SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Senin, 11 Oktober 2010

Eat, Pray, Love - Elizabeth Gilbert

Oh, tidak! Saya benci buku feminin! Saya tidak pernah mengerti konflik yang mereka bicarakan. Tapi apa mau dikata? Saya sudah terlanjur berniat tidak akan menolak buku yang ada di depan saya.

Ketika bahan bacaan saya habis, saya bertanya kepada istri saya, buku apa yang dia punya yang bisa saya baca. Dia memberi saya bukunya, Eat, Pray, Love tulisan Elizabeth Gilbert. Saya setuju untuk membacanya. Setelah membacanya, ternyata lumayan. Saya yang awalnya skeptis dengan buku yang kewanitaan ini merasa cukup terhibur.

Buku ini sebenarnya bukan novel. Buku non-fiksi ini adalah sebuah memoar dari hidup penulisnya, Elizabeth Gilbert, seorang penulis lepas di beberapa majalah. Elizabeth Gilbert menceritakan tentang berakhirnya perkawinan dan percintaannya yang tragis, kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual ke Italia, India, dan Indonesia.

Dia melakukan perjalanan pertama selama empat bulan ke Italia. Disana dia hanya berniat belajar bahasa Italia. Perjalanannya ke Italia menjadi petualangan yang menarik untuk penjelajahan kekayaan kulinari negeri ini. Perjalanan kedua dia lakukan ke India, dengan mengurung diri untuk bermeditasi di sebuah Ashram (tempat menyepi untuk beribadah agama Hindu, kata "asrama" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari kata ini). Dalam empat bulan bermeditasi di India ini, dia berhasil menemukan pencerahan spiritual. Perjalanan terakhir dilakukannya selama empat bulan di Bali, dengan tujuan untuk menjadi murid seorang dukun tua bernama Ketut Liyer. Di Bali dia menemukan beberapa teman, termasuk membantu teman Bali-nya yang bernama Wayan dalam mendapatkan rumah. Selain itu ia juga menemukan kekasih baru.

Dalam judulnya secara tersirat, perjalanan itu dibagi menjadi tiga, yaitu "makan di Italia", "berdoa di India", dan "mencintai di Indonesia". Angka 3 yang ajaib, sebuah persamaan. Tiga bagian dalam buku ini ternyata diceritakan sangat berbeda. Bagian "makan di Italia" diceritakan secara kocak, membuat saya tergelak. Bagian "berdoa di India" sangat bertentangan dengan bagian pertama. Bagian kedua menceritakan tentang metode meditasi dan yoga dan pencerahan dan energi gaib. Kontras dengan bab pertama dimana Elizabeth Gilbert menjadi petualang makan, di bagian kedua dia berubah menjadi seperti biarawan Shaolin dengan segala filosofinya. Dalam bagian pertama diceritakan tentang deskripsi makanan-makanan dan resep-resep, dalam bagian India tidak dideskripsikan sekalipun mengenai makanan kecuali bahwa dia memakan makanan vegetarian yang sangat enak. Sebenarnya bagian kedua bukanlah petualangan di India, melainkan lebih tepat sebagai petualangan pencarian diri sendiri.

Dan tentu saja Indonesia. Ini yang dinantikan banyak orang, karena mereka ingin sekali pembahasan tentang Indonesia dimasukkan dalam buku-buku barat. Akan tetapi Anda orang Indonesia tidak perlu terlalu sentimentil, karena ini adalah cerita tentang seorang wanita yang bepergian, bukan tentang Indonesia itu sendiri. Tentu saja stereotip tentang Indonesia selalu muncul, harusnya dianggap wajar karena kita sudah bertahun-tahun tinggal di negara ini, antara lain korupsi, ketidaktertiban, jam karet, potensi pertikaian antar agama dan suku, dan lain-lain.

Kita boleh berharap bahwa Eat, Pray, Love merupakan sebuah argumen tesis, antitesis, dan sintesis, semacam dialektika Hegelian. Wajar, karena pembagian 3 yang ajaib itu. Ternyata tidak demikian pada bagian ketiga. Kita berharap sebuah keseimbangan dari dua bagian sebelumnya. Yang kita dapatkan di bagian terakhir di Indonesia bukanlah sintesis dari Italia dan India, melainkan sebuah ketidakberaturan, dan sedikit pendangkalan. Tidak ada tema besar dari cerita Elizabeth Gilbert di Indonesia, melainkan hanya menjadi montase cerita.

Tujuan pertama dia pergi ke Bali adalah untuk menjadi murid Ketut Liyer, dukun tua yang kocak, tapi ternyata tidak banyak menimba ilmu darinya. Elizabeth menemukan kekasih baru, yang entah kenapa saya mendapatkan kesan bahwa dia tidak yakin benar-benar akan cintanya. Elizabeth bertemu dengan Yudhi, seorang Jawa Kristen yang mempunyai kisah pahit dipenjarakan dan diusir dari Amerika Serikat pasca runtuhnya WTC. Dia juga bertemu Wayan, janda dengan seorang anak yang menjadi ahli pengobatan tradisional. Semuanya merupakan cerita acak yang sangat menarik untuk dijadikan kolom mingguan pada sebuah majalah. Seolah menekankan bahwa Indonesia memang selalu acak, tidak ada cerita besar disini.

Apabila buku ini dipecah menjadi tiga buku yang berbeda, kita tetap tidak akan merasakan bedanya. Tapi ini memang sebuah memoar, non fiksi. Kehidupan nyata memang berbeda dengan fiksi yang memiliki plot sebagai "grand design".

Salah satu hal yang cukup mengganggu dalam buku bahasa Indonesia yang saya baca adalah penerjemahan yang sangat buruk. Hal ini tidak dibantu oleh editing yang juga sama buruk. "Japa mala", kalung tasbih manik-manik khas India ditulis sebagai "Japa malas". Ini adalah editing yang buruk. Memang dalam bahasa Inggris, "s" selalu ditambahkan dalam setiap bentuk jamak. Akan tetapi menceritakan suatu hal di India dengan cara Inggris dalam bahasa Indonesia adalah usaha yang bodoh. Orang India tidak pernah menambahkan "s" ke dalam setiap kata bentuk jamak, demikian pula kita. Banyak pula tanda baca kurung yang membingungkan, apakah dia berasal dari penulis atau editor atau penerjemah.

Contoh lain, dalam halaman 95 ditulis, "BAIKLAH, anakku, nikmati, saya tahu ini hanya sementara. Beritahu saya jika eksperimenmu dengan kegembiraan yang sejati telah berlalu, dan saya akan melihat apa yang dapat saya lakukan mengenai kendali yang rusak ini."  Kendali yang rusak? Apa itu? Saya baca versi bahasa Inggrisnya, ternyata "kendali yang rusak" adalah terjemahan dari "damage control". Benar-benar berantakan.

Menerjemahkan adalah sebuah proses menciptakan kembali (re-inventing). Perlu kekayaan referensi, bahkan kadang harus setara dengan penulisnya, untuk melakukan proses penerjemahan. Banyak kesalahan penerjemahan yang tidak perlu membuat buku ini susah dibaca. Nama daerah di Manhattan, Hell's Kitchen, sangatlah tidak tepat diterjemahkan menjadi "Dapur Neraka". Ini seperti menerjemahkan New York menjadi "York Baru", atau Banyuwangi menjadi "Air Harum". Tidak semua orang (juga sarjana sastra Inggris) dapat menjadi penerjemah. Penerjemah bukan hanya harus menguasai dua bahasa, dia juga harus seorang researcher. Saya dalam hati berharap buku yang diterbitkan oleh Abdi Tandur ini diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit lain yang lebih berpengalaman.

Saya belum menonton filmnya, hanya trailernya, sehingga awalnya saya membayangkan Julia Roberts dalam buku ini berjalan dan berbicara. Tapi semakin banyak saya membaca, Julia Roberts semakin menghilang, alih-alih muncul Jennifer Aniston. Citra Julia Roberts dalam kepala saya adalah sosok feminis yang keras kepala, tegas, tapi menyenangkan dan mudah akrab dengan siapapun. Julia Roberts adalah Erin Brokovich. Sedangkan Jennifer Aniston adalah seorang peragu, pemurung, manis, gemar memanjakan diri sendiri, dan sangat tepat sebagai profil pecinta platonis. Kesan seperti itulah yang saya dapat dari Elizabeth Gilbert dalam buku ini.

Apakah ini buku feminin? Saya tidak tahu banyak batasannya. Belakangan sebelumnya saya sempat membaca novel klasik Madame Bovary, kisah tragis abad 19 tentang wanita yang suka membaca, bermimpi untuk berkelana melihat dunia, dan tidak pernah puas dengan kehidupan perkawinannya. Menurut saya, Elizabeth Gilbert adalah Madame Bovary dengan laptop, terapis Yoga, dan kontrak besar bayar di muka dari penerbit untuk keliling dunia (Puji Tuhan!). Elizabeth adalah penulis yang cerdas dan berwawasan luas dan selalu suka melakukan perjalanan keliling dunia. Dia menceritakan bahwa dia mudah sekali memberikan semua yang ada dalam hidupnya untuk pria-pria yang dicintainya. Dia juga tidak nyaman dengan kehidupan domestik, dengan rumah yang hangat, suami kelas menengah, dan mungkin anak-anak. Wanita-wanita seperti ini konon mempunyai kecenderungan "self-destruct" yang tinggi.

Dalam suatu bab saya terjebak dalam gosip wanita mengenai laki-laki dan seks, akhirnya saya sadar, ya, ini buku feminin. Gaya berceritanya sangat wanita, dengan tutur kata yang cerewet seakan kata-kata turun seperti hujan yang tiada akhir. Menurut saya lucu mendengarkan cerita seorang wanita yang cerewet seperti itu, sering dengan anak kalimat yang panjang dan eksklamasi dimana-mana. Mungkin wanita akan lebih menggemari buku ini.

Hanya saja, senyata apapun kisah hidup Elizabeth Gilbert, sulit bagi kita untuk menyamakan kehidupan kita dengannya. Apabila Anda sedang mengalami masa-masa sulit, mengalami perceraian atau putus cinta, apa yang akan Anda lakukan agar mental Anda pulih kembali? Akankah Anda pergi ke Italia? Makan pizza di Napoli? Ataukah Anda akan pergi menyepi ke India, di sebuah kuil dengan seorang guru spiritual mirip yang dilakukan The Beatles dulu? "Life goes on", kata pepatah bahasa Inggris. Tapi hidup saya, hidup Anda, dan hidup Elizabeth Gilbert sangatlah berbeda. Ini yang membuat buku ini lebih menghibur daripada menginspirasi. Kapan dalam ribuan tahun Anda menjalani hubungan seperti Elizabeth Gilbert, seorang warga New York yang mempunyai kekasih seorang duda Brasil yang tinggal di Ubud dengan anak-anak yang tinggal di Australia?

Anda tentu tidak menginginkan hidup seperti Elizabeth ketika membaca bahwa dia bercerai, depresi, dan sempat berpikir untuk melukai diri sendiri. Tapi Anda juga pasti menginginkan hidup seperti Elizabeth yang dapat pergi bertamasya kemanapun di dunia ini, melihat kota-kota indah, dan makan makanan enak dimanapun. Kisah Elizabeth Gilbert bukanlah "Panduan Praktis bagi Wanita untuk Melalui Masa-masa Sulit". Buku ini tentang makan, tentang berdoa, dan tentang cinta. Untuk itu marilah kita fokus untuk mendengarkan cerita yang luar biasa mengenai makan, berdoa, dan cinta. 

Meskipun sangat sedikit relevansi praktisnya, buku ini tetap berguna bagi wanita yang menyenangi cerita tentang wanita-wanita yang berjuang untuk tegar. Buku ini juga layak dibaca para praktisi yoga, meditasi timur, pencarian spiritual, atau new age. Pembahasannya cukup mendalam dan detail. Secara keseluruhan ini adalah sebuah buku yang sangat berguna dan menghibur. Buku yang bagus untuk dibaca para wanita yang galau.

Ups, apa yang baru saya bilang? Maaf, saya tidak bermaksud mengatakan itu.

Maksud saya, buku ini juga bagus untuk dibaca pria-pria galau. Lho?

Sabtu, 09 Oktober 2010

Baudolino - Umberto Eco

Setiap orang punya tempat liburan yang diimpikannya dalam hidup. Liburan impian saya adalah menginap beberapa hari di perpustakaan pribadi Umberto Eco. Saya penasaran dengan koleksi buku dan manuskrip yang dimilikinya, setelah membaca bukunya yang kaya tekstual. Tapi mungkin seperti tempat liburan lain, saya perlu guide, karena saya tidak menguasai bahasa Italia, Latin, dan bahasa Eropa lainnya.


Membaca Baudolino karya Umberto Eco, kita ditunjukkan kekayaan literatur abad pertengahan yang rinci. Membaca buku ini berarti mengakui bahwa Eco adalah seorang maestro dalam sejarah. Ini menunjukkan betapa sebuah paduan maut antara sejarawan, filsuf, linguis, dan pendongeng ulung bisa menghasilkan sebuah karya yang lengkap dan luar biasa. Bahkan Eco sampai menciptakan bahasa sendiri di buku ini (dalam bagian awal buku), yang membuat penerjemahan ke dalam bahasa apapun akan semakin rumit. Eco seakan melakukan eksperimen dengan bahasa dan interpretasinya.


Dalam novel ini, tokoh-tokoh dalam sejarah berhubungan dengan tokoh-tokoh fiktif karangan Eco. Mirip seperti Forest Gump abad pertengahan. Begitu piawainya Eco, sampai tokoh-tokoh sejarah kadang menjadi karakter dalam dunia dongeng, dan tokoh-tokoh fiktif menjadi seperti benar-benar ada dan pernah meninggalkan jejaknya di dunia. Tokoh dalam buku ini, Baudolino, bercerita tentang kehidupannya yang penuh pengalaman menarik kepada Niketas Choniates (tokoh sejarah), setelah Baudolino menyelamatkan Niketas dari para prajurit Perang Salib yang menyerang Konstantinopel (peristiwa aktual dalam sejarah, dimana Pasukan Perang Salib dari Kristen Roma menyerang kerajaan Kristen Byzantium di Konstantinopel, karena uang dan kekuasaan). Niketas melarikan diri dari Konstantinopel dibantu Baudolino, dan sepanjang pelarian, Baudolino bercerita mengenai hidupnya yang panjang.


Baudolino, bercerita kepada Niketas, lahir sebagai anak petani di Alessandria, Italia. Hidupnya berubah ketika dia diadopsi oleh Raja Jerman, Frederick I, Barbarossa (Si Janggut Merah) yang kemudian diangkat Paus Adrian IV menjadi Kaisar Roma. Frederick Barbarossa jarang sekali berada di istananya, selalu berkeliling Jerman, Italia, dan bagian Eropa lainnya untuk menaklukkan daerah tersebut. Baudolino ikut kemana dia pergi, sampai akhirnya Barbarossa mengirimnya sekolah ke Universitas Paris. Baudolino sebagai anak angkat yang disayangi lebih dari anak sendiri, mempunyai rasa bersalah terhadap Barbarossa, karena diam-diam jatuh hati dengan istri Barbarossa, Beatrice, ratu Burgundy yang cantik.


Di Paris dia berteman dengan beberapa orang yang setuju untuk ikut dengannya mencari kerajaan Kristen kuno yang dipimpin oleh Prester John, sebuah legenda tentang kerajaan kristen di timur. Prester John dalam legenda dikatakan sebagai keturunan Tiga Raja Magi, sebuah dongeng dalam Kristen dimana tiga raja Zoroaster dari timur datang melihat Yesus begitu dia dilahirkan. Baudolino pergi bersama Sang Penyair (tokoh sejarah), Kyot (tokoh sejarah, kelak menulis puisi terkenal mengenai grasal suci), Abdul (tokoh fiksi), Boron (kemungkinan Robert de Boron, penyair Perancis), Solomon (tokoh fiksi), dan Ardzrouni (tokoh fiksi). 


Mereka akhirnya melakukan perjalanan ke timur untuk menemukan bukti kerajaan Prester John. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan berbagai makhluk aneh, sebagian ada dalam legenda, sebagian diciptakan oleh Umberto Eco sendiri. Sebelum mencapai kerajaan Prester John, mereka bertemu dengan kerajaan Diakon Johannes, yang terkena kusta.


Baudolino bertemu dengan wanita yang bercengkerama dengan Unicorn bernama Hypatia, anggota dari sebuah kaum di hutan yang kesemuanya adalah wanita. Kaum yang semua anggotanya bernama Hypatia itu adalah keturunan dari murid Hypatia, seorang filsuf dan ahli matematika yang cantik yang hidup pada abad 4. Seperti kita ketahui dalam sejarah, Hypatia tinggal di Alexandria (Mesir) yang dikuasai oleh Kristen Roma, kemudian dibunuh oleh penduduk Kristen di jalan karena dianggap penghasut agama, dengan cara ditelanjangi, dikuliti, diukirkan tulisan di dagingnya, kemudian dibakar. Pengikutnya pun diburu untuk dieksekusi.


Dalam novel ini, Baudolino yang hidup di abad 11 bertemu dengan keturunan murid Hypatia yang melarikan diri di tengah hutan, jauh di timur. Mereka memutuskan segala hubungan dengan dunia luar, hidup dengan ajaran dari Hypatia, dan memilih nama yang sama untuk semua orang, termasuk Hypatia, kekasih Baudolino. Hypatia, kekasih Baudolino, belakangan ketahuan bahwa ternyata dia memiliki tubuh wanita yang rupawan tapi berkaki kambing.


Baudolino dan pengikutnya juga terlibat pertempuran besar dengan bangsa asing berwajah kuning yang agresif yang disebut dengan orang-orang Hun Putih. Orangh-orang Hun Putih itu menang, dan Baudolino dan kawan-kawan berhasil melarikan diri melalui burung raksasa yang akhirnya membuat mereka terdampar di Konstantinopel.


Dongeng dalam buku ini sangat menawan, karena Umberto Eco fasih bicara sejarah. Ada baiknya Anda membaca buku ini didampingi buku sejarah Eropa Abad Pertengahan, dan Anda akan menemukan fakta-fakta historis yang menarik. Buku ini sarat dengan sejarah perkembangan agama Kristen, tapi tetap saja menarik untuk dibaca seorang Muslim seperti saya.


Eco seakan mengatakan bahwa penulisan sejarah selalu subyektif, tak melulu potret sebuah masa tertentu dari masyarakat tertentu. Adalah menarik memperhatikan bagaimana sejarah terjadi dan sejarah ditulis. Membaca novel ini, saya mendapatkan kesan seakan Eco berusaha untuk menihilkan sejarah, sekaligus menyejarahkan yang nihil. Buku ini dapat membuat orang yang mengimani sesuatu mempertanyakan sendiri keimanannya. Surat dari Prester John untuk Kaisar Byzantium yang benar-benar beredar dalam sejarah, dalam buku ini diceritakan ditulis oleh Baudolino sendiri, sebelum akhirnya dicuri.


Relikui suci yang sering ditemukan dalam dunia Kristen, ternyata dalam buku ini dengan mudah dipalsukan, termasuk kain kafan di Turin yang disebut-sebit sebagai kain kafan Yesus, dalam buku ini diceritakan didapatkan Baudolino dari seorang diakon yang terkena lepra. Kerangka tiga Raja Magi yang disimpan di Milan saat ini dalam cerita ini merupakan rekayasa Baudolino yang cerdas untuk menaikkan pamor ayah angkatnya, Barbarossa. Dalam novel ini dijelaskan, mengapa sekarang ada kepala Johannes Pembaptis disimpan di Roma, sekaligus di Munich, juga di Istambul, di sebuah gereja di Mesir, dan lain-lain. Baudolino dan teman-temannya memalsukan banyak sekali kepala Johannes Pembabtis untuk dijual.


Yang mana yang sejarah, yang mana yang karangan, tidak terlalu penting bagi saya, karena pasti berbeda pula bagi Eco sendiri. Sejarah telah tertulis, entah benar atau fiksi. Barbarossa mati secara tragis, entah kecelakaan murni atau dibunuh, biarkan menjadi misteri. Baudolino mungkin fiksi. Mungkin saja pernah ada.