SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Senin, 19 September 2011

Chocolat - Joanne Harris

Saya sudah menonton film Chocolat 11 tahun yang lalu, baru kali ini saya sempat membaca bukunya. Ternyata ada perbedaan mendasar antara buku dan adaptasi filmnya. Pendekatan yang dipakai di film adalah komedi, sedangkan narasi asli dalam bukunya lebih suram.

Tokoh utama Vianne Rocher dalam film digambarkan sebagai karakter yang misterius dan sedikit mistis, dengan diceritakan sebagai keturunan orang Indian Amerika Selatan yang mempunyai rahasia kuno, sedangkan dalam buku digambarkan lebih manusiawi, sebagai seorang wanita Prancis yang memiliki latar belakang psikologi yang kompleks. Nama toko coklat yang dibukanya pun berbeda, di film bernama La Chocolaterie Maya, sedangkan di buku bernama La Celeste Praline. Tapi baik di film maupun di bukunya, keduanya membahas detail tentang hal yang sangat saya sukai: coklat.

Sejujurnya saya lebih menikmati filmnya daripada bukunya, tapi tidak bisa saya pungkiri Joanne Harris memiliki prosa yang luar biasa. Gaya bercerita Harris sangat menyenangkan untuk dibaca, membuat saya terpaku di depan bukunya tanpa kenal waktu.

Buku ini bercerita mengenai pengembaraan seorang wanita bernama Vianne Rocher dan anak perempuannya bernama Anouk yang memiliki sesosok teman imajiner. Mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah desa kecil bernama Lansquenet-sous-Tannes, dimana penduduknya sangat taat beragama karena dipengaruhi oleh sebuah gereja katolik pimpinan pendeta Francis Reynaud.

Vianne Rocher piawai dalam mengolah coklat menjadi makanan, permen, dan minuman yang lezat tiada tara. Karena itu di Lansquenet-sous-Tannes dia mendirikan sebuah toko coklat bernama La Celeste Praline, tepat di depan gereja. Masa itu adalah masa menjelang paskah, dimana penganut Katolik dianjurkan untuk berpuasa dan menahan keinginan duniawi. Pendirian toko coklat ini membuat murka pendeta Francis Reynaud yang kemudian menganjurkan pengikutnya dan kelompok injil kota itu untuk berusaha sekuat tenaga menolak kehadiran Vianne Rocher di kota itu.

Kelompok injil dengan aktivis taat yang bernama Caroline Clairmont menolak kehadiran toko coklat itu dan berusaha menghasut penduduk lain untuk mengusirnya. Dia bahkan mengungkit-ungkit status anak Vianne, Anouk, sebagai anak haram yang tidak berayah. Tapi ternyata tidak semua penduduk kota itu membenci Vianne dan anaknya. Ibu Caroline yang sudah tua tapi keras kepala, Armande Voizin, justru menyukai Vianne dan menjadi pelangan tetap La Celeste Praline. Caroline menentang keras kebiasaan baru ibunya meminum coklat manis, mengingat Armande pengidap diabetes. Caroline sudah lama melarang Armande bertemu dengan anak Caroline, Luc, meskpiun Armande sangat rindu akan cucunya itu.

Keadaan diperparah dengan datangnya sekelompok gipsi yang bersandar di sungai dekat kota tersebut. Penduduk pedesaan Prancis yang taat beragama itu mayoritas membenci orang gipsi yang mereka kira menyembah setan dan sering berbuat kriminal. Francis Reynaud, menjelang paskah, mengobarkan 'perang salib' kepada 2 musuh, Vianne Rocher dan orang-orang gipsi. ianne Rocher yang keras kepala tidak menyerah atas intimidasi Reynaud, justru dia mengumumkan bahwa dia akan mengadakan sebuah festival coklat, tepat di hari Minggu Paskah. Secara tidak terduga, penduduk kota itu mulai menyukai coklat dan hubungan sosial mereka membaik karena toko coklat Vianne.

Novel ini membahas segala macam jenis coklat dan pengolahannya, akan tetapi benang merah dalam novel ini membahas tentang hal yang tak pernah selesai diributkan dari masa kegelapan sampai sekarang: dominasi akan kebenaran moralitas dan agama. Dalam novel ini seakan kita dibukakan kepada argumen bahwa semakin taat orang beragama tidak berbanding lurus terhadap kemaslahatan sosial. Dalam hal ini digambarkan dengan sikap pendeta Francis Reynaud yang membenci keberagaman, dan menganggap coklat adalah makanan dari setan yang menggoda umat manusia dengan kenikmatannya dan menganggap pemilik toko coklat adalah pembantu setan.

Pendeta Francis Reynaud bukanlah gambaran mengenai agama katolik semata, melainkan semua agama mempunyai figur seperti itu, keras, militan, dan hanya mempunyai satu logika kebenaran, yaitu logika Tuhannya sendiri. Reynaud merasa berkewajiban untuk membela Tuhannya. Reynaud merasa paling dekat dengan Tuhan. Ini seharusnya tidak aneh, bukankah kita semua juga merasa seperti itu? Tuhan sendiri tidak akan turun ke bumi dan mengumumkan bahwa yang benar selama ini adalah si A bukan si B. Kalau ini terjadi, tidak akan ada lagi Islam Syiah, Islam Sunni, Mutazilah, Ahmadiyah, Katolik, Protestan, Kristen Ortodoks, Buddha, Hindu, Kejawen, dan sebagainya. Kadang umat manusia di dunia hanya menciptakan Tuhan-nya sendiri dalam kepalanya. Ketika mereka saling memusuhi, saling mengusir, saling membunuh dan berperang, kadang mereka berperang hanya karena isi kepala mereka berbeda.

Ada yang anti-kehidupan dalam kehidupan beragama yang taat di dunia ini. Coklat yang semata-mata hanya rempah-rempah, dituduh sebagai alat setan. Orang-orang taat beragama rela meledakkan dirinya di sekelompok orang agar ikut mati bersamanya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan akan memberikan kehidupan yang lebih indah setelah mati apabila dia berhasil membunuh orang-orang kafir. Seakan tidak ada jalan lain dalam dialog antar peradaban, cara satu-satunya adalah saling memusnahkan dan merusak. Orang seperti itu menganggap kehidupan ini tidak layak diteruskan, baik kehidupan orang-orang di sekitarnya maupun (bahkan) hidupnya sendiri. Kenapa agama sampai sedemikian anti kehidupan? Ini adalah otokritik buat kita, umat beragama.

Yang pasti, coklat (bukan agama) tidak membuat kita membenci orang lain atau merusak kehidupan. Minuman coklat panas membuat hari-hari kita yang penat dan melelahkan serasa ringan dan tenang, dia tidak anti kehidupan.