A Spot of Bother adalah buku kedua Mark Haddon setelah The Curious Incident of the Dog in the Night-time. Seperti buku pertamanya, di buku ini Mark Haddon menulis tentang gangguan mental seseorang dari perspektif si pengidap.
George adalah seorang pensiunan yang ternyata menderita hipokondria, kondisi kecemasan yang berlebihan terhadap suatu penyakit. Suatu kelainan kulit biasa di tubuhnya dianggap sebagai kanker ganas. Dia semakin takut akan kematian. Lama kelamaan kondisi mentalnya semakin menurun dan semakin labil. Dia tak pernah membicarakan hal ini dengan keluarganya, sampai dia mengambil sebuah gunting dan mencabut eksim yang dikira kanker dengan gunting di kamar mandi.
Jean adalah istri George. Dia setia menemani George sampai menjelang masa tua, sebelum akhirnya dia tak sengaja bertemu David, mantan rekan kerja George. Jean merasakan jatuh cinta kembali di usia senja, dan akhirnya terlibat perselingkuhan yang membara dengan David.
Mereka memiliki 2 anak yang masing-masing memiliki masalah sendiri-sendiri. Katie, seorang single mother pemarah yang memutuskan akan menikah dengan seorang pria bernama Ray, tapi tidak yakin akan rasa cintanya. Anak kedua adalah Jamie, seorang gay yang sedang bermasalah dengan pasangannya, Tony. Dalam ketegangan dan keributan menuju pesta perkawinan Katie, semua masalah keluarga itu seakan tumpah menjadi satu.
Dan semuanya dibungkus oleh Mark Haddon dalam komedi. Kita melihat melalui kacamata George, dimana akal sehatnya mulai menghilang, rasa takutnya akan kematian semakin menyerang. Kita seperti merasakan perselingkuhan Jean dan David. Kita merasakan pertengkaran antara Katie dan Ray sampai merasa sangsi apakah pernikahan bisa terjadi. Kita melihat dari kacamata seorang gay, bagaimana krisis identitas dapat merusak segala yang kita inginkan dari sebuah hubungan. Semuanya adalah hal yang patut ditangisi. Tapi humor Mark Haddon membuat kita tersenyum kecut.
Mark Haddon, seperti orang Inggris lainnya, menyukai humor kering. Ini seperti sebuah terapi komedi. Dia dapat menemukan komedi di setiap kehidupan biasa-biasa saja dalam sebuah keluarga normal. Kita dibuat tertawa di saat kita menangis, dan sebaliknya, menangis di saat kita tertawa.
Saya sebenarnya tidak punya pojok buku. Saya hanya sempat baca di kereta listrik waktu berangkat dan pulang kerja. Ini adalah ruang kosong saya, antara keluarga dan pekerjaan. Semoga ruang kosong ini semakin berisi. Saya sekarang hanya baca novel, tidak lagi membaca buku berat. Kereta listrik bukan sekolah filsafat Frankfurt. Takut keretanya anjlok. Buku paling berharga adalah buku bekas. Energi dari buku tersebut telah berpindah. Ini adalah review dari apa yang saya lihat, dengar, dan baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar