SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Kamis, 30 September 2010

Madame Bovary - Gustave Flaubert

Sesungguhnya buku ini dianggap sebagai novel terbaik yang pernah ada. Ada juga yang menganggapnya sebagai novel yang sempurna. Saya membacanya karena saya didera romantisme untuk mengumpulkan karya penulis klasik terbaik Prancis: Victor Hugo, Alexandre Dumas, dan Gustave Flaubert yang kondang itu. Tentu saja harapan saya melambung tinggi akan buku ini. Tapi ketika membaca sepanjang buku, saya mengerutkan kening, tidak mengerti mengapa buku ini disebut buku terbaik.

Madame Bovary adalah cerita tentang perselingkuhan seorang wanita. Ditulis oleh Gustave Flaubert tahun 1856, cerita ini awalnya diterbitkan secara bersambung di sebuah surat kabar. Cerita tentang perselingkuhan seorang ibu rumah tangga dan penggambaran adegan percintaan yang terlarang dalam buku ini membuatnya menghadapi tuntutan pengadilan dengan tuduhan ketidaksenonohan dan tidak bermoral. Flaubert akhirnya bebas dari tuduhan dan bukunya menjadi terkenal di masa itu.

Dalam cerita tersebut, tersebutlah seorang dokter yang biasa-biasa saja bernama Charles Bovary. Ibunya berharap Bovary sukses, dengan menyekolahkannya menjadi dokter, dan setelah lulus mencarikan istri yang tepat untuknya. Dia dinikahkan dengan Madame Dubuc, seorang janda berumur 45 tahun yang tidak menarik tapi berpenghasilan lumayan.

Pada suatu hari Charles Bovary mengobati seorang petani kaya yang retak kaki bernama Monsieur Rouault. Rouault akhirnya sembuh dan merasa berhutang budi kepada Bovary. Monsieur Rouault mempunyai anak gadis yang sangat cantik bernama Emma. Karena seringnya Charles mengunjungi rumah Rouault, istrinya cemburu karena mengira Charles mengejar gadis itu. Charles Bovary adalah seorang yang polos dan kaku, dia tidak mungkin berani untuk mengkhianati istrinya, meski dia tertarik kepada Emma. Namun tak berapa lama, istri Charles meninggal.

Charles Bovary terpukul atas kehilangan istrinya. Kenalan-kenalannya berusaha menghiburnya, terutama Monsieur Rouault. Rouault melihat ketertarikan Charles pada Emma (walaupun selalu disangkal sendiri), dan akhirnya menawarkan Charles untuk dinikahkan dengan anak gadisnya tersebut. Charles setuju, dan akhirnya Charles dan Emma menikah. Charles bahagia sekali mempunyai istri secantik Emma. Emma sendiri, dalam hatinya tidak mengetahui apakah dia benar-benar mencintai Charles. Dia kerap kesal dengan sikap Charles yang tidak romantis, tidak peka, dan kikuk. Emma gemar membaca novel-novel. Dia menginginkan romantisme yang ada di novel tersebut terjadi padanya. Dia ingin merasakan percintaan yang membara, keliling dunia, berpesta dan bersenang-senang. Namun impian itu pupus setelah dia menikah dengan Charles, dan kemudian hamil.

Ketika Emma mulai tidak terlihat puas dengan kehidupan mereka, Charles mengajak mereka pindah ke kota yang lebih besar, yaitu Yonville, dekat kota besar Normandia, Rouen. Charles pikir Emma akan semakin gembira karena dia selalu bermimpi tinggal di kota besar yang ramai dan serba ada. Di Yonville juga akhirnya Emma melahirkan seorang anak perempuan.

Di kota baru itu mereka berteman dengan pemuka-pemuka masyarakat. Salah satunya adalah Leon Dupuis, seorang pemuda yang bekerja pada notaris kota. Leon menjadi berteman dengan Emma, karena ternyata mereka sama-sama memiliki kesamaan pengetahuan, minat bacaan, dan memainkan musik. Karena pertemanan menjadi dekat, mereka akhirnya jatuh hati, tapi tidak berani untuk saling mengungkapkan. Merasa bersalah dan tersiksa atas rindunya kepada Emma, Leon pindah ke Paris untuk melanjutkan sekolah hukum. Emma dalam hati menangisi kepergian Leon dan menyesali kenapa dia tidak pernah memadu cinta dengannya. Sementara Charles tidak menyadari hubungan emosional antara kedua orang ini.

Sepeninggal Leon, Emma kembali merasa tidak puas akan kehidupan rumah tangganya yang datar. Suatu saat, Charles mengenalkannya dengan Rodolphe Boulanger, seorang juragan pertanian dan tuan tanah yang mata keranjang. Rodolphe terpesona dengan kecantikan Emma, akhirnya memutuskan untuk mengejar Emma dengan cara apapun, meskipun dia sudah banyak memiliki wanita simpanan.

Rodolphe merayu dan memaksa Emma dengan gigih. Awalnya Emma menolaknya karena tidak punya hati terhadap Rodolphe. Tapi Rodolphe sungguh licin, akhirnya Emma bertekuk lutut kepadanya. Mereka menjalin cinta dan semakin bergelora tiap hari. Setiap ada waktu luang, mereka luangkan untuk bertemu dan bercinta di tempat yang sudah disepakati sebelumnya. Lama-kelamaan hubungan cinta mereka semakin terang-terangan, namun Charles tetap tidak menyadari. Dia masih menganggap Rodolphe pria terhormat dimatanya, dan menyanjung tinggi istrinya lebih dari siapapun. Emma memberikan semuanya untuk Rodolphe. Dia jatuh cinta dalam sekali kepada Rodolphe, namun Rodolphe tidak berminat untuk serius. Emma berhutang banyak barang untuk diberikan kepada Rodolphe sebagai tanda cinta, tentunya tanpa sepengetahuan suaminya. Emma juga merencanakan mereka berdua untuk melarikan diri dari kota itu dan pergi ke Paris. Takut akan keseriusan Emma, Rodolphe justru melarikan diri sendirian, memutuskan cintanya dengan Emma melalui sepucuk surat.

Emma Bovary sangat terpukul karena diputuskan cintanya yang menggebu-gebu. Dia menjadi depresi dan jatuh sakit. Suaminya cemas setengah mati akan keadaan istrinya. Emma mencoba bunuh diri, tetapi gagal. Bagaimanapun, suaminya tetap merawat dia sampai sembuh dan normal kembali. Suatu saat, untuk menghibur istrinya yang depresi, Charles membawanya ke kota Rouen untuk menonton opera. Emma menyukai opera, akan tetapi ada hal yang lebih disukainya disitu: mereka bertemu dengan Leon Dupuis, yang telah selesai sekolah dan bekerja di Rouen. Leon ingin mereka tinggal sehari lagi di kota itu, tapi san dokter mengeluh tidak bisa karena kesibukannya. Akhirnya Charles mengusulkan Emma untuk tinggal di Rouen sehari lagi, ditemani Leon yang sudah dianggap teman baik mereka, sementara dia sendiri pulang ke Yonville. Leon bersuka cita dalam hati mendengar hal ini.

Sepeninggal Charles di Rouen, Emma berniat untuk benar-benar tidak memulai perselingkuhan lagi. Dia memutuskan untuk menolak cinta Leon apabila dia berani menyatakannya. Ternyata Leon membawanya ke taksi kereta yang tertutup keliling kota, dan disana Emma sekali lagi takluk oleh cinta Leon. Mereka bercinta tanpa bisa dihindari di dalam kereta taksi tersebut, berkeliling kota. Perselingkuhan Emma Bovary kembali dimulai, dan sekali lagi Charles Bovary tidak menyadari sama sekali.

Emma menjadi lebih sering pergi ke kota Rouen dengan alasan untuk mengambil kursus piano. Charles heran, mengapa kursus piano sampai sejauh itu. Toh dia tetap merelakan, bahkan membiayai kursus bohong itu. Leon dan Emma selalu menyewa kamar hotel yang sama di Rouen. Semakin lama, kehidupan percintaan mereka semakin liar. Leon bahkan mulai mengabaikan pekerjaannya hanya untuk bertemu Emma. Emma juga berhutang semakin banyak kepada rentenir, karena hubungan jarak jauh untuk bersenang-senang itu memerlukan biaya yang banyak. Dia memakai uang hasil kerja suaminya dari para pasiennya, dan tetap dia berhutang tanpa sepengetahuan suami. Emma bahkan menggadaikan rumah warisan ayah Charles tanpa sepengetahuannya. Tanpa memikirkan bagaimana harus membayar, Emma semakin dalam terbelit hutang. Sampai pada suatu saat, pihak penjamin berniat untuk menyita rumah dan semua hartanya dan suaminya. Charles bingung dengan kedatangan sang juru sita. Emma panik. Dia meminta tolong Leon untuk mencarikan pinjaman, tetapi gagal. Dia bahkan meminta Leon untuk mengambil uang kantornya, tapi Leon menolak.

Emma berusaha menegosiasi ulang utangnya kepada sang lintah darat dengan cara merayunya. Tetapi ternyata sang rentenir lebih suka uang daripada rayuannya. Emma minta tolong kepada notaris Yonville, tapi Emma menolak waktu sang notaris "menggerayangi" Emma. Kemudian Emma kembali mencari Rodolphe, kekasih lamanya. Rodolphe menolak membantunya meskipun Emma memohon-mohon.

Akhirnya Emma bunuh diri dengan meminum racun. Charles Bovary yang panik berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan istrinya, tapi gagal. Emma tersenyum kepada Charles dan menghembuskan napas terakhir. Sepeninggal istrinya, Charles patah hati. Dia sangat menyayangi istrinya yang cantik, cerdas, dan aktif. Dia sangat mengagumi istrinya. Charles sering duduk sendiri di lantai atas rumahnya, tempat Emma biasa menyendiri. Disana dia menemukan surat-surat cinta Rodolphe dan Leon kepada Emma. Charles makin patah hati dan sering menyendiri, mengabaikan praktek kedokterannya. Akhirnya kesehatannya mulai menurun, dan dia meninggal dunia, meninggalkan anaknya yang hidup sengsara sebagai yatim piatu.

Sesungguhnya Madame Bovary adalah roman metropolitan dalam arti sebenarnya, yang ditulis lebih dari seabad yang lalu. Masa itu adalah masa beralihnya kekuasaan dari para bangsawan yang bebas dan hedonis ke kaum borjuis kelas menengah yang munafik, penghotbah moral, tapi korup. Tokoh-tokoh yang ada di kota Yonville menggambarkan hal itu: Emma sendiri, Rodolphe, Leon, sang rentenir, sang apoteker, sang notaris, dan lain-lain. Temanya sendiri adalah perselingkuhan seorang ibu rumah tangga pada abad tersebut. Anda bayangkan, betapa karya ini sangat menggegerkan dunia. Sebuah karya yang berani blak-blakan menyinggung banyak orang konservatif. Tetapi di masa sekarang, seperti saya membacanya, tidak terasa gregetnya saking sudah biasanya.

Tapi saya mempunyai pendapat sendiri mengenai bagaimana seharusnya sebuah karya sastra. Menurut saya, sebuah karya sastra yang baik harusnya tidak ahistoris, dia harus berkaitan dengan suatu masa dalam suatu entitas sosial. Dia memotret realitas sosial dan hubungannya dengan karakter. Bila saya membaca sebuah novel tentang si A yang mencintai si B, tapi si B mencintai si C, kemudian si A menghajar si C dan seterusnya, novel itu menjadi ahistoris bila tidak ada kaitan dengan realitas sosial tertentu dalam masa tertentu. Cerita itu menjadi dongeng sambil lalu, tanpa ada keterkaitan sosial dan emosional dengan apapun, dan akan terlupakan beberapa saat kemudian. Coba tengok misalkan buku Love In The Time Cholera, sebuah kisah percintaan yang menggambarkan keseluruhan realitas historis, yang membuatnya bermakna sangat dalam. Atau bahkan Bumi Manusia, mengenai kisah cinta antara Minke dan Annelies. Begitu pula Madame Bovary, yang secara tersirat menggambarkan kepribadian dan moralitas yang berkarat pada masa itu. Buku ini adalah sebuah potret, dan ini berharga. Buku ini menohok para pembacanya dulu, untuk itulah buku ini menjadi lebih berharga.

Flaubert bukan seorang feminis, bahkan konon dia terkena sipilis karena petualangan seksnya yang liar. Tapi karena membicarakan "bagian hitam" dari seorang wanita, maka buku ini (tak perlu disengaja) menjadi bahan diskusi feminisme. Flaubert menulis buku ini dengan sangat meyakinkan seolah dia adalah perempuan. Ternyata, perempuan juga kadang memiliki kecenderungan poligami, sama dengan laki-laki. Mereka membutuhkan keluarga yang normal, aman dan stabil, tapi siapa bilang mereka tidak menginginkan petualangan percintaan yang berapi-api sepanjang hidupnya? Saya mohon maaf, saya tidak bisa berbicara mewakili semua wanita. Saya hanya berusaha mewakili Emma Bovary. Manusia tidak seperti Mimi dan Mintuna yang cepat sekali dipuaskan. Manusia selalu memiliki keinginan lebih dan lebih banyak lagi, baik keinginan akan cinta, harta, kekuasaan, atau sekedar pengakuan eksistensi.

Meskipun begitu, nature dan konsekuensi yang diterima perempuan dalam hasrat poligami sangat berbeda dengan laki-laki. Laki-laki bisa melakukan poligami tanpa rasa bersalah, masyarakat masih memakluminya, bahkan dapat melakukan beberapa hubungan cinta sekaligus tanpa ikatan, tanpa emosi, bahkan tanpa cinta. Perempuan cenderung menyerahkan semua emosinya ke hubungan percintaannya yang terlarang, dan mematikan rasionya. Wanita berselingkuh dengan menyerahkan seluruh hatinya, sedangkan pria bisa berselingkuh hanya untuk bersenang-senang. Memang dua-duanya bisa berakhir tragis, tapi permakluman laki-laki yang selingkuh lebih besar daripada bila perempuan yang melakukannya.

Dalam sebuah buku lain yang juga sedang saya baca, saya menemukan kutipan Virginia Woolf yang menulis, "Seluruh hidup seorang perempuan jatuh dalam bayangan sebuah pedang." Maksudnya, di satu sisi pedang adalah ketentuan, tradisi dalam masyarakat, dan perintah-perintah, dimana semua "benar". Tapi di sisi yang berseberangan dari pedang itu, adalah gagasan gila seorang perempuan untuk memilih hidup yang tidak mengikuti ketentuan. Di sisi ini, menurut Woolf, mungkin perempuan mendapatkan kehidupan yang menarik, tapi jalan ini beresiko bagi seorang perempuan untuk kehilangan segalanya.

Seandainya saya seorang perempuan, mungkin saya lebih mengerti akan buku yang feminin ini. Oh tidak, ada yang lebih baik: seandainya Madame Bovary seorang laki-laki...

Senin, 20 September 2010

No Country For Old Men - Cormac McCarthy

Ketika selesai membaca, saya membolak-balik lagi halaman-halaman dalam buku ini. Apakah saya melewatkan beberapa halaman? Ataukah buku saya tidak lengkap? Apakah ada yang salah dalam terjemahannya? Lalu saya download audio book-nya dalam bahasa Inggris. Saya membaca lagi (sebenarnya mendengarkan) bab yang membingungkan. Bahkan saya sampai menyewa filmnya untuk melihat di bagian mana saya kelewatan membaca.


Ternyata tidak ada yang salah dengan halaman buku saya dan terjemahannya. Bahkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia-nya excellent, dua jempol saya untuk penerjemah.


Buku ini memang tidak mudah untuk dibaca. Baik dari plotnya yang berbelok 180 derajat, maupun dari gaya penulisannya. Gaya penulisannya membuat kita harus beradaptasi sebentar untuk bisa menikmatinya. Seperti tiba-tiba kita berada di daerah yang gelap, perlu beberapa waktu agar mata kita bisa beradaptasi dan bisa melihat sekeliling. Setelah itu, novel ini akan sangat menarik dan membawa pikiran Anda lepas dari badan Anda, menerawang ke gurun-gurun Texas. Bau debu yang sangat terasa, pengejaran yang mematikan dan membuat Anda menahan napas, dan kebingungan yang luar biasa di daerah yang asing.


Tidak diragukan lagi, buku ini memang punya kualitas film. Cepat atau lambat akan ada orang yang mengangkatnya ke layar lebar. Beberapa bab membacanya, Anda pasti sependapat dengan saya, bahkan mungkin mulai memilih kasting yang cocok untuk pemerannya. Dan memang benar, film No Country For Old Men sudah dirilis tahun 2007 oleh sutradara bersaudara Joel dan Ethan Coen.


Aksi laga dalam buku ini lumayan menegangkan. Tapi Anda akan merasa terkecoh bila Anda menaruh perhatian berlebihan pada aksi laga. Novel ini menceritakan tiga tokoh berbeda yang saling berkaitan, meskipun jarang, bahkan tidak pernah bertemu.


Llywellyn Moss, pemuda kampung Terrel County, sedang berburu di gurun di Texas, dekat perbatasan. Tanpa sengaja, dia menemukan bekas pertempuran antar pedagang obat bius. Dia menemukan beberapa mobil dengan beberapa mayat yang terbunuh. Satu orang yang berkebangsaan Mexico ternyata masih hidup dan dia juga menemukan satu mobil penuh dengan kokain. Dia meninggalkan orang Mexico yang sekarat itu setelah mengambil senjata apinya.


Llewellyn Moss menemukan jejak darah menuju ke suatu tempat lain. Di pepohonan yang cukup jauh dari situ, dia menemukan lagi sebuah mobil dan seorang Mexico lagi yang terbunuh. Mayat yang terakhir ini memegang koper berisi uang sejumlah 2 juta dollar. Llewellyn membawa pulang uang tersebut.


Anton Chigurh adalah seorang pembunuh sosiopat bayaran berdarah dingin. Dia ditugaskan oleh salah satu pihak yang bertempur di gurun tersebut untuk mendapatkan uangnya kembali, sejumlah 2 juta dollar. Chigurh sangat profesional dalam menjalankan pekerjaannya, dan dia tidak punya perasaan kasihan dalam membunuh.  Dia kadang mengurungkan niatnya membunuh seseorang hanya dengan tebak-tebakan melempar koin, salah menebak gambar koin berarti Chigurh akan membunuhmu.


Llewellyn Moss melarikan diri membawa uang 2 juta dollar, dan Chigurh selalu saja berhasil mengejarnya, berada satu langkah tepat dibelakangnya. Nyawa istri Moss, Carla Jean, juga terancam, karena Chigurh akan membunuhnya pula apabila istri yang diungsikannya ke Odessa itu tahu posisi Moss.


Tinggallah seorang Sheriff tua Ed Tom Bell yang berusaha untuk menolong Llewellyn dan Carla Jean, tapi selalu ketinggalan. Sheriff Bell berusaha sekuat tenaga menuntaskan kasus perang antar gang narkoba itu, dan berusaha mengejar Llewellyn dan menemui Carla Jean untuk berusaha menyelamatkannya. Akan tetapi mayat tetap berjatuhan karena Chigurh membunuh setiap orang yang menghalanginya dan Llewellyn Moss yang sendirian juga tak kalah sengit melakukan perlawanan.


Disinilah mungkin saya terlewat, karena saya meremehkan tokoh Sheriff Ed Tom Bell. Dia mempunyai dunia sendiri, sebagaimana Anton Chigurh dan Llewellyn Moss. Dia adalah pemilik sejati novel ini. Bahkan dia pula yang memberi judul novel ini "No Country for Old Men". Novel ini adalah tentang kegamangan dia dalam menghadapi gelombang kejahatan yang semakin canggih, semakin berani, dan semakin kejam. Dia merasa sudah terlalu tua untuk menegakkan hukum.


Cormac McCarthy sangat piawai dalam menulis berbagai tokoh. Seperti seorang aktor handal, dia berpindah-pindah set, menguasainya, dan memukau penonton dimanapun. Dia memasak di beberapa dapur sekaligus, dan menghasilkan beberapa masakan yang semuanya bercita rasa tinggi.


Kunci dari membaca novel ini adalah: lupakan plot. Jangan biarkan pikiran Anda mendikte jalan cerita novel ini. Setiap pembaca atau pemirsa cenderung mempunyai keinginan bagaimana sebuah cerita harus berjalan. Harusnya sang pangeran dan putri hidup bahagia selamanya. Atau harusnya perang berakhir dan dunia damai sejahtera. Lupakan dulu. Mari berbicara tentang individu sebagai personality yang unik dan kompleks.


Itulah kenapa, agak janggal bila Anda hanya menonton filmnya tanpa membaca bukunya. Anda akan terlewatkan prosa-prosa yang notabene merupakan argumen sang pengarang, mengenai sebuah topik, yaitu: No Country for Old Men. Tetapi filmnya sendiri juga cukup bagus menurut saya. Film yang sangat lugas dan sunyi, saking sunyinya saya bahkan seakan bisa mendengar pikiran tokoh-tokohnya berbicara. Awalnya saya tidak berniat menonton filmnya apabila saya dapat mencerna bukunya dengan mudah. Ternyata, saya menyukai filmnya. Dan saya juga baru tahu dari sampul DVD-nya, film ini memperoleh penghargaan Oscar sebagai film terbaik dan sutradara terbaik tahun 2008. Lumayan.

Selasa, 14 September 2010

Les Misérables - Victor Hugo

Oke, saya memang menonton filmnya lebih dulu. Tapi justru dari film itulah perkenalan saya dengan literatur klasik legendaris ini. Saya bersyukur pernah menonton film itu. Saya suka filmnya, saya terpaku dengan akting Liam Neeson, Geoffry Rush dan Uma Thurman, tergila-gila oleh logika plotnya. Ketertarikan saya semakin bertambah setelah menonton film serupa berbahasa Prancis yang dibintangi Jean Paul Belmondo. Setelah itu saya bertekad untuk memburu bukunya karena penasaran.


Ternyata bukunya jauh lebih luar biasa. Ada beberapa perbedaan antara buku yang terbit pertama tahun 1862 ini dengan filmnya, justru ini membuat saya apresiatif terhadap keduanya sebagai karya bermutu. Memang, tidak mungkin memasukkan novel setebal 690 halaman (dengan ukuran font yang sangat kecil, konon edisi bahasa Prancisnya bahkan tebal lebih dari 1.500 halaman) ke dalam film berdurasi 2 jam, untuk itu beberapa perubahan memang diperlukan. Dengan membaca bukunya, kita lebih bebas mengapresiasi, tanpa sesak napas terbatasi frame yang selalu menghimpit ketat.


Buku ini adalah magnum opus dari sastra Prancis abad 19. Victor Hugo adalah pengusung romantisme dalam sastra. Dalam romantisme, segalanya begitu agung, begitu emosional. Tak memulu hitam-putih, tapi sangat menjunjung tinggi pencarian kebenaran dan nilai-nilai kebajikan. Juga cinta dan kasih sayang bisa begitu dalam sampai menusuk ke tulang.


Les Miserables berarti orang-orang yang malang atau orang-orang yang mengiba. Oleh karena itu, sepanjang cerita dalam novel ini adalah tentang orang-orang yang tidak beruntung dalam peradaban, orang-orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat, orang-orang yang bergulat dalam kemiskinan struktural. Tapi dibalut dengan semangat romantisme tadi, kemalangan dan keibaan adalah jalan menuju kejujuran dan kebajikan sejati, meskipun pada akhirnya tetap kalah dan terpinggirkan.


Begitu panjangnya novel ini, konflik di dalamnya adalah konflik yang berlapis-lapis. Seakan tak cukup membuka lapis pertama, kita terus membuka lapis kedua, ketiga, dan selanjutnya. Pelajaran hidup dalam novel ini begitu lengkap, dari luar maupun dari dalam sekali. Membaca novel ini serasa lari marathon 42 kilometer. Tidak terbayang betapa luar biasa stamina Victor Hugo dalam menulis buku ini.


Novel ini bercerita tentang seseorang bernama Jean Valjean, seorang mantan narapidana yang dihukum kerja paksa selama 19 tahun karena mencuri roti untuk keluarganya yang kelaparan. Jean Valjean menjadi seseorang yang menegakkan kebajikan tanpa lelah, meskipun dirundung kemalangan dan kesulitan hidup. Jean Valjean meninggalkan dendam kesumatnya terhadap semua hal yang menentangnya dan membantu setiap orang tanpa pamrih. Valjean mengubah pandangan hidupnya yang skeptis berkat pelajaran hidup dari Uskup Myriel, yang membantunya lepas dari penjara meskipun Valjean telah mencuri di rumah sang Uskup.


Sejak itu Jean Valjean selalu berbuat baik tanpa pamrih kepada siapapun, meskipun disakiti orang. Ini serupa dengan etika Kristen yang "bila ditampar pipi kanan, memberikan pipi kirinya juga". Mungkin naif. Tapi begitulah Jean Valjean, memutuskan untuk menjadi naif, bahwa kebaikan tak ada batasnya. Naif tapi agung, itulah romantisme.


Ini adalah cerita mengenai Jean Valjean yang berusaha menegakkan kebajikan yang tulus, tapi masa lalunya selalu menjadi petaka baginya. Jean Valjean akhirnya menjadi walikota di sebuah kota, meninggalkan identitas masa lalunya sebagai mantan narapidana, mengganti namanya menjadi Monsieur Madelaine. Disana dia bertambah kaya dengan berhasil memiliki sebuah pabrik. Dia menolong seorang buruh pabrik yang miskin bernama Fantine yang terpaksa menjadi pelacur dan akhirnya meninggal karena TBC. Fantine memiliki anak haram bernama Cosette yang dititipkan kepada keluarga Thenardier yang mata duitan.


Kemalangan kemudian datang pada Valjean atau Monsieur Madelaine. Seorang inspektur polisi baru yang ambisius dan terobsesi untuk menegakkan hukum mengenali walikota baru itu sebagai mantan narapidana. Adalah melanggar hukum bagi seorang mantan narapidana mengubah identitas dan menjadi pejabat pemerintah. Setelah ketahuan kedoknya, Valjean melarikan diri ke Paris setelah sebelumnya menebus Cosette dan disana membesarkan Cosette sebagai anaknya sendiri.


Javert terus memburu Jean Valjean, melacaknya, dan kehilangan lagi. Ini menjadi obsesinya seumur hidup. Pada saat Javert mendapatkan kesulitan yang mengancam nyawanya karena mengejar Valjean, Valjean malah menolongnya. Hal ini yang membuat Javert berhutang nyawa terhadap Valjean, dan Javert tidak menyukai hal ini. Nurani Javert berperang melawan dirinya sendiri.


Begitu kaya karakterisasi dalam novel ini, kita serasa membaca 10 novel sekaligus. Tokoh utamanya tentu saja Jean Valjean, sang protagonis yang gigih. Fantine, wanita yang dikutuk karena melahirkan Cosette di luar nikah dan akhirnya dipecat sebagai buruh pabrik. Dia kemudian terpaksa menjadi pelacur yang kerap disiksa dan mendapat penyakit. Begitu miskinnya, Fantine sampai harus menjual rambut dan giginya untuk membiayai hidupnya dan mengirim uang untuk anaknya.


Cosette dibesarkan dalam keluarga Thenadier sebagai pembantu rumah tangga yang disia-siakan dan sering disiksa, sebelum ditebus Valjean. Thenardier adalah salah satu veteran perang Waterloo yang bankrut setelah menjalani bisnis penginapan dan akhirnya menjadi perampok di jalanan Paris. Gavroche, anak jalanan di Paris, adalah anak kandung Thenardier yang tidak terurus, yang akhirnya menjadi pahlawan anti monarki dan tewas ditembak tentara dalam peristiwa terkenal yaitu Pemberontakan Juni di Paris tahun 1832. 


Mereka adalah "Les Miserables". Negara tak pernah berpihak kepada mereka. Novel ini masih sangat aktual, meskipun satu abad lebih telah berlalu. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil. Novel ini juga cukup berharga sebagai sebuah novel historis. 


Menurut saya buku ini adalah novel paling luar biasa yang pernah saya baca. Begitu panjang, begitu luas, begitu lengkap, dan begitu dalam. Membuat saya terbawa secara emosional luar dalam, dan akhirnya di akhir buku saya benar-benar menangis. Ini pertama kalinya saya menangis dalam membaca buku, saya tak bisa menahannya.


Layaknya sebuah lari marathon, Victor Hugo tahu benar kapan harus berlari pelan, kapan harus sprint, kapan harus minum air, dan betapa luar biasanya pencapaian garis finish. Sangat intens. Sangat melelahkan. Tapi memang begitulah kehidupan.

Sabtu, 04 September 2010

The Name Of The Rose - Umberto Eco

Sartre pernah bercerita, waktu kecil dia sedang bermain di perpustakaan kakeknya. Dia bermain di antara buku-buku. Tapi buku-buku itu tetap diam.Kalimat-kalimat dalam buku itu tidak kunjung membuka rahasia dirinya.


Bagaimana membuka rahasia kalimat-kalimat itu? Dengan membacanya. Pembaca adalah pemegang kunci agar kata-kata dalam buku itu bisa tercipta menjadi realitas. Membaca adalah proses penciptaan ulang. Setiap teks adalah terbuka, dan pembaca melakukan interpretasi ulang, dan menciptakan dunia sendiri. Tidak terlalu penting apakah dunia yang diciptakan sama dengan dunia yang diciptakan oleh si penulis.


Inilah yang disebut dengan teori respon pembaca. Pengarang sudah tidak memiliki otoritas lagi terhadap benak pembaca. Pembaca memiliki kebebasan interpretasi atas teks yang dibacanya. Ini adalah sebuah teori yang post-modernist. Interpretasi tentang kebenaran dan makna adalah hal yang relatif.


Novel The Name Of The Rose juga merupakan sebuah argumen dari post-modernism, ala Umberto Eco. Kita semua tahu, Umberto Eco adalah sejarawan abad pertengahan yang piawai dalam semiotika dan pemikir post-modernism yang terkemuka.


Novel ini adalah sebuah cerita detektif. Terjadi serangkaian pembunuhan misterius yang harus diungkapkan. Eco menggambarkan bahwa interpretasi teks bisa menemukan makna dan kebenaran baru, sehingga mampu dijadikan alat untuk menemukan sang pembunuh.


Tersebutlah seorang Adso dari Melk yang menjadi cantrik dari seorang biarawan fransiskan yang cerdas bernama William dari Baskerville di abad pertengahan. Dia bercerita bahwa suatu hari mereka tiba di sebuah biara katolik, dimana terjadi pembunuhan-pembunuhan misterius yang keji. William dengan dibantu oleh Adso diberi tugas oleh abas dari biara tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Belakangan terungkap petunjuk bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan perpustakaan biara dan sebuah buku yang terlarang.


Dalam sejarah seperti diungkapkan sendiri oleh Eco dalam kata penutup, memang benar ada tokoh biarawan fransiskan terkenal bernama William of Ockham. Dia dikenal sebagai penganjur rasionalitas dalam iman katolik. Dan Eco memakai nama William of Baskerville, disengaja sebagai perwujudan Sherlock Holmes abad pertengahan. Ingat buku Sir Arthur Conan Doyle "The Hound of Baskervilles"? Nama Adso juga dekat pengucapannya dengan Watson, asisten Sherlock Holmes.


Banyak kemunculan teks lain dalam buku ini, sepertinya memang disengaja oleh Umberto Eco. Eco sengaja mengambil tokoh-tokoh, teks, kesamaan sejarah. Ini sesuai dengan semangat post-modernism, yaitu intertekstualitas. Menurut para pemikir post-modernist, sebuah teks selalu merujuk kepada teks-teks lain, bukannya kebenaran hakiki. Seperti yang dikatakan William of Baskerville dalam buku ini, "Buku selalu membicarakan buku-buku yang lain, dan setiap cerita selalu menceritakan cerita yang sudah pernah diceritakan sebelumnya."


Untuk sebuah novel dari seorang pemikir "berat", novel ini cukup enak dibaca dan menghibur. Untuk Anda yang menyukai wawasan pengetahuan, buku ini cukup menghilangkan dahaga dengan sejarah pemikiran yang sangat luas dan detail. Untuk Anda yang lain, yang suka berpikir tentang filsafat arkeologi pengetahuan dan ilmu sampai kepala botak, silakan dikupas habis buku ini paragraf demi paragraf dan Anda bisa mendiskusikannya berhari-hari.


Hal tersebut menjadikan buku ini sebagai sebuah masterpiece. Umberto Eco adalah sejarawan yang detail, filsuf yang dalam, sekaligus pencerita yang menarik, yang membuat kita tekun mendengarkan seperti seorang anak TK duduk mendengarkan fabel dari gurunya.


Seperti layaknya sebuah buku post-modernist sejati, akhir dari buku ini adalah ketidakpastian (relativitas). Juga kaya intertekstualitas seperti yang saya sebut di atas. Sarat wacana dekonstruksi seperti diskusi tentang silogisme dari William dan pencarian yang asyik akan petunjuk-petunjuk detektif. Juga pertanyaan-pertanyaan penting tentang makna dalam bahasa dan simbol.


Eco sendiri bercerita dalam kata penutup buku ini, mengapa novel ini diberi judul "The Name Of The Rose" (Nama dari Mawar). Dia bilang, karena mawar adalah figur simbolis yang telah memiliki begitu banyak arti, sampai akhirnya sekarang hampir tidak ada arti yang tersisa. Mungkin bahasa adalah penindasan, seperti kita diingatkan oleh Foucault. Seperti Sutardji yang pernah bertanya, sejak kapan sungai disebut "sungai". Bagi orang lain, dia adalah "kali", atau bahkan "river".


Seperti berharap tanpa makna, Anda sebaiknya membaca buku ini tanpa perlu menjadi pribadi yang njlimet. Anda bebas menciptakan dunia makna sendiri. Umberto Eco adalah Umberto Eco, Anda adalah Anda. Lagipula, agak aneh membicarakan post-modernism dengan latar belakang abad pertengahan, iya kan?