Raja Magi yang disimpan di Milan saat ini dalam cerita ini merupakan rekayasa Baudolino yang cerdas untuk menaikkan pamor ayah angkatnya, Barbarossa. Dalam novel ini dijelaskan, mengapa sekarang ada kepala Johannes Pembaptis disimpan di Roma, sekaligus di Munich, juga di Istambul, di sebuah gereja di Mesir, dan lain-lain. Baudolino dan teman-temannya memalsukan banyak sekali kepala Johannes Pembabtis untuk dijual.


Yang mana yang sejarah, yang mana yang karangan, tidak terlalu penting bagi saya, karena pasti berbeda pula bagi Eco sendiri. Sejarah telah tertulis, entah benar atau fiksi. Barbarossa mati secara tragis, entah kecelakaan murni atau dibunuh, biarkan menjadi misteri. Baudolino mungkin fiksi. Mungkin saja pernah ada.

Kamis, 30 September 2010

Madame Bovary - Gustave Flaubert

Sesungguhnya buku ini dianggap sebagai novel terbaik yang pernah ada. Ada juga yang menganggapnya sebagai novel yang sempurna. Saya membacanya karena saya didera romantisme untuk mengumpulkan karya penulis klasik terbaik Prancis: Victor Hugo, Alexandre Dumas, dan Gustave Flaubert yang kondang itu. Tentu saja harapan saya melambung tinggi akan buku ini. Tapi ketika membaca sepanjang buku, saya mengerutkan kening, tidak mengerti mengapa buku ini disebut buku terbaik.

Madame Bovary adalah cerita tentang perselingkuhan seorang wanita. Ditulis oleh Gustave Flaubert tahun 1856, cerita ini awalnya diterbitkan secara bersambung di sebuah surat kabar. Cerita tentang perselingkuhan seorang ibu rumah tangga dan penggambaran adegan percintaan yang terlarang dalam buku ini membuatnya menghadapi tuntutan pengadilan dengan tuduhan ketidaksenonohan dan tidak bermoral. Flaubert akhirnya bebas dari tuduhan dan bukunya menjadi terkenal di masa itu.

Dalam cerita tersebut, tersebutlah seorang dokter yang biasa-biasa saja bernama Charles Bovary. Ibunya berharap Bovary sukses, dengan menyekolahkannya menjadi dokter, dan setelah lulus mencarikan istri yang tepat untuknya. Dia dinikahkan dengan Madame Dubuc, seorang janda berumur 45 tahun yang tidak menarik tapi berpenghasilan lumayan.

Pada suatu hari Charles Bovary mengobati seorang petani kaya yang retak kaki bernama Monsieur Rouault. Rouault akhirnya sembuh dan merasa berhutang budi kepada Bovary. Monsieur Rouault mempunyai anak gadis yang sangat cantik bernama Emma. Karena seringnya Charles mengunjungi rumah Rouault, istrinya cemburu karena mengira Charles mengejar gadis itu. Charles Bovary adalah seorang yang polos dan kaku, dia tidak mungkin berani untuk mengkhianati istrinya, meski dia tertarik kepada Emma. Namun tak berapa lama, istri Charles meninggal.

Charles Bovary terpukul atas kehilangan istrinya. Kenalan-kenalannya berusaha menghiburnya, terutama Monsieur Rouault. Rouault melihat ketertarikan Charles pada Emma (walaupun selalu disangkal sendiri), dan akhirnya menawarkan Charles untuk dinikahkan dengan anak gadisnya tersebut. Charles setuju, dan akhirnya Charles dan Emma menikah. Charles bahagia sekali mempunyai istri secantik Emma. Emma sendiri, dalam hatinya tidak mengetahui apakah dia benar-benar mencintai Charles. Dia kerap kesal dengan sikap Charles yang tidak romantis, tidak peka, dan kikuk. Emma gemar membaca novel-novel. Dia menginginkan romantisme yang ada di novel tersebut terjadi padanya. Dia ingin merasakan percintaan yang membara, keliling dunia, berpesta dan bersenang-senang. Namun impian itu pupus setelah dia menikah dengan Charles, dan kemudian hamil.

Ketika Emma mulai tidak terlihat puas dengan kehidupan mereka, Charles mengajak mereka pindah ke kota yang lebih besar, yaitu Yonville, dekat kota besar Normandia, Rouen. Charles pikir Emma akan semakin gembira karena dia selalu bermimpi tinggal di kota besar yang ramai dan serba ada. Di Yonville juga akhirnya Emma melahirkan seorang anak perempuan.

Di kota baru itu mereka berteman dengan pemuka-pemuka masyarakat. Salah satunya adalah Leon Dupuis, seorang pemuda yang bekerja pada notaris kota. Leon menjadi berteman dengan Emma, karena ternyata mereka sama-sama memiliki kesamaan pengetahuan, minat bacaan, dan memainkan musik. Karena pertemanan menjadi dekat, mereka akhirnya jatuh hati, tapi tidak berani untuk saling mengungkapkan. Merasa bersalah dan tersiksa atas rindunya kepada Emma, Leon pindah ke Paris untuk melanjutkan sekolah hukum. Emma dalam hati menangisi kepergian Leon dan menyesali kenapa dia tidak pernah memadu cinta dengannya. Sementara Charles tidak menyadari hubungan emosional antara kedua orang ini.

Sepeninggal Leon, Emma kembali merasa tidak puas akan kehidupan rumah tangganya yang datar. Suatu saat, Charles mengenalkannya dengan Rodolphe Boulanger, seorang juragan pertanian dan tuan tanah yang mata keranjang. Rodolphe terpesona dengan kecantikan Emma, akhirnya memutuskan untuk mengejar Emma dengan cara apapun, meskipun dia sudah banyak memiliki wanita simpanan.

Rodolphe merayu dan memaksa Emma dengan gigih. Awalnya Emma menolaknya karena tidak punya hati terhadap Rodolphe. Tapi Rodolphe sungguh licin, akhirnya Emma bertekuk lutut kepadanya. Mereka menjalin cinta dan semakin bergelora tiap hari. Setiap ada waktu luang, mereka luangkan untuk bertemu dan bercinta di tempat yang sudah disepakati sebelumnya. Lama-kelamaan hubungan cinta mereka semakin terang-terangan, namun Charles tetap tidak menyadari. Dia masih menganggap Rodolphe pria terhormat dimatanya, dan menyanjung tinggi istrinya lebih dari siapapun. Emma memberikan semuanya untuk Rodolphe. Dia jatuh cinta dalam sekali kepada Rodolphe, namun Rodolphe tidak berminat untuk serius. Emma berhutang banyak barang untuk diberikan kepada Rodolphe sebagai tanda cinta, tentunya tanpa sepengetahuan suaminya. Emma juga merencanakan mereka berdua untuk melarikan diri dari kota itu dan pergi ke Paris. Takut akan keseriusan Emma, Rodolphe justru melarikan diri sendirian, memutuskan cintanya dengan Emma melalui sepucuk surat.

Emma Bovary sangat terpukul karena diputuskan cintanya yang menggebu-gebu. Dia menjadi depresi dan jatuh sakit. Suaminya cemas setengah mati akan keadaan istrinya. Emma mencoba bunuh diri, tetapi gagal. Bagaimanapun, suaminya tetap merawat dia sampai sembuh dan normal kembali. Suatu saat, untuk menghibur istrinya yang depresi, Charles membawanya ke kota Rouen untuk menonton opera. Emma menyukai opera, akan tetapi ada hal yang lebih disukainya disitu: mereka bertemu dengan Leon Dupuis, yang telah selesai sekolah dan bekerja di Rouen. Leon ingin mereka tinggal sehari lagi di kota itu, tapi san dokter mengeluh tidak bisa karena kesibukannya. Akhirnya Charles mengusulkan Emma untuk tinggal di Rouen sehari lagi, ditemani Leon yang sudah dianggap teman baik mereka, sementara dia sendiri pulang ke Yonville. Leon bersuka cita dalam hati mendengar hal ini.

Sepeninggal Charles di Rouen, Emma berniat untuk benar-benar tidak memulai perselingkuhan lagi. Dia memutuskan untuk menolak cinta Leon apabila dia berani menyatakannya. Ternyata Leon membawanya ke taksi kereta yang tertutup keliling kota, dan disana Emma sekali lagi takluk oleh cinta Leon. Mereka bercinta tanpa bisa dihindari di dalam kereta taksi tersebut, berkeliling kota. Perselingkuhan Emma Bovary kembali dimulai, dan sekali lagi Charles Bovary tidak menyadari sama sekali.

Emma menjadi lebih sering pergi ke kota Rouen dengan alasan untuk mengambil kursus piano. Charles heran, mengapa kursus piano sampai sejauh itu. Toh dia tetap merelakan, bahkan membiayai kursus bohong itu. Leon dan Emma selalu menyewa kamar hotel yang sama di Rouen. Semakin lama, kehidupan percintaan mereka semakin liar. Leon bahkan mulai mengabaikan pekerjaannya hanya untuk bertemu Emma. Emma juga berhutang semakin banyak kepada rentenir, karena hubungan jarak jauh untuk bersenang-senang itu memerlukan biaya yang banyak. Dia memakai uang hasil kerja suaminya dari para pasiennya, dan tetap dia berhutang tanpa sepengetahuan suami. Emma bahkan menggadaikan rumah warisan ayah Charles tanpa sepengetahuannya. Tanpa memikirkan bagaimana harus membayar, Emma semakin dalam terbelit hutang. Sampai pada suatu saat, pihak penjamin berniat untuk menyita rumah dan semua hartanya dan suaminya. Charles bingung dengan kedatangan sang juru sita. Emma panik. Dia meminta tolong Leon untuk mencarikan pinjaman, tetapi gagal. Dia bahkan meminta Leon untuk mengambil uang kantornya, tapi Leon menolak.

Emma berusaha menegosiasi ulang utangnya kepada sang lintah darat dengan cara merayunya. Tetapi ternyata sang rentenir lebih suka uang daripada rayuannya. Emma minta tolong kepada notaris Yonville, tapi Emma menolak waktu sang notaris "menggerayangi" Emma. Kemudian Emma kembali mencari Rodolphe, kekasih lamanya. Rodolphe menolak membantunya meskipun Emma memohon-mohon.

Akhirnya Emma bunuh diri dengan meminum racun. Charles Bovary yang panik berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan istrinya, tapi gagal. Emma tersenyum kepada Charles dan menghembuskan napas terakhir. Sepeninggal istrinya, Charles patah hati. Dia sangat menyayangi istrinya yang cantik, cerdas, dan aktif. Dia sangat mengagumi istrinya. Charles sering duduk sendiri di lantai atas rumahnya, tempat Emma biasa menyendiri. Disana dia menemukan surat-surat cinta Rodolphe dan Leon kepada Emma. Charles makin patah hati dan sering menyendiri, mengabaikan praktek kedokterannya. Akhirnya kesehatannya mulai menurun, dan dia meninggal dunia, meninggalkan anaknya yang hidup sengsara sebagai yatim piatu.

Sesungguhnya Madame Bovary adalah roman metropolitan dalam arti sebenarnya, yang ditulis lebih dari seabad yang lalu. Masa itu adalah masa beralihnya kekuasaan dari para bangsawan yang bebas dan hedonis ke kaum borjuis kelas menengah yang munafik, penghotbah moral, tapi korup. Tokoh-tokoh yang ada di kota Yonville menggambarkan hal itu: Emma sendiri, Rodolphe, Leon, sang rentenir, sang apoteker, sang notaris, dan lain-lain. Temanya sendiri adalah perselingkuhan seorang ibu rumah tangga pada abad tersebut. Anda bayangkan, betapa karya ini sangat menggegerkan dunia. Sebuah karya yang berani blak-blakan menyinggung banyak orang konservatif. Tetapi di masa sekarang, seperti saya membacanya, tidak terasa gregetnya saking sudah biasanya.

Tapi saya mempunyai pendapat sendiri mengenai bagaimana seharusnya sebuah karya sastra. Menurut saya, sebuah karya sastra yang baik harusnya tidak ahistoris, dia harus berkaitan dengan suatu masa dalam suatu entitas sosial. Dia memotret realitas sosial dan hubungannya dengan karakter. Bila saya membaca sebuah novel tentang si A yang mencintai si B, tapi si B mencintai si C, kemudian si A menghajar si C dan seterusnya, novel itu menjadi ahistoris bila tidak ada kaitan dengan realitas sosial tertentu dalam masa tertentu. Cerita itu menjadi dongeng sambil lalu, tanpa ada keterkaitan sosial dan emosional dengan apapun, dan akan terlupakan beberapa saat kemudian. Coba tengok misalkan buku Love In The Time Cholera, sebuah kisah percintaan yang menggambarkan keseluruhan realitas historis, yang membuatnya bermakna sangat dalam. Atau bahkan Bumi Manusia, mengenai kisah cinta antara Minke dan Annelies. Begitu pula Madame Bovary, yang secara tersirat menggambarkan kepribadian dan moralitas yang berkarat pada masa itu. Buku ini adalah sebuah potret, dan ini berharga. Buku ini menohok para pembacanya dulu, untuk itulah buku ini menjadi lebih berharga.

Flaubert bukan seorang feminis, bahkan konon dia terkena sipilis karena petualangan seksnya yang liar. Tapi karena membicarakan "bagian hitam" dari seorang wanita, maka buku ini (tak perlu disengaja) menjadi bahan diskusi feminisme. Flaubert menulis buku ini dengan sangat meyakinkan seolah dia adalah perempuan. Ternyata, perempuan juga kadang memiliki kecenderungan poligami, sama dengan laki-laki. Mereka membutuhkan keluarga yang normal, aman dan stabil, tapi siapa bilang mereka tidak menginginkan petualangan percintaan yang berapi-api sepanjang hidupnya? Saya mohon maaf, saya tidak bisa berbicara mewakili semua wanita. Saya hanya berusaha mewakili Emma Bovary. Manusia tidak seperti Mimi dan Mintuna yang cepat sekali dipuaskan. Manusia selalu memiliki keinginan lebih dan lebih banyak lagi, baik keinginan akan cinta, harta, kekuasaan, atau sekedar pengakuan eksistensi.

Meskipun begitu, nature dan konsekuensi yang diterima perempuan dalam hasrat poligami sangat berbeda dengan laki-laki. Laki-laki bisa melakukan poligami tanpa rasa bersalah, masyarakat masih memakluminya, bahkan dapat melakukan beberapa hubungan cinta sekaligus tanpa ikatan, tanpa emosi, bahkan tanpa cinta. Perempuan cenderung menyerahkan semua emosinya ke hubungan percintaannya yang terlarang, dan mematikan rasionya. Wanita berselingkuh dengan menyerahkan seluruh hatinya, sedangkan pria bisa berselingkuh hanya untuk bersenang-senang. Memang dua-duanya bisa berakhir tragis, tapi permakluman laki-laki yang selingkuh lebih besar daripada bila perempuan yang melakukannya.

Dalam sebuah buku lain yang juga sedang saya baca, saya menemukan kutipan Virginia Woolf yang menulis, "Seluruh hidup seorang perempuan jatuh dalam bayangan sebuah pedang." Maksudnya, di satu sisi pedang adalah ketentuan, tradisi dalam masyarakat, dan perintah-perintah, dimana semua "benar". Tapi di sisi yang berseberangan dari pedang itu, adalah gagasan gila seorang perempuan untuk memilih hidup yang tidak mengikuti ketentuan. Di sisi ini, menurut Woolf, mungkin perempuan mendapatkan kehidupan yang menarik, tapi jalan ini beresiko bagi seorang perempuan untuk kehilangan segalanya.

Seandainya saya seorang perempuan, mungkin saya lebih mengerti akan buku yang feminin ini. Oh tidak, ada yang lebih baik: seandainya Madame Bovary seorang laki-laki...

Senin, 20 September 2010

No Country For Old Men - Cormac McCarthy

Ketika selesai membaca, saya membolak-balik lagi halaman-halaman dalam buku ini. Apakah saya melewatkan beberapa halaman? Ataukah buku saya tidak lengkap? Apakah ada yang salah dalam terjemahannya? Lalu saya download audio book-nya dalam bahasa Inggris. Saya membaca lagi (sebenarnya mendengarkan) bab yang membingungkan. Bahkan saya sampai menyewa filmnya untuk melihat di bagian mana saya kelewatan membaca.


Ternyata tidak ada yang salah dengan halaman buku saya dan terjemahannya. Bahkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia-nya excellent, dua jempol saya untuk penerjemah.


Buku ini memang tidak mudah untuk dibaca. Baik dari plotnya yang berbelok 180 derajat, maupun dari gaya penulisannya. Gaya penulisannya membuat kita harus beradaptasi sebentar untuk bisa menikmatinya. Seperti tiba-tiba kita berada di daerah yang gelap, perlu beberapa waktu agar mata kita bisa beradaptasi dan bisa melihat sekeliling. Setelah itu, novel ini akan sangat menarik dan membawa pikiran Anda lepas dari badan Anda, menerawang ke gurun-gurun Texas. Bau debu yang sangat terasa, pengejaran yang mematikan dan membuat Anda menahan napas, dan kebingungan yang luar biasa di daerah yang asing.


Tidak diragukan lagi, buku ini memang punya kualitas film. Cepat atau lambat akan ada orang yang mengangkatnya ke layar lebar. Beberapa bab membacanya, Anda pasti sependapat dengan saya, bahkan mungkin mulai memilih kasting yang cocok untuk pemerannya. Dan memang benar, film No Country For Old Men sudah dirilis tahun 2007 oleh sutradara bersaudara Joel dan Ethan Coen.


Aksi laga dalam buku ini lumayan menegangkan. Tapi Anda akan merasa terkecoh bila Anda menaruh perhatian berlebihan pada aksi laga. Novel ini menceritakan tiga tokoh berbeda yang saling berkaitan, meskipun jarang, bahkan tidak pernah bertemu.


Llywellyn Moss, pemuda kampung Terrel County, sedang berburu di gurun di Texas, dekat perbatasan. Tanpa sengaja, dia menemukan bekas pertempuran antar pedagang obat bius. Dia menemukan beberapa mobil dengan beberapa mayat yang terbunuh. Satu orang yang berkebangsaan Mexico ternyata masih hidup dan dia juga menemukan satu mobil penuh dengan kokain. Dia meninggalkan orang Mexico yang sekarat itu setelah mengambil senjata apinya.


Llewellyn Moss menemukan jejak darah menuju ke suatu tempat lain. Di pepohonan yang cukup jauh dari situ, dia menemukan lagi sebuah mobil dan seorang Mexico lagi yang terbunuh. Mayat yang terakhir ini memegang koper berisi uang sejumlah 2 juta dollar. Llewellyn membawa pulang uang tersebut.


Anton Chigurh adalah seorang pembunuh sosiopat bayaran berdarah dingin. Dia ditugaskan oleh salah satu pihak yang bertempur di gurun tersebut untuk mendapatkan uangnya kembali, sejumlah 2 juta dollar. Chigurh sangat profesional dalam menjalankan pekerjaannya, dan dia tidak punya perasaan kasihan dalam membunuh.  Dia kadang mengurungkan niatnya membunuh seseorang hanya dengan tebak-tebakan melempar koin, salah menebak gambar koin berarti Chigurh akan membunuhmu.


Llewellyn Moss melarikan diri membawa uang 2 juta dollar, dan Chigurh selalu saja berhasil mengejarnya, berada satu langkah tepat dibelakangnya. Nyawa istri Moss, Carla Jean, juga terancam, karena Chigurh akan membunuhnya pula apabila istri yang diungsikannya ke Odessa itu tahu posisi Moss.


Tinggallah seorang Sheriff tua Ed Tom Bell yang berusaha untuk menolong Llewellyn dan Carla Jean, tapi selalu ketinggalan. Sheriff Bell berusaha sekuat tenaga menuntaskan kasus perang antar gang narkoba itu, dan berusaha mengejar Llewellyn dan menemui Carla Jean untuk berusaha menyelamatkannya. Akan tetapi mayat tetap berjatuhan karena Chigurh membunuh setiap orang yang menghalanginya dan Llewellyn Moss yang sendirian juga tak kalah sengit melakukan perlawanan.


Disinilah mungkin saya terlewat, karena saya meremehkan tokoh Sheriff Ed Tom Bell. Dia mempunyai dunia sendiri, sebagaimana Anton Chigurh dan Llewellyn Moss. Dia adalah pemilik sejati novel ini. Bahkan dia pula yang memberi judul novel ini "No Country for Old Men". Novel ini adalah tentang kegamangan dia dalam menghadapi gelombang kejahatan yang semakin canggih, semakin berani, dan semakin kejam. Dia merasa sudah terlalu tua untuk menegakkan hukum.


Cormac McCarthy sangat piawai dalam menulis berbagai tokoh. Seperti seorang aktor handal, dia berpindah-pindah set, menguasainya, dan memukau penonton dimanapun. Dia memasak di beberapa dapur sekaligus, dan menghasilkan beberapa masakan yang semuanya bercita rasa tinggi.


Kunci dari membaca novel ini adalah: lupakan plot. Jangan biarkan pikiran Anda mendikte jalan cerita novel ini. Setiap pembaca atau pemirsa cenderung mempunyai keinginan bagaimana sebuah cerita harus berjalan. Harusnya sang pangeran dan putri hidup bahagia selamanya. Atau harusnya perang berakhir dan dunia damai sejahtera. Lupakan dulu. Mari berbicara tentang individu sebagai personality yang unik dan kompleks.


Itulah kenapa, agak janggal bila Anda hanya menonton filmnya tanpa membaca bukunya. Anda akan terlewatkan prosa-prosa yang notabene merupakan argumen sang pengarang, mengenai sebuah topik, yaitu: No Country for Old Men. Tetapi filmnya sendiri juga cukup bagus menurut saya. Film yang sangat lugas dan sunyi, saking sunyinya saya bahkan seakan bisa mendengar pikiran tokoh-tokohnya berbicara. Awalnya saya tidak berniat menonton filmnya apabila saya dapat mencerna bukunya dengan mudah. Ternyata, saya menyukai filmnya. Dan saya juga baru tahu dari sampul DVD-nya, film ini memperoleh penghargaan Oscar sebagai film terbaik dan sutradara terbaik tahun 2008. Lumayan.

Selasa, 14 September 2010

Les Misérables - Victor Hugo

Oke, saya memang menonton filmnya lebih dulu. Tapi justru dari film itulah perkenalan saya dengan literatur klasik legendaris ini. Saya bersyukur pernah menonton film itu. Saya suka filmnya, saya terpaku dengan akting Liam Neeson, Geoffry Rush dan Uma Thurman, tergila-gila oleh logika plotnya. Ketertarikan saya semakin bertambah setelah menonton film serupa berbahasa Prancis yang dibintangi Jean Paul Belmondo. Setelah itu saya bertekad untuk memburu bukunya karena penasaran.


Ternyata bukunya jauh lebih luar biasa. Ada beberapa perbedaan antara buku yang terbit pertama tahun 1862 ini dengan filmnya, justru ini membuat saya apresiatif terhadap keduanya sebagai karya bermutu. Memang, tidak mungkin memasukkan novel setebal 690 halaman (dengan ukuran font yang sangat kecil, konon edisi bahasa Prancisnya bahkan tebal lebih dari 1.500 halaman) ke dalam film berdurasi 2 jam, untuk itu beberapa perubahan memang diperlukan. Dengan membaca bukunya, kita lebih bebas mengapresiasi, tanpa sesak napas terbatasi frame yang selalu menghimpit ketat.


Buku ini adalah magnum opus dari sastra Prancis abad 19. Victor Hugo adalah pengusung romantisme dalam sastra. Dalam romantisme, segalanya begitu agung, begitu emosional. Tak memulu hitam-putih, tapi sangat menjunjung tinggi pencarian kebenaran dan nilai-nilai kebajikan. Juga cinta dan kasih sayang bisa begitu dalam sampai menusuk ke tulang.


Les Miserables berarti orang-orang yang malang atau orang-orang yang mengiba. Oleh karena itu, sepanjang cerita dalam novel ini adalah tentang orang-orang yang tidak beruntung dalam peradaban, orang-orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat, orang-orang yang bergulat dalam kemiskinan struktural. Tapi dibalut dengan semangat romantisme tadi, kemalangan dan keibaan adalah jalan menuju kejujuran dan kebajikan sejati, meskipun pada akhirnya tetap kalah dan terpinggirkan.


Begitu panjangnya novel ini, konflik di dalamnya adalah konflik yang berlapis-lapis. Seakan tak cukup membuka lapis pertama, kita terus membuka lapis kedua, ketiga, dan selanjutnya. Pelajaran hidup dalam novel ini begitu lengkap, dari luar maupun dari dalam sekali. Membaca novel ini serasa lari marathon 42 kilometer. Tidak terbayang betapa luar biasa stamina Victor Hugo dalam menulis buku ini.


Novel ini bercerita tentang seseorang bernama Jean Valjean, seorang mantan narapidana yang dihukum kerja paksa selama 19 tahun karena mencuri roti untuk keluarganya yang kelaparan. Jean Valjean menjadi seseorang yang menegakkan kebajikan tanpa lelah, meskipun dirundung kemalangan dan kesulitan hidup. Jean Valjean meninggalkan dendam kesumatnya terhadap semua hal yang menentangnya dan membantu setiap orang tanpa pamrih. Valjean mengubah pandangan hidupnya yang skeptis berkat pelajaran hidup dari Uskup Myriel, yang membantunya lepas dari penjara meskipun Valjean telah mencuri di rumah sang Uskup.


Sejak itu Jean Valjean selalu berbuat baik tanpa pamrih kepada siapapun, meskipun disakiti orang. Ini serupa dengan etika Kristen yang "bila ditampar pipi kanan, memberikan pipi kirinya juga". Mungkin naif. Tapi begitulah Jean Valjean, memutuskan untuk menjadi naif, bahwa kebaikan tak ada batasnya. Naif tapi agung, itulah romantisme.


Ini adalah cerita mengenai Jean Valjean yang berusaha menegakkan kebajikan yang tulus, tapi masa lalunya selalu menjadi petaka baginya. Jean Valjean akhirnya menjadi walikota di sebuah kota, meninggalkan identitas masa lalunya sebagai mantan narapidana, mengganti namanya menjadi Monsieur Madelaine. Disana dia bertambah kaya dengan berhasil memiliki sebuah pabrik. Dia menolong seorang buruh pabrik yang miskin bernama Fantine yang terpaksa menjadi pelacur dan akhirnya meninggal karena TBC. Fantine memiliki anak haram bernama Cosette yang dititipkan kepada keluarga Thenardier yang mata duitan.


Kemalangan kemudian datang pada Valjean atau Monsieur Madelaine. Seorang inspektur polisi baru yang ambisius dan terobsesi untuk menegakkan hukum mengenali walikota baru itu sebagai mantan narapidana. Adalah melanggar hukum bagi seorang mantan narapidana mengubah identitas dan menjadi pejabat pemerintah. Setelah ketahuan kedoknya, Valjean melarikan diri ke Paris setelah sebelumnya menebus Cosette dan disana membesarkan Cosette sebagai anaknya sendiri.


Javert terus memburu Jean Valjean, melacaknya, dan kehilangan lagi. Ini menjadi obsesinya seumur hidup. Pada saat Javert mendapatkan kesulitan yang mengancam nyawanya karena mengejar Valjean, Valjean malah menolongnya. Hal ini yang membuat Javert berhutang nyawa terhadap Valjean, dan Javert tidak menyukai hal ini. Nurani Javert berperang melawan dirinya sendiri.


Begitu kaya karakterisasi dalam novel ini, kita serasa membaca 10 novel sekaligus. Tokoh utamanya tentu saja Jean Valjean, sang protagonis yang gigih. Fantine, wanita yang dikutuk karena melahirkan Cosette di luar nikah dan akhirnya dipecat sebagai buruh pabrik. Dia kemudian terpaksa menjadi pelacur yang kerap disiksa dan mendapat penyakit. Begitu miskinnya, Fantine sampai harus menjual rambut dan giginya untuk membiayai hidupnya dan mengirim uang untuk anaknya.


Cosette dibesarkan dalam keluarga Thenadier sebagai pembantu rumah tangga yang disia-siakan dan sering disiksa, sebelum ditebus Valjean. Thenardier adalah salah satu veteran perang Waterloo yang bankrut setelah menjalani bisnis penginapan dan akhirnya menjadi perampok di jalanan Paris. Gavroche, anak jalanan di Paris, adalah anak kandung Thenardier yang tidak terurus, yang akhirnya menjadi pahlawan anti monarki dan tewas ditembak tentara dalam peristiwa terkenal yaitu Pemberontakan Juni di Paris tahun 1832. 


Mereka adalah "Les Miserables". Negara tak pernah berpihak kepada mereka. Novel ini masih sangat aktual, meskipun satu abad lebih telah berlalu. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil. Novel ini juga cukup berharga sebagai sebuah novel historis. 


Menurut saya buku ini adalah novel paling luar biasa yang pernah saya baca. Begitu panjang, begitu luas, begitu lengkap, dan begitu dalam. Membuat saya terbawa secara emosional luar dalam, dan akhirnya di akhir buku saya benar-benar menangis. Ini pertama kalinya saya menangis dalam membaca buku, saya tak bisa menahannya.


Layaknya sebuah lari marathon, Victor Hugo tahu benar kapan harus berlari pelan, kapan harus sprint, kapan harus minum air, dan betapa luar biasanya pencapaian garis finish. Sangat intens. Sangat melelahkan. Tapi memang begitulah kehidupan.

Sabtu, 04 September 2010

The Name Of The Rose - Umberto Eco

Sartre pernah bercerita, waktu kecil dia sedang bermain di perpustakaan kakeknya. Dia bermain di antara buku-buku. Tapi buku-buku itu tetap diam.Kalimat-kalimat dalam buku itu tidak kunjung membuka rahasia dirinya.


Bagaimana membuka rahasia kalimat-kalimat itu? Dengan membacanya. Pembaca adalah pemegang kunci agar kata-kata dalam buku itu bisa tercipta menjadi realitas. Membaca adalah proses penciptaan ulang. Setiap teks adalah terbuka, dan pembaca melakukan interpretasi ulang, dan menciptakan dunia sendiri. Tidak terlalu penting apakah dunia yang diciptakan sama dengan dunia yang diciptakan oleh si penulis.


Inilah yang disebut dengan teori respon pembaca. Pengarang sudah tidak memiliki otoritas lagi terhadap benak pembaca. Pembaca memiliki kebebasan interpretasi atas teks yang dibacanya. Ini adalah sebuah teori yang post-modernist. Interpretasi tentang kebenaran dan makna adalah hal yang relatif.


Novel The Name Of The Rose juga merupakan sebuah argumen dari post-modernism, ala Umberto Eco. Kita semua tahu, Umberto Eco adalah sejarawan abad pertengahan yang piawai dalam semiotika dan pemikir post-modernism yang terkemuka.


Novel ini adalah sebuah cerita detektif. Terjadi serangkaian pembunuhan misterius yang harus diungkapkan. Eco menggambarkan bahwa interpretasi teks bisa menemukan makna dan kebenaran baru, sehingga mampu dijadikan alat untuk menemukan sang pembunuh.


Tersebutlah seorang Adso dari Melk yang menjadi cantrik dari seorang biarawan fransiskan yang cerdas bernama William dari Baskerville di abad pertengahan. Dia bercerita bahwa suatu hari mereka tiba di sebuah biara katolik, dimana terjadi pembunuhan-pembunuhan misterius yang keji. William dengan dibantu oleh Adso diberi tugas oleh abas dari biara tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Belakangan terungkap petunjuk bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan perpustakaan biara dan sebuah buku yang terlarang.


Dalam sejarah seperti diungkapkan sendiri oleh Eco dalam kata penutup, memang benar ada tokoh biarawan fransiskan terkenal bernama William of Ockham. Dia dikenal sebagai penganjur rasionalitas dalam iman katolik. Dan Eco memakai nama William of Baskerville, disengaja sebagai perwujudan Sherlock Holmes abad pertengahan. Ingat buku Sir Arthur Conan Doyle "The Hound of Baskervilles"? Nama Adso juga dekat pengucapannya dengan Watson, asisten Sherlock Holmes.


Banyak kemunculan teks lain dalam buku ini, sepertinya memang disengaja oleh Umberto Eco. Eco sengaja mengambil tokoh-tokoh, teks, kesamaan sejarah. Ini sesuai dengan semangat post-modernism, yaitu intertekstualitas. Menurut para pemikir post-modernist, sebuah teks selalu merujuk kepada teks-teks lain, bukannya kebenaran hakiki. Seperti yang dikatakan William of Baskerville dalam buku ini, "Buku selalu membicarakan buku-buku yang lain, dan setiap cerita selalu menceritakan cerita yang sudah pernah diceritakan sebelumnya."


Untuk sebuah novel dari seorang pemikir "berat", novel ini cukup enak dibaca dan menghibur. Untuk Anda yang menyukai wawasan pengetahuan, buku ini cukup menghilangkan dahaga dengan sejarah pemikiran yang sangat luas dan detail. Untuk Anda yang lain, yang suka berpikir tentang filsafat arkeologi pengetahuan dan ilmu sampai kepala botak, silakan dikupas habis buku ini paragraf demi paragraf dan Anda bisa mendiskusikannya berhari-hari.


Hal tersebut menjadikan buku ini sebagai sebuah masterpiece. Umberto Eco adalah sejarawan yang detail, filsuf yang dalam, sekaligus pencerita yang menarik, yang membuat kita tekun mendengarkan seperti seorang anak TK duduk mendengarkan fabel dari gurunya.


Seperti layaknya sebuah buku post-modernist sejati, akhir dari buku ini adalah ketidakpastian (relativitas). Juga kaya intertekstualitas seperti yang saya sebut di atas. Sarat wacana dekonstruksi seperti diskusi tentang silogisme dari William dan pencarian yang asyik akan petunjuk-petunjuk detektif. Juga pertanyaan-pertanyaan penting tentang makna dalam bahasa dan simbol.


Eco sendiri bercerita dalam kata penutup buku ini, mengapa novel ini diberi judul "The Name Of The Rose" (Nama dari Mawar). Dia bilang, karena mawar adalah figur simbolis yang telah memiliki begitu banyak arti, sampai akhirnya sekarang hampir tidak ada arti yang tersisa. Mungkin bahasa adalah penindasan, seperti kita diingatkan oleh Foucault. Seperti Sutardji yang pernah bertanya, sejak kapan sungai disebut "sungai". Bagi orang lain, dia adalah "kali", atau bahkan "river".


Seperti berharap tanpa makna, Anda sebaiknya membaca buku ini tanpa perlu menjadi pribadi yang njlimet. Anda bebas menciptakan dunia makna sendiri. Umberto Eco adalah Umberto Eco, Anda adalah Anda. Lagipula, agak aneh membicarakan post-modernism dengan latar belakang abad pertengahan, iya kan?