SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Kamis, 02 Agustus 2012

Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer diasingkan di Pulau Buru, Maluku, selama 10 tahun, dari 1969 sampai 1979. Disana dia tetap menulis dan menulis, karena menurut dia, itulah tanggung jawab dia sebagai orang Indonesia. Dia menulis tanpa sepengetahuan petugas, karena apabila ketahuan, pasti akan dimusnahkan. Segala macam sarana menulis dia gunakan seadanya, bahkan selembar kertas bekas pun jadi.

Selama 10 tahun di Pulau Buru itu dia menelurkan tetralogi yang sangat mahsyur, yaitu Tetralogi Bumi Manusia, terdiri dari roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tapi tak banyak orang tahu bahwa dia juga membuat tetralogi yang lain, tetralogi sejarah bangsa ini pada abad pertengahan, yang juga merupakan karya besar. Tetralogi itu terdiri dari roman Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir. Mata Pusaran sudah hilang dirampas oleh petugas dan kemungkinan tidak akan ditemukan lagi selama-lamanya. Ini adalah kehilangan yang cukup besar akan karya dari seorang maestro, atas nama stabilitas politik.

Tidak seperti buku Pramoedya yang lain yang selalu dilarang terbit oleh Jaksa Agung, Arok Dedes terbit pertama kali tahun 1999, setelah orde baru runtuh. Jadi buku ini tidak banyak menimbulkan kontroversi karena pelarangannya itu sendiri. Harus diakui, semakin buku itu dilarang, semakin penasaran orang dibuatnya.

Arok Dedes adalah penulisan sejarah yang dibalut novel. Sejak kecil, saya telah dikenalkan kepada cerita tentang Ken Arok yang sama sekali transendental dan penuh mitos. Penulisan sejarah tentang Ken Arok maupun Kerajaan Singasari yang bahkan kemungkinan sama sekali bias, malah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sejarah bangsa ini.

Saya tumbuh dengan cerita-cerita tersebut, karena memang awal mula Kerajaan Singasari tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal. Diceritakan dalam cerita rakyat yang saya dengar sejak kecil, bahwa Ken Arok adalah anak dari hubungan gelap antara Dewa Brahma dan seorang perempuan desa. Oleh ibunya yang tidak menghendaki kelahirannya, Ken Arok dibuang, dan kemudian dipelihara oleh seorang penjudi yang bernama Bango Samparan. Ken Arok akhirnya menjadi perampok  yang ditakuti di wilayah kerajaan Kediri. Ken Arok kemudian bertemu dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang kemudian menjadi gurunya.

Lohgawe kemudian mengatur Arok agar menjadi prajurit di Pekuwuan (setara dengan Kecamatan) Tumapel yang dipimpin oleh Tunggul Ametung. Arok tertarik dengan istri Tunggul Ametung, Ken Dedes yang cantik, yang diramalkan oleh Lohgawe akan melahirkan keturunan raja-raja di Jawa. Arok meminta bantuan Mpu Gandring, seorang pembuat keris, untuk dibuatkan keris pusaka yang akan dipakainya membunuh Tunggul Ametung kelak. Karena tidak sabar kerisnya belum selesai juga, Arok marah kepada Mpu Gandring dan kemudian membunuhnya dengan keris yang setengah jadi. Sebelum mati, Mpu Gandring mengutuk Ken Arok, bahwa keris itu juga akan membunuh Ken Arok dan tujuh keturunannya.

Setelah mendapatkan keris tersebut, Ken Arok mulai menjalankan rencananya menggulingkan Tunggul Ametung. Pertama-tama, dia meminjamkan keris pusakanya ke Kebo Ijo, sesama prajurit Tumapel. Kebo Ijo memamerkan keris pusaka itu di seluruh Tumapel, sehingga semua orang mengenal keris itu sebagai milik Kebo Ijo. Suatu malam, Ken Arok mengambil keris itu dan menusuk Tunggul Ametung di kamar tidurnya. Akhirnya Kebo Ijo dipersalahkan atas kematian Tunggul Ametung dan Ken Arok menjadi Akuwu baru. Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, meskipun dia sedang hamil anak Tungul Ametung. Setelah berkuasa, Ken Arok menyerang Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Tumapel, yang kemudian berubah nama menjadi Singasari. Kelak Ken Arok akhirnya tewas dibunuh anak tirinya, Anusapati, dengan keris Mpu Gandring itu sendiri.

Begitulah cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut sangat berbau fantasi layaknya roman silat. Akan tetapi, keberadaan Ken Arok dalam sejarah kemungkinan besar memang benar, karena dialah yang telah meletakkan dasar pendirian kerajaan Singasari yang pernah berjaya dan runtuhnya kerajaan Kediri yang pernah sangat berkuasa.

Namun Pramoedya memakai pendekatan lain. Dia menulis novel Arok Dedes dengan mengambil jarak terhadap mitologi dan fantasi dari cerita rakyat. Arok Dedes ditulisnya sebagai sebuah roman politik Jawa abad pertengahan, yang berkisah mengenai kudeta.

Arok, diceritakan oleh Pram, adalah seorang yang cerdas, kuat, dan pemberani dari kasta sudra yang tak jelas keturunannya, yang kemudian menjadi Brahmana setelah ditasbihkan oleh Lohgawe. Lohgawe yang merupakan Brahmana Syiwa, telah lama tidak puas dengan berkuasanya wangsa (dinasti) Isana (terutama kerajaan Kediri) yang beragama Hindu Wisnu. Arok yang senang merampok prajurit Kediri dan Tumapel, disiapkan oleh Lohgawe untuk menjadi penguasa baru menggantikan Wangsa Isana agar bisa memuliakan kembali Dewa Syiwa. Strategi pertama yang disiapkan adalah kudeta terhadap Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel sebagai daerah jajahan Kediri.

Tunggul Ametung dibenci oleh para brahmana selain karena dia Wisnu yang tak berpendidikan, juga karea dia telah menculik Dedes, anak Mpu Parwa, begawan Syiwa yang sangat berpengaruh, untuk dijadikan istrinya. Tunggul Ametung makin hari makin geram, karena banyak kawanan pemberontak dan perampok menyerang pasukannya. Kawanan perampok yang bergerilya tersebut adalah anak buah Arok yang ditugaskan untuk mengacaukan stabilitas Tumapel.

Lohgawe sebagai seorang brahmana berpengaruh, menganjurkan Tunggul Ametung agar menerima Arok sebagai prajurit yang akan meredam kerusuhan dari para pemberontak. Tunggul Ametung walaupun curiga akan keyakinannya yang Syiwa, tidak menyadari bahwa Arok adalah otak dibalik segala kerusuhan tersebut. Dedes pun dibuat terpesona oleh pengetahuan Arok akan ilmu dan bahasa. Lama kelamaan, pasukan Arok semakin berkuasa di Tumapel, dan Arok menjadi sangat berpengaruh dalam kotapraja Tumapel.

Semakin berpengaruh dalam pemerintahan, Arok semakin sadar bahwa bukan hanya dia seorang yang mempunyai rencana untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Ada Empu Gandring, ahli senjata, yang menyusupkan pengaruhnya dalam pasukan Tumapel untuk melakukan kudeta. Ada pula Yang Suci Belakangka, pendeta yang merupakan wakil resmi dari Kediri di Tumapel, yang menjagokan seorang tamtama bernama Kebo Ijo, untuk menggantikan Tunggul Ametung apabila sudah digulingkan.

Arok mengatur taktik dan strategi untuk melenyapkan mereka, sekaligus melenyapkan Tunggul Ametung tanpa secara frontal melakukannya sendiri. Dengan dibantu Dedes, Arok dapat melenyapkan Empu Gandring dan memecah belah pasukannya. Dia juga menangkap Yang Suci Belakangka. Kebo Ijo pun masuk perangkap Arok dan akhirnya dianggap sebagai tersangka utama yang membunuh Tunggul Ametung ketika tidur. Arok diangkat oleh Lohgawe sebagai Akuwu Tumapel yang baru setelah Tunggul Ametung tewas.

Membaca Arok Dedes, tidak bisa tidak saya langsung terbayang skenario Indonesia tahun 1965, dimana keadaan genting negara ini saat itu sangat menentukan perkembangan bangsa ini hingga masa mendatang. Saat itu Indonesia yang dipimpin Soekarno, marak akan kerusuhan dan pamer kekuatan. Ada banyak pihak yang diam-diam ingin menggulingkan Soekarno, baik luar maupun dalam negeri. Ada banyak pihak yang menunjukkan kekuatannya, baik kalangan komunis maupun kalangan agama. Ada juga pihak yang menyusun strategi agar bisa berkuasa tanpa terlihat seperti pihak yang menodongkan senjata untuk melakukan kudeta.

Mungkin kesamaan ini tidak disengaja. Justru disinilah pentingnya karya Arok Dedes. Dia bisa menjadi aktual pada segala jaman dan tatanan politik. Seolah roman ini adalah sebuah panduan praktis untuk melakukan kudeta. Ada agitasi, propaganda, dukungan logistik, pertautan kepentingan politik, permainan opini publik, dan spionase yang dibutuhkan untuk sebuah kudeta yang sukses. Itulah kenapa Arok Dedes sukses sebagai sebuah roman politik.

Sebagai sebuah roman sejarah, Pramoedya menunjukkan kelasnya. Memang Ken Arok dan Tunggul Ametung hanya muncul dalam kitab Pararaton, yang diperkirakan terbit pertama kali pada abad 13, yang sangat penuh mitologi dan fantasi. Akan tetapi Ken Arok sangat besar kemungkinan ada dalam sejarah, mungkin dengan nama yang lain. Jejak peradaban yang dibangun Ken Arok atau siapapun namanya, terbentang luas sampai berdirinya Majapahit. Ken Arok lebih dekat kepada fakta daripada tokoh-tokoh seperti Angling Darma atau Damar Wulan yang hanya merupakan mitologi Jawa dan murni fiksi.

Kekuatan historis dalam novel ini pun layak dibanggakan, dimana Pram secara fasih menggambarkan silsilah Wangsa Isana, juga menggambarkan sejarah Mataram dan Bali. Dalam suatu kesempatan, Pram bercerita mengenai seorang Empu Sedah, seorang jenius otodidak yang menulis Bharata Yudha yang agung, hanya untuk kemudian dihukum pancung oleh Raja Jayabaya pada usia 25 tahun. Atau dalam kesempatan lain Pram bercerita mengenai sejarah pemisahan negeri Kediri menjadi Daha dan Jenggala karena konflik antara dua keturunan Airlangga yang saling memusuhi. Kerangka waktu, fakta geografis, dan penokohan dalam sejarah diceritakannya dengan keakuratan yang cukup mencengangkan.

Harus diingat, Pram menulis roman sejarah ini di Pulau Buru nan terpencil, tanpa alat tulis yang layak, tanpa perpustakaan, pun tanpa Internet yang kala itu belum sepopuler sekarang. Saat itupun Pramoedya masih berstatus seorang tahanan, tidak seperti penulis bebas yang mempunyai segala hak untuk berekspresi. Dia ternyata hapal sejarah Nusantara di luar kepala. Bukan hanya itu, dia juga hapal latar belakang sosial dan politik yang mendasari terbentuknya sejarah tersebut.

Dalam menulis novel sejarah ini, Pramoedya menolak pendekatan mistis yang dipakai dalam penulisan tradisional Jawa, yang bahkan juga telah masuk dalam kurikulum pendidikan sejarah nusantara di sekolah-sekolah. Ketika saya SD, saya diajarkan di kelas mengenai kutukan keris Empu Gandring selama 7 turunan. Saya juga diajarkan mengenai Ken Dedes yang memiliki mata kaki yang bersinar yang menyilaukan pandangan Ken Arok. Pram menolak semua itu, dan mengajukan hipotesis yang meskipun sama-sama kabur faktanya, lebih logis dan mudah diterima akal sehat. Jadilah Arok Dedes menjadi roman politik berlandaskan sejarah, bukan hanya dongeng rakyat menjelang tidur.

Apa yang dilakukan Pramoedya menurut saya bukanlah revisionisme. Apa yang mau direvisi apabila sejarahnya sendiri kabur? Pram justru meletakkan dasar baru untuk historiografi. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah oleh sejarawan, mengingat tokoh-tokoh dalam buku ini tidak memiliki nama asli, seperti Tunggul Ametung, Ken Arok, Lohgawe, dan lain-lain.

Mengingat ini sebuah novel politik, Pramoedya tetap mempertahankan wilayah abu-abu untuk interpretasi. Dalam politik, tidak ada baik ataupun buruk, hitam ataupun putih. Dalam politik hanya dikenal yang kalah dan yang menang. Apakah Arok seorang pahlawan, ataukah dia seorang pembunuh berdarah dingin? Apakah Arok orang yang licik, atau dia orang yang bijak? Jawabannya bisa dua-duanya. Arok adalah perampok sekaligus brahmana yang tekun belajar agama. Arok adalah pejuang sekaligus penjahat perang. Arok adalah gabungan antara kasta Sudra, Satria, dan Brahmana sekaligus. Arok adalah seorang Buddha, pemuja Syiwa, juga pemuja Wisnu sekaligus. Arok, seperti pemenang lain dalam sejarah, adalah sebuah kontroversi. Dalam buku ini, Arok adalah pemenang, tapi suatu saat dia akan menjadi pecundang. Saat itulah ketika sejarah berbalik membencinya.

Sejarah adalah milik para pemenang. Apa yang kita ketahui dari seorang tokoh sejarah, tetaplah abu-abu. Napoleon kita kenal sebagai seorang megalomaniak, toh jutaan orang tertentu masih memujanya sebagai pahlawan? Apa yang kita ketahui tentang Soekarno, apakah dia seorang  pembebas ataukah seorang despot? Banyak orang mencintai Soekarno sampai mati, banyak pula yang justru ingin menggulingkan dan membunuhnya. Apakah Soeharto pahlawan pembangunan, ataukah seorang pelanggar berat hak asasi manusia? Jutaan orang menggulingkannya dari tahta tahun 1998, tapi sampai saat ini pun masih ada yang memasang fotonya dengan penuh kerinduan. Dunia tidak melulu dipenuhi oleh protagonis dan antagonis. Karena kalau begitu, sudah sejak dahulu kala bumi ini terbelah menjadi dua.

Senin, 19 September 2011

Chocolat - Joanne Harris

Saya sudah menonton film Chocolat 11 tahun yang lalu, baru kali ini saya sempat membaca bukunya. Ternyata ada perbedaan mendasar antara buku dan adaptasi filmnya. Pendekatan yang dipakai di film adalah komedi, sedangkan narasi asli dalam bukunya lebih suram.

Tokoh utama Vianne Rocher dalam film digambarkan sebagai karakter yang misterius dan sedikit mistis, dengan diceritakan sebagai keturunan orang Indian Amerika Selatan yang mempunyai rahasia kuno, sedangkan dalam buku digambarkan lebih manusiawi, sebagai seorang wanita Prancis yang memiliki latar belakang psikologi yang kompleks. Nama toko coklat yang dibukanya pun berbeda, di film bernama La Chocolaterie Maya, sedangkan di buku bernama La Celeste Praline. Tapi baik di film maupun di bukunya, keduanya membahas detail tentang hal yang sangat saya sukai: coklat.

Sejujurnya saya lebih menikmati filmnya daripada bukunya, tapi tidak bisa saya pungkiri Joanne Harris memiliki prosa yang luar biasa. Gaya bercerita Harris sangat menyenangkan untuk dibaca, membuat saya terpaku di depan bukunya tanpa kenal waktu.

Buku ini bercerita mengenai pengembaraan seorang wanita bernama Vianne Rocher dan anak perempuannya bernama Anouk yang memiliki sesosok teman imajiner. Mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah desa kecil bernama Lansquenet-sous-Tannes, dimana penduduknya sangat taat beragama karena dipengaruhi oleh sebuah gereja katolik pimpinan pendeta Francis Reynaud.

Vianne Rocher piawai dalam mengolah coklat menjadi makanan, permen, dan minuman yang lezat tiada tara. Karena itu di Lansquenet-sous-Tannes dia mendirikan sebuah toko coklat bernama La Celeste Praline, tepat di depan gereja. Masa itu adalah masa menjelang paskah, dimana penganut Katolik dianjurkan untuk berpuasa dan menahan keinginan duniawi. Pendirian toko coklat ini membuat murka pendeta Francis Reynaud yang kemudian menganjurkan pengikutnya dan kelompok injil kota itu untuk berusaha sekuat tenaga menolak kehadiran Vianne Rocher di kota itu.

Kelompok injil dengan aktivis taat yang bernama Caroline Clairmont menolak kehadiran toko coklat itu dan berusaha menghasut penduduk lain untuk mengusirnya. Dia bahkan mengungkit-ungkit status anak Vianne, Anouk, sebagai anak haram yang tidak berayah. Tapi ternyata tidak semua penduduk kota itu membenci Vianne dan anaknya. Ibu Caroline yang sudah tua tapi keras kepala, Armande Voizin, justru menyukai Vianne dan menjadi pelangan tetap La Celeste Praline. Caroline menentang keras kebiasaan baru ibunya meminum coklat manis, mengingat Armande pengidap diabetes. Caroline sudah lama melarang Armande bertemu dengan anak Caroline, Luc, meskpiun Armande sangat rindu akan cucunya itu.

Keadaan diperparah dengan datangnya sekelompok gipsi yang bersandar di sungai dekat kota tersebut. Penduduk pedesaan Prancis yang taat beragama itu mayoritas membenci orang gipsi yang mereka kira menyembah setan dan sering berbuat kriminal. Francis Reynaud, menjelang paskah, mengobarkan 'perang salib' kepada 2 musuh, Vianne Rocher dan orang-orang gipsi. ianne Rocher yang keras kepala tidak menyerah atas intimidasi Reynaud, justru dia mengumumkan bahwa dia akan mengadakan sebuah festival coklat, tepat di hari Minggu Paskah. Secara tidak terduga, penduduk kota itu mulai menyukai coklat dan hubungan sosial mereka membaik karena toko coklat Vianne.

Novel ini membahas segala macam jenis coklat dan pengolahannya, akan tetapi benang merah dalam novel ini membahas tentang hal yang tak pernah selesai diributkan dari masa kegelapan sampai sekarang: dominasi akan kebenaran moralitas dan agama. Dalam novel ini seakan kita dibukakan kepada argumen bahwa semakin taat orang beragama tidak berbanding lurus terhadap kemaslahatan sosial. Dalam hal ini digambarkan dengan sikap pendeta Francis Reynaud yang membenci keberagaman, dan menganggap coklat adalah makanan dari setan yang menggoda umat manusia dengan kenikmatannya dan menganggap pemilik toko coklat adalah pembantu setan.

Pendeta Francis Reynaud bukanlah gambaran mengenai agama katolik semata, melainkan semua agama mempunyai figur seperti itu, keras, militan, dan hanya mempunyai satu logika kebenaran, yaitu logika Tuhannya sendiri. Reynaud merasa berkewajiban untuk membela Tuhannya. Reynaud merasa paling dekat dengan Tuhan. Ini seharusnya tidak aneh, bukankah kita semua juga merasa seperti itu? Tuhan sendiri tidak akan turun ke bumi dan mengumumkan bahwa yang benar selama ini adalah si A bukan si B. Kalau ini terjadi, tidak akan ada lagi Islam Syiah, Islam Sunni, Mutazilah, Ahmadiyah, Katolik, Protestan, Kristen Ortodoks, Buddha, Hindu, Kejawen, dan sebagainya. Kadang umat manusia di dunia hanya menciptakan Tuhan-nya sendiri dalam kepalanya. Ketika mereka saling memusuhi, saling mengusir, saling membunuh dan berperang, kadang mereka berperang hanya karena isi kepala mereka berbeda.

Ada yang anti-kehidupan dalam kehidupan beragama yang taat di dunia ini. Coklat yang semata-mata hanya rempah-rempah, dituduh sebagai alat setan. Orang-orang taat beragama rela meledakkan dirinya di sekelompok orang agar ikut mati bersamanya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan akan memberikan kehidupan yang lebih indah setelah mati apabila dia berhasil membunuh orang-orang kafir. Seakan tidak ada jalan lain dalam dialog antar peradaban, cara satu-satunya adalah saling memusnahkan dan merusak. Orang seperti itu menganggap kehidupan ini tidak layak diteruskan, baik kehidupan orang-orang di sekitarnya maupun (bahkan) hidupnya sendiri. Kenapa agama sampai sedemikian anti kehidupan? Ini adalah otokritik buat kita, umat beragama.

Yang pasti, coklat (bukan agama) tidak membuat kita membenci orang lain atau merusak kehidupan. Minuman coklat panas membuat hari-hari kita yang penat dan melelahkan serasa ringan dan tenang, dia tidak anti kehidupan.

Sabtu, 13 Agustus 2011

The Medici Dagger - Cameron West

Suatu saat saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Bekasi, dalam rangka memenuhi janji rapat dengan beberapa orang. Selesai rapat, saya sempatkan berjalan-jalan berkeliling tempat perbelanjaan yang cukup lengang itu. Mata saya sempat tergoda oleh sebuah counter yang menjual gorengan. Saya berpikir dua kali untuk membeli gorengan, karena terpikir kolesterol, sehingga uangnya bisa dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat. Ternyata di seberangnya ada bazaar buku murah. Mungkin sebaiknya alokasi dana untuk gorengan di realokasi ke buku murah.

Saya tidak menemukan buku yang ingin dibeli, kecuali buku ini, The Medici Dagger. Buku tulisan Cameron West ini dijual lebih murah dari harga gorengan, mungkin karena tidak laku. Abstraknya cukup menjanjikan, seakan buku ini adalah masuk genre The Da Vinci Code.

Ternyata saya tidak menemukan apa yang saya cari dalam sebuah buku. Buku ini tidak memberikan apa-apa untuk saya. Dalam beberapa hari saya membacanya, semuanya datar, tak menemukan logika apapun yang membuat cerah hati dan pikiran. Saya tidak menyangka, karena Cameron West pernah terkenal dengan buku memoirnya yang menghebohkan yang berjudul First Person Plural, yang mengklaim bahwa dia memiliki kepribadian ganda. Buku ini lebih heboh dari Sybil, karena diceritakan oleh penderitanya sendiri.

The Medici Dagger adalah novel pop laga biasa ternyata. The Medici Dagger mempunyai plot sangat khas Hollywood yang aneh. Semuanya serba kebetulan dan diselesaikan dengan cara jagoan. Apabila buku ini diangkat ke layar lebar (yang saya yakin itu memang tujuan penulisnya, terutama terlihat dari ucapan terima kasih penulisnya yang agak "menjilat" kepada Tom Cruise), saya yakin filmnya pun hanya menjadi film laga rating B.

Dalam buku ini dikisahkan seorang stuntman Hollywood yang jagoan bernama Reb Barnett yang dihantui oleh kematian ibu dan ayahnya yang seorang sejarawan terpandang. Ayah dan ibunya tewas terbunuh ketika Reb masih anak-anak, karena mengejar artifak yang diperebutkan kalangan kejahatan internasional, yaitu belati Medici. Belati Medici disebutkan sebagai ciptaan Leonardo Da Vinci paling berbahaya, terbuat dari logam yang tidak bisa dihancurkan namun sangat ringan. Da Vinci memutuskan untuk menyembunyikannya di abad ke-15 karena takut ciptaannya akan digunakan untuk kejahatan.

Entah kenapa, ketika Reb dewasa sudah kehilangan kesan akan artifak yang diburu mendiang ayahnya tersebut, dia tiba-tiba mendapat telepon yang memberi informasi tentang pembunuh ayahnya yang berada di Italia. Reb memutuskan untuk mencari tahu dan mengejar pembunuh ayahnya ke Venesia, Italia. Di sana dia bertemu seorang wanita asli New York yang bekerja sebagai kurator museum sejarah, bernama Antonia Gianelli, yang selalu Reb panggil "Ginny". Berdua mereka menjadi sasaran pengejaran Nolo Tecci, pembunuh ayahnya, dan gembong senjata internasional bernama Werner Krell. Juga mereka terlibat dalam kejar-kejaran dengan badan rahasia multinasional, lebih rahasia daripada CIA, bernama Gibraltar. Di akhir cerita, bisa ditebak, bahwa mereka menemukan belati Medici yang disembunyikan ratusan tahun oleh Leonardo Da Vinci.

Saya tidak bisa begitu menikmati buku ini, bahkan untuk sekadar sebagai hiburan. Saya sudah membaca The Da Vinci Code, yang walaupun menurut saya ditulis agak sembrono, namun cukup menarik. The Da Vinci Code adalah novel dengan genre thriller untuk mengungkap konspirasi internasional. The Medici Dagger berada di kaliber yang lebih rendah daripada The Da Vinci Code, apabila dibandingkan. Apalagi beberapa minggu sebelumnya, saya baru membaca buku 'raksasa' Foucault's Pendulum karya Umberto Eco. Setelah membaca Foucault's Pendulum, membaca The Medici Dagger seakan seperti makan permen kapas harum manis setelah minum segelas bir.

Akhirnya saya kembali memikirkan counter yang menjual gorengan di pusat perbelanjaan itu. Hmm, harum baunya masih terasa sampai sekarang...

Rabu, 27 Juli 2011

A Death in Vienna - Frank Tallis

Banyak hal yang membuat saya memutuskan untuk membaca sebuah buku. Kadang karena rekomendasi teman atau pakar. Kadang karena kekaguman saya akan penulisnya. Kadang juga karena buku itu adalah buku yang langka. Tapi yang satu ini, jujur saja, saya salah beli buku.

Saya sedang berjalan-jalan ke sebuah bazaar buku dengan diskon (katanya) sampai 70%. Selesai melihat-lihat dan menimbang-nimbang, saya tidak menemukan buku yang menarik. Tapi daripada merasa rugi waktu, akhirnya saya memutuskan untuk membeli paling tidak sebuah buku. Buku A Death in Vienna ini saya beli, karena saya familiar dengan judulnya. Saya pikir ini sebuah karya klasik.

Ternyata saya misinterpretasi. Buku klasik yang saya cari adalah Death in Venice, bukan A Death in Vienna. Setelah saya telusuri, A Death in Vienna sendiri bukanlah judul asli buku ini. Judul aslinya Mortal Mischief, ditulis oleh Frank Tallis. Tapi, ya sudahlah, saya memang sedang butuh bacaan, apapun bukunya.

Di luar perkiraan, buku ini cukup menarik, dan sangat menghibur. Novel ini adalah sebuah thriller detektif ala Hercule Poirot, dengan pendekatan yang unik, yaitu psikoanalisis. Penulisnya, Frank Tallis (http://www.franktallis.com) adalah seorang praktisi psikologi klinis, peneliti dan penulis buku psikologi populer, yang berubah haluan menjadi penulis novel thriller detektif. Hasilnya sangat meyakinkan, novelnya sangat menarik dan enak dibaca. Saya ingat, pernah saya seharian membaca novel Dan Brown tanpa berhenti saking enaknya untuk dibaca, menurut saya novel ini lebih bagus dari novel tulisan Dan Brown. Saya tidak menghabiskan novel ini seharian, karena saya tidak punya banyak waktu luang, tapi buku setebal 580 halaman ini habis saya baca di kereta listrik hanya dalam waktu 5 hari.

Ternyata Frank Tallis cukup serius mendalami profesi barunya ini. Dia menulis novel ini sebagai seri pertama dari serial petualangan seorang dokter psikolog muda bernama Max Liebermann. Max adalah seorang praktisi psikologi klinis di Wina, tahun 1902, dan murid langsung dari Sigmund Freud. Buku ini adalah kasus pertamanya yang diselesaikan bersama inspektur polisi Oskar Reindhart. Buku ini diberi sub judul: The Liebermann Papers 1. Saat ini menurut website penulisnya, telah terbit sampai The Liebermann Papers 5.

Novel ini seperti pengulangan stereotip cerita detektif cerdas dan pasangannya. Max Liebermann dan Oskar Reindhart adalah Poirot dan Kapten Hastings atau Sherlock Holmes dan Dr. Watson. Hanya saja, Liebermann lebih intelek, dengan pendekatan sains yang utama. Liebermann adalah Sherlock Holmes yang ilmuwan. Liebermann menjadi detektif yang cerdik semata-mata karena dia mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi dan anti takhayul. Dia adalah tipikal Yahudi cerdas dan terpelajar yang kritis terhadap budaya Eropa klasik yang kolot, itu pula yang menyebabkan dia selalu dicurigai masyarakat. Pun novel ini mengambil setting bibit kelahiran ultra nasionalisme Pan Jerman.

Alkisah, tersebutlah seorang cenayang cantik bernama Charlotte Löwenstein. Charlotte yang berprofesi sebagai medium untuk arwah-arwah penasaran, ditemukan terbunuh di dalam ruangan yang terkunci rapat dari dalam, dengan luka tembak, namun tanpa ditemukan sebutir pelurupun di tubuhnya. Tidak pula ditemukan senjata pembunuh. Sebuah kejahatan yang sempurna, seakan setan sendiri yang membunuhnya karena praktek paranormalnya yang hanya direstui iblis. Di dekat tubuh Charlotte Löwenstein ditemukan sebuah pesan yang seakan-akan mengesankan bunuh diri.

Seperti roman detektif a la Agatha Christie, Charlotte dikelilingi oleh calon tersangka, yaitu para pengikutnya yang setia. Charlotte Löwenstein beserta pengikutnya secara rutin mengadakan pertemuan untuk memanggil arwah di rumahnya. Pengikutnya antara lain: Karl Uberhost, seorang tukang kunci; Hans Bruckmüller, seorang pengusaha; Zoltán Záborszki, seorang bangsawan dari Hungaria; Otto Braun, seorang pesulap murahan; Natalie Heck, seorang wanita muda menarik yang pemalu; dan pasangan suami istri terpandang Heinrich dan Juno Hölderlin.

Plot dalam buku ini sangat menarik. Liebermann adalah orang yang cukup sibuk, layaknya detektif dalam film TV Amerika. Selain banting tulang menyelesaikan kasus kriminal yang 'sempurna' tersebut, dia juga berusaha melakukan terapi terhadap Miss Lydgate, seorang wanita muda Inggris yang awalnya mengalami kelumpuhan, ternyata belakangan ketahuan mempunyai kepribadian ganda. Dia juga sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Clara, kekasihnya. Selain kesibukan-kesibukan di atas, dia masih sempatkan bermain piano di kafe, memainkan musik klasik dengan Oskar (selain psikoanalis handal, Liebermann adalah seorang pemain piano yang sangat ahli). Liebermann juga disegani oleh gurunya, Sigmund Freud sendiri. Benar-benar sebuah plot yang luar biasa. Terlalu luar biasa malah.

Kadang-kadang, di novel ini kita tidak menemukan keraguan. Semuanya serba positivis, sesuai semangat pencerahan. Argumen yang ingin ditunjukkan dalam novel ini adalah bahwa bila Anda berusaha memasuki kondisi psikologis seseorang dan memahaminya, maka proses itu layaknya sebuah penyelidikan detektif Poirot. Dalam sub-conscious, Anda akan menemukan motif, tersangka, modus operandi, dan alibi.

Meskipun begitu, novel yang cukup tebal ini adalah novel yang bagus. Frank Tallis benar-benar tidak salah pilih profesi, meninggalkan praktek psikologinya untuk menjadi penulis novel. Novel ini kadang terjebak terlalu dalam untuk menjelaskan sejarah, latar belakang, dan wawasan. Sedikit pamer, semacam cerita Si Boy yang baik hati dan tidak sombong, jagoan lagipula pintar, tapi tetap menarik untuk dibaca. Sangat menghibur, seharusnya buku ini direkomendasikan untuk pembaca yang tidak ingin menikmati diskursus terlalu berat, tapi tetap saja ingin mendapatkan 'sesuatu yang lebih' dari sebuah buku yang menghibur.

Senin, 04 April 2011

The Great Gatsby - F. Scott Fitzgerald

Suatu saat, ketika bertemu dengan seorang teman di sebuah kafe, saya iseng membawa buku The Great Gatsby karangan F. Scott Fitzgerald. Saat itu saya sedang berusaha menyelesaikan membacanya.

Teman saya bilang, "Wah, aku suka sekali film The Great Gatsby! Sudah lama sih, tapi tetap berkesan."

Saya menjawab bahwa saya belum menontonnya. Tapi saya paham yang dia bicarakan, tentunya dia berbicara tentang film The Great Gatsby tahun 1970-an yang dibintangi oleh Robert Redford. Sepanjang pengetahuan saya, menonton akting Robert Redford selama ini memang belum pernah mengecewakan. Tapi seandainya dia tahu bahwa Baz Luhrmann menggarap versi barunya tahun depan dengan bintang Leo DiCaprio dan Tobey Maguire, mungkin dia akan histeris (teman saya ini penggemar Moulin Rouge). Anda bisa bayangkan Baz Luhrmann menggarap karya F. Scott Fitzgerald, hasilnya pasti: Jazz!

The Great Gatsby mulai ditulis tahun 1923 dan diterbitkan pertama kali tahun 1925. Oleh penerbit Modern Library, buku ini didudukkan di peringkat kedua 100 novel terbaik sepanjang masa. Orang Amerika Serikat sangat bangga dengan karya F. Scott Fitzgerald, beberapa kritik menyebutnya sebagai buku sastra terbaik Amerika. Di Amerika Serikat, pelajar SMA dalam pelajaran sastra wajib membaca buku ini. Namun sedikit yang tahu bahwa buku ini ketika baru terbit gagal meraup pasar. Para kritikus pun saat itu tidak menyambutnya dengan baik. F. Scott Fitzgerald sempat depresi atas kegagalan ini, dan belum pernah mengalami jaman dimana semua orang menghargai The Great Gatsby. The Great Gatsby mulai dilirik kalangan luas setelah Fitzgerald meninggal.

The Great Gatsby adalah sebuah cerita klasik yang sederhana tentang cinta yang terpinggirkan dan rindu dendam. Fiksi ini berpusat pada kehidupan misterius seorang milioner eksentrik bernama Jay Gatsby. Narator dalah tokoh ini adalah Nick Carraway, seorang pemuda lulusan Yale yang baru saja pindah ke New York.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Perang Dunia I sebagai tentara, Nick pulang ke Amerika untuk bekerja di bidang penjualan obligasi dan investasi. Dari Amerika barat, dia pindah ke timur, tepatnya ke New York, untuk bekerja di sebuah perusahaan investasi. Dia menyewa sebuah bungalow sederhana di pinggiran kota, yang terletak tepat di sebelah kastil besar, yang tidak dia ketahui siapa pemiliknya kecuali hanya namanya yang disebut dengan tuan Gatsby. Di kastil itu, tiap hari diadakan pesta besar-besaran yang selalu meriah, dengan cahaya yang gemerlap dan musik jazz hingar tak henti-henti.

Satu-satunya keluarga yang Nick kenal di New York adalah sepupunya yang cantik bernama Daisy, yang tinggal bersama anaknya yang masih kecil, dan Tom, suaminya yang juga kaya. Daisy mengundang Nick untuk makan malam di rumahnya yang megah, dalam rangka menyambut kepindahan Nick ke New York. Dalam makan malam itu hadir pula teman dekat Daisy, yaitu Jordan Baker, seorang pemain golf wanita profesional. Jordan bertanya, apakah Nick kenal Gatsby. Kebetulan, kata Nick, Gatsby adalah tetangganya. Ketika pasangan Tom dan Daisy meninggalkan mereka berdua sebentar untuk mendiskusikan sesuatu yang pribadi, Jordan membisikkan ke Nick bahwa Tom memiliki pasangan selingkuh, dan Daisy mulai curiga.

Suatu hari Tom mengajak Nick naik kereta bersama ke tengah kota New York. Di perjalanan, Tom mengajak Nick mampir ke sebuah bengkel milik seseorang bernama Wilson. Wilson memiliki istri bernama Myrtle, yang ternyata adalah wanita simpanan Tom. Diam-diam Tom mengajak Myrtle pergi bersama mereka. Meskipun tidak nyaman karena mengetahui mereka bercinta sembunyi-sembunyi dari pasangan masing-masing, Nick setuju ketika diajak oleh Tom dan Myrtle ke apartemen mereka di tengah kota. Ternyata mereka sudah lama punya apartemen bersama itu untuk menyalurkan asmara mereka yang terlarang. Di apartemen tersebut, Myrtle dan Tom juga mengundang adik Myrtle, Catherine, juga pasangan suami istri Chester dan Lucille. Mereka pesta minuman keras hari itu. Dalam perbincangan dalam pesta, Catherine membicarakan legenda tentang Gatsby, yang membuat Nick makin penasaran dengan tetangga sebelah rumahnya ini.

Suatu saat, sebuah undangan pesta datang ke rumah Nick, berasal dari Tuan Gatsby di sebelah rumah. Nick pergi ke rumah Gatsby untuk mengikuti pesta meriah yang biasanya diadakan tiap hari itu. Dia pergi sendirian, dan tak kenal siapa-siapa dalam pesta yang riuh itu. Bahkan dia tidak tahu mana orang yang bernama Gatsby yang telah menundangnya. Semua orang sepertinya mengenal Gatsby, kecuali Nick. Ketika sedang menikmati pesta, Nick bertemu Jordan, dan mereka berdua kemudian memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di pesta. Dalam pesta itu, mereka bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam kepribadian yang aneh, sampai akhirnya mereka bertemu dengan Gatsby. Gatsby yang kaya raya mengajak Nick untuk berteman lebih akrab.

Di hari lain, Gatsby menjemput Nick untuk mengajaknya makan siang di kota. Dalam perjalanan Gatsby mengaku bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah dari warisan keluarga. Dalam makan siang, Nick dikenalkan dengan seorang Yahudi licik bernama Wolfsheim. Wolfsheim adalah orang yang bergerak di bidang perjudian dan penipuan untuk mencari kekayaan. Ketika makan siang usai, kebetulan Nick melihat Tom disitu. Nick mengenalkan Tom dengan Gatsby, tapi seolah Gatsby tidak nyaman dengan perkenalan itu. Tahu-tahu, Gatsby sudah menghilang entah kemana.

Tak lama kemudian, Nick menjalin hubungan asmara dengan Jordan. Jordan dalam suatu kesempatan bercerita bahwa dia baru ingat pernah melihat Gatsby sebelumnya di masa mudanya. Gatsby sebagai seorang tentara berseragam pernah berpacaran dengan Daisy sebelum mereka semua pindah ke New York. Setelah itu, Gatsby dikirim ke perang di Eropa, dan Daisy memutuskan untuk melupakan Gatsby dan menikahi Tom. Tapi Gatsby tidak pernah melupakan cintanya kepada Daisy. Setelah perang selesai, dia pergi kuliah di Oxford, kemudian pindah ke New York dan bertekad untuk mendapatkan kembali cinta Daisy. Jordan juga mendapat pesanan dari Gatsby untuk membujuk Nick agar mempertemukan dirinya dengan Daisy kembali dalam sebuah kebetulan. Nick mengiyakan.

Nick mengundang Daisy untuk makan siang di rumah sewanya yang kecil. Yang tidak diketahui Daisy adalah bahwa Gatsby akan datang juga mengunjungi rumah Nick. Daisy terkejut akan kedatangan Gatsby. Pertemuan kembali keduanya sangat canggung. Gatsby kemudian mengajak mereka ke kastilnya, memamerkan kekayaannya. Daisy mulai terpesona kembali oleh Gatsby, dan mereka berdua mulai jatuh cinta kembali.

Daisy yang sudah curiga akan hubungan selingkuh Tom, mengundang Gatsby ke villanya, untuk bertemu Tom. Nick dan Jordan juga diundangnya. Tom juga mulai curiga bahwa Gatsby mengejar cinta Daisy. Belakangan Daisy mengusulkan agar mereka berlima pergi bersenang-senang di Plaza Hotel. Daisy akan pergi satu mobil bersama Gatsby, sementara Tom akan pergi bersama Jordan dan Nick. Tom memaksa membawa mobil kuning Gatsby, sehingga Gatsby terpaksa membawa Daisy dengan mobil Tom. Dalam perjalanan, Tom mengisi bensin mobil Gatsby di bengkel Wilson. Wilson dan Myrtle melihat Tom dan merasa bahwa mobil itu adalah mobil Tom. Sesampainya di hotel, dipengaruhi oleh minuman keras, mereka bertengkar. Tom mengonfrontir Gatsby bahwa dia sengaja merebut Daisy dari Tom. Gatsby mengaku bahwa dia memang mencintai Daisy sejak dulu. Dia mengaku bahwa dulu dia terlalu miskin untuk menikahi Daisy. Tom menuduh bahwa Gatsby memperoleh kekayaannya dari menyelundupkan minuman alkohol ilegal. Gatsby mempertanyakan Daisy, siapakah yang sebenarnya dicintainya, apakah Tom atau Gatsby. Karena depresi, Daisy tidak menjawab pertanyaan itu, alih-alih, lari keluar dari kamar hotel. Gatsby menyusul Daisy, dan dengan mobil kuningnya sendiri, dia berniat mengantarkan Daisy pulang.

Mobil Gatsby melewati melewati bengkel Wilson. Myrtle menyangka bahwa selingkuhannya, Tom, sedang berada dalam mobil itu, jadi dia pergi mendekatinya. Tidak disangka-sangka, mobil Gatsby malah menabrak Myrtle sampai tewas. Mobil Gatsby melesat melarikan diri. Wilson yang menyaksikan langsung istrinya ditabrak sampai tewas, sangat terpukul akan kejadian ini. Polisi pun dipanggil oleh penduduk untuk menyelediki kasus tarak lari itu.

Malam harinya, Nick menemui Gatsby, dan Gatsby menceritakan segalanya. Gatsby mengungkapkan bahwa yang menabrak Myrtle adalah Daisy. Gatsby juga bercerita bahwa dia memperoleh kekayaannya dengan tidak wajar dari tindakan kriminal yang dijalankannya untuk Wolfsheim. Dia memperjuangkan kekayaan itu hanya untuk mengejar Daisy. Dia mengadakan pesta tiap hari dan mengundang semua orang di kota itu agar Daisy suatu saat akan datang. Nick menyarankan Gatsby untuk pergi, karena polisi akan melacak mobilnya, tapi Gatsby menolak.

Wilson, suami yang marah, berniat membalas dendam atas kematian istrinya. Dia mengunjungi Tom dengan pistol, menyangka bahwa yang menabrak istrinya adalah Tom. Tom menyangkal, dia bilang ke Wilson bahwa mobil yang menabrak Myrtle adalah mobil Gatsby. Wilson pergi ke kastil Gatsby dan dia menemukan mobil yang menabrak istrinya tempo hari dengan bumper yang penyok. Dia masuk ke dalam, menemukan Gatsby sedang berenang. Dia menembak Gatsby sampai tewas, kemudian membunuh dirinya sendiri.

Kisah tragis ini adalah kisah seorang accidental hero. Gatsby tidak berniat untuk menjadi orang yang bernilai maupun disukai orang lain. Dia hanya ingin mendapatkan cinta sejatinya dan dicintai kembali. Novel Fitzgerald ini adalah salah satu cerita moralitas kepahlawanan ala Amerika yang digemari baik oleh dunia buku maupun film Hollywood. Gatsby adalah seorang pria sejati, pecinta sejati, dan pribadi yang dikagumi banyak orang. Dia adalah orang yang konsisten, tapi dia tidak pernah berniat untuk menjadi orang baik-baik. Dia adalah penyelundup minuman keras. Dia adalah sang penjahat yang memiliki kapasitas sebagai pahlawan, orang baik yang menyeberang dan terjebak di sisi jahat. Dan sebenarnya dia tahu pasti apa yang pantas dia dapatkan atas pilihannya. Moralitas kepahlawanan ala Amerika seperti ini memandang dunia dan nilai-nilainya dengan sinis.

Anda mungkin familiar dengan tokoh Rick yang dimainkan Humphrey Bogart, dalam film Casablanca. Atau karakter Clint Eastwood sebagai koboi tak bernama dalam A Fistful of Dollar (sebenarnya produksi Italia, tapi menjadi legenda besar di Amerika), dimana awalnya dia hanya berpikir untuk mendapatkan uang, malah akhirnya membabat habis sebuah gang pengacau di suatu kota. Atau bahkan Anda ingat tokoh John McClane, seorang polisi pemabuk bermasa depan suram di film Die Hard yang dimainkan oleh Bruce Willis. McClane tak pernah bermimpi muluk untuk menegakkan kebenaran, akhirnya malah pergi sendirian melawan satu pasukan penjahat bersenjata lengkap (yang satu ini tidak mati-mati, makanya diberi judul Die Hard). Ini adalah sedikit banyak bagaimana cara pandang orang Amerika terhadap kepahlawanan. Idealisme itu murah. Nilai dan moralitas sudah bankrut. Tapi seorang pahlawan tidak dibentuk, dia dilahirkan.

Gatsby adalah pahlawan Fitzgerald. Dia perlu menciptakannya dan menjadikannya hidup, dengan segala referensi yang ada. Bahkan kastil Gatsby pun dibuat berdasarkan bangunan sebenarnya yang ada di Long Island. Wolfsheim dan Daisy pun adalah tokoh yang diinspirasi dari tokoh nyata. Fitzgerald juga menciptakan Nick. Nick Carraway adalah Fitzgerald sendiri, karena dia membutuhkan tokoh untuk bercerita. Nick diciptakan Fitzgerad sebagai tokoh yang dipercaya oleh semua pihak sebagai "penampung" rahasia, sehingga dia meneruskan rahasia-rahasia kepada pembaca. Tanpa Nick, buku ini tidak akan pernah ditulis.

Buku ini menceritakan kembali Era Jazz, tahun 1920-an di Amerika Serikat, dimana Jazz muncul sebagai musik pemberontak, sama halnya ketika tahun 1950-an dengan Rock n' Roll, atau tahun 1980-an dengan musik Metal, atau musik Grunge di tahun 1990-an. Buku ini sangat trendy pada masanya. Masa itu ditandai dengan gelombang kejahatan penyelundupan minuman keras yang dilarang oleh pemerintah. Orang Amerika saat itu menyebut penyelundup minuman keras sebagai "bootleggers". Al Capone di Chicago adalah salah satu mafia bootlegger yang paling terkenal saat itu. Masa itu juga ditandai dengan munculnya generasi wanita baru, yaitu apa yang disebut dengan "flappers", dimana para wanita ini memakai rok mini, berdandan berlebihan dengan potongan rambut bob, berdansa gila-gilaan dengan musik Jazz, merokok di tempat umum, dan terbuka secara seksual. Para flappers ini menggantikan generasi ibu-ibu mereka yang pendiam. Jordan, Daisy, dan Myrtle adalah gambaran para flappers sebenarnya, para wanita pemberontak. Masa yang sentimentil sebenarnya. Sekarang semua sudah terlewati hampir seabad lamanya. Sekarang musik Jazz dan pesta-pestanya sudah menjadi foto lama yang sunyi.

Saya selalu suka membayangkan Amerika tahun 1920-an. Itu adalah jaman keemasan sebelum Malaise, dan perang Dunia kedua. Jaman itu adalah jaman pemberontakan musisi Jazz kenamaan seperti George Gershwin dan Benny Goodman. Jaman yang gempita dengan Art Deco dan Surealisme. New York terlihat seperti Paris yang sentimentil. Buku ini menggambarkan era itu dengan sangat menarik dan romantis. Novel yang sangat enak untuk dibaca. Entah kenapa, mengingatkan saya akan prosa Seno Gumira Ajidarma yang romantis. Buku ini tidak cukup hanya kita baca sekali. Prosanya indah dan selalu ada hal yang baru setiap kali kita membacanya kembali.

Selasa, 22 Maret 2011

Moby Dick - Herman Melville

Suatu saat, di sebuah toko buku di sebuah pertokoan di daerah Pejaten, Jakarta, saya menemukan buku-buku klasik berbahasa Inggris dengan harga hanya Rp 30.000 saja. Tentu saja saya merasa girang bukan kepalang. Semuanya dipatok dengan harga yang sama, baik buku Leo Tolstoy, Charles Dickens, William M. Thackeray, Jane Austen, maupun penulis besar lainnya. Tidak mau merasa rugi (meski kalau dipikir lagi, agak naif logika saya waktu itu), saya memilih buku yang paling tebal. Buku yang paling tebal disitu adalah Anna Karenina karya Leo Tolstoy, yang ternyata saya sudah punya dan baca edisi bahasa Indonesianya. Saya mencari yang paling tebal kedua setelah Anna Karenina, menemukan buku Moby Dick karya Herman Melville.

Sejak dulu saya ingin membaca buku ini, tapi belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku setebal itu tentunya saya bayangkan akan menemani saya dalam perjalanan yang sering saya lakukan, sehingga terasa lebih asyik, ringan, dan cepat. Lagipula, Moby Dick termasuk ke dalam 100 novel terbaik sepanjang masa, dimana saya mempunyai ambisi terpendam untuk membaca semuanya.

Ternyata belakangan saya merasa salah memilih buku. Buku Moby Dick sangat sulit dibaca, apalagi dengan kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Buku ini sangat aneh dan memiliki struktur yang asing. Belum pernah saya membaca buku seperti tulisan Herman Melville ini. Alhasil, saya menghabiskan waktu hampir dua bulan untuk menghabiskan dan mencernanya.

Harus diingat, saya hanya sempat membaca di perjalanan, baik di kereta listrik maupun di lobi bandara. Sehari mungkin hanya bisa membaca 5-10 halaman, ditambah dengan kesulitan bahasa Inggris saya, jadi kadang lebih lambat lagi saya membacanya. Kadang setelah membaca beberapa halaman, saya balik lagi, membaca ulang, demi memahami apa yang sebenarnya tersirat dari kata-kata penulisnya. Sekarang setelah selesai membacanya, buku ini sudah tidak berbentuk, kucel dan keriting. Alih-alih merasa asyik dan terhibur, saya selalu mengernyitkan dahi ketika dalam perjalanan sambil membaca buku ini. Berat sekali. Tapi tak apalah, kepuasan menyelesaikan sebuah buku sungguh tiada tara rasanya.

Buku Moby Dick menurut saya 10 kali lebih rumit dari The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Ditambah lagi kenyataan bahwa Herman Melville adalah seorang ahli bahasa Inggris dan pendalam filsafat. Buku ini sulit dimengerti, terutama juga karena Herman Melville sendiri tidak berusaha keras untuk dimengerti oleh pembacanya. Dia tidak mengharap sembarang orang bisa menikmati bukunya. Namun setelah selesai membacanya, saya menjadi mengerti bahwa kerumitan dari buku ini adalah sebuah berkah. Setelah lama membaca dan mempelajari, saya semakin mengagumi buku Moby Dick ini sebagai sebuah buku yang hebat dengan tema yang luar biasa. Buku ini bercerita tentang perburuan seekor ikan paus, sementara buku ini sendiri bisa dianggap sebuah karya 'ikan paus' dari segi kebesarannya.

Melville seakan sedang terlibat dalam sebuah proyek mahakarya yang menggambarkan segalanya dalam sebuah buku fiksi, dan dia berhasil. Hasilnya adalah buku setebal 469 halaman dengan 135 bab yang menggambarkan perburuan ikan paus putih yang dijuluki Moby Dick, dimana si Moby Dick itu sendiri hanya muncul pada tiga bab terakhir. Jelas ini bukanlah sebuah novel laga, karena ada 132 bab lain yang tidak terkait dengan pertempuran melawan Moby Dick. Anda yang bermaksud membacanya untuk mencari aksi laga pertempuran melawan ikan paus raksasa yang buas Moby Dick, sebaiknya melupakannya.

Novel ini dimulai dengan kalimat pembuka yang sangat terkenal, yaitu, "Call me Ishmael." Narator dalam novel ini adalah Ishmael. Dia adalah seorang anak muda (yang ternyata digambarkan sebagai orang yang mempunyai referensi luar biasa) yang ingin ikut dalam sebuah kapal pemburu ikan paus. Pada masa itu, abad 19, minyak ikan paus adalah sumber energi utama karena minyak fosil belum banyak digunakan. Dia berteman dengan seorang pagan barbar yang kanibal bernama Queequeg, seorang penembak harpoon. Berdua mereka bergabung dengan kapal Pequod, yang berangkat dari Nantucket, yang dikomandoi oleh kapten Ahab, seorang tiran yang obsesif.

Kapten Ahab mempunyai dendam membara untuk membunuh ikan paus putih raksasa yang dijuluki Moby Dick. Ahab hanya mempunyai satu kaki, karena dalam perburuan sebelumnya Moby Dick merampas sebelah kakinya. Dibakar oleh kesumat, dia mengarahkan semua kru kapalnya untuk mengejar Moby Dick sampai ke ujung dunia dan membunuhnya. Kapal Pequod tak akan kembali sebelum berhasil membunuh Moby Dick, meskipun pada akhirnya Pequod memang tak pernah kembali ke Nantucket.

Yang aneh dari novel ini adalah, bahwa sang narator, Ishmael, dalam buku ini semakin dalam semakin menghilang perannya. Buku ini lebih mirip sebuah jurnal daripada sebuah novel, menggambarkan catatan perjalanan kru pelaut. Tapi bukan hanya itu, buku ini juga kadang menjadi buku yang sangat ilmiah, dengan pembahasan Cetology (ilmu tentang ikan paus) yang rinci. Pada suatu titik tertentu, buku ini berubah menjadi panduan yang detail tentang bagaimana cara berlayar dan berburu ikan paus. Kadang secara tak terduga penulis membawa kita ke perdebatan filsafat yang dalam dan pembahasan agama dan mitos-mitos. Dalam beberapa bagian tertentu, seolah buku ini berubah menjadi drama Shakespearean. Bahkan buku ini juga dalam beberapa sudutnya berubah menjadi sebuah buku puisi.

Ini adalah proyek besar Melville, dimana dia menggabungkan fiksi, biologi, puisi, drama Shakespeare, perdebatan filosofi, dan panduan menangkap ikan dalam satu buku. Proyek sebesar ini memerlukan stamina luar biasa dan kekayaan referensi seluas lautan itu sendiri. Melville menulis seakan dia berada di kapal itu ikut berburu ikan paus. Tapi dalam waktu yang sama, dia juga menulis seolah dia sedang melakukan perenungan yang dalam di sebuah perpustakaan ilmu. Dia bisa menjadi keduanya dengan sangat magis.

Herman Melville tak pernah mendapatkan gelar sarjana. Dia menulis tentang perburuan ikan paus karena dia memang pernah menjadi kru sebuah kapal pemburu ikan paus selama 14 bulan. Tapi dia adalah pembaca yang luar biasa. Dia seorang otodidak. Dia mempelajari segalanya sendirian, dari hasil pengamatannya dan membaca buku yang sangat banyak. Dalam novel ini (tidak seperti novel lain yang melulu fiksi) dia mengutip dan menceritakan pemikiran banyak sumber. Bible, Shakespeare, Milton, Sir Thomas Browne, Jefferson, William Scoresby, Champollion, John Locke, Immanuel Kant, dan masih banyak lagi. Dia juga membuat terobosan baru dalam dunia intelektual, yaitu dalam bab 32 tentang cetology, dimana dia mengklasifikasikan ikan paus ke dalam 3 kelas, Ikan Paus Folio (terdiri dari Sperm Whale, Right Whale, Fin Back Whale, Hump-backed Whale, Razor Back Whale dan Sulphur Bottom Whale), Ikan Paus Octavo (terdiri dari Grampus, Black Fish, Narwhale, Trasher, dan Killer Whale), dan Ikan Paus Duodecimo (terdiri dari Lumba-Lumba Huzza, Lumba-Lumba Algerine, dan Lumba-Lumba Bermulut Penuh). Melville membahas mengenai anatomi seekor ikan paus, dari paru-parunya, matanya, semburannya (spout), ekornya, tulang belakangnya, dan semuanya secara detail. Seakan Melville sedang menerbitkan sebuah karya ilmiah dalam sebuah novel. Novel seperti ini, untuk itu, adalah novel besar yang aneh dan susah dikategorikan. Ini adalah potret sebuah kekayaan pemikiran.

Melville sendiri menghabiskan satu tahun untuk menulis buku ini. Anda bisa bayangkan betapa luasnya referensi Herman Melville, betapa banyak dia telah membaca buku filsafat, buku drama, buku puisi, buku agama, dan buku zoology. Sebuah energi yang dahsyat yang diperlukan Melville dalam menulis buku ini kalimat per kalimat. Seandainya dia hidup di jaman sekarang, dimana informasi dapat diperoleh dengan mudah memakai internet, mungkin dia akan menjadi raja pengetahuan.

Ini bukan buku yang mudah yang pernah saya baca. Bahkan untuk orang Amerika sendiri, buku ini sempat dianggap tidak berarti. Itu mengapa saya kira kita belum menemukan terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia. Buku ini terlalu susah untuk diterjemahkan, juga sulit dicerna oleh pembaca. Tapi saya beruntung telah membacanya. Setelah membaca buku ini, saya seperti telah melangkah melewati batas pemikiran yang selama ini ada sebagai konvensi. Sekali lagi, buku ini membuat saya kagum luar biasa. Saya telah membacanya. Seperti Yunus, saya membiarkan diri saya ditelan oleh ikan paus, dan kembali dengan selamat. Anda berani?

Senin, 21 Maret 2011

Cinta Yang Hilang - O. Henry

Ada saatnya, ketika masih belia, saya bermimpi untuk menjadi penulis cerita pendek (cerpen). Tapi hingga kini mimpi itu belum terjadi, dan hasrat untuk mewujudkannya juga semakin memudar. Yah, paling tidak saya pernah bermimpi.

Kala itu, saya mengidolakan O. Henry. Setiap penulis cerpen pasti menjadikan O. Henry pahlawan mereka, selain Chekov dan Kafka. Sejak duduk di bangku SMA, saya sudah terkagum-kagum membaca cerita pendek O. Henry di sebuah majalah remaja.

O. Henry mempunyai nama asli William Sydney Porter. Dia memakai nama pena karena dia mulai menulis ketika dia dipenjara karena sebuah dakwaan kriminal. O. Henry adalah master dalam penulisan cerpen. Ciri khas cerpennya adalah permainan-permainan kata yang cerdas, plot yang mengalir, dan ending yang mengejutkan. Begitu populernya O. Henry di Amerika Serikat, namanya diabadikan sebagai penghargaan untuk sastrawan-sastrawan terbaik, menjadi O. Henry Award.

Tak disangka, saya menemukan buku O. Henry kembali ketika sedang berada di sebuah toko buku di luar kota. Bukunya sangat tipis, berjudul Cinta Yang Hilang, terdiri dari tujuh cerpen terkenal dari O. Henry yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat cocok untuk menemani perjalanan, mengingat ringannya untuk dibawa, juga ceritanya yang tidak bersambungan. Namun dalam waktu hanya 5 jam untuk menghabiskannya (mungkin Anda malah bisa lebih cepat lagi).

Tapi ternyata saya merasa penerjemahannya kurang begitu layak. Bahkan mungkin buku ini terbit atas dasar pertimbangan ekonomi belaka. Satu buku hanya berisi tujuh cerita yang sebenarnya beberapa sudah pernah saya baca atau saya dengar ceritanya. Buku ini diberi judul Cinta Yang Hilang, berdasarkan judul cerpen pertama dalam buku ini. Akan tetapi, setelah disimak dengan teliti, tidak ada cerpen O. Henry yang berjudul 'Lost Love' atau yang diterjemahkan sebagai 'Cinta Yang Hilang'. Cerpen pertama dalam buku ini yang diberi judul Cinta Yang Hilang adalah terjemahan dari cerpen berjudul The Furnished Room. Terjemahan dari The Furnished Room mungkin kurang komersial dibandingkan dengan Cinta Yang Hilang.

Menerjemahkan judul, menurut saya, tidak bisa menggantinya dengan semena-mena. Judul adalah ruh dari sebuah karya tulis. Ini penerjemahan yang buruk. Seburuk menerjemahkan judul acara 'Bill Cosby Show' di TVRI jaman dahulu menjadi 'Keluarga Pak Huxtable'. 'Bill Cosby' adalah ruh dalam acara itu, adalah logika utama yang ingin disampaikan, bukan 'keluarga Huxtable'. Dalam puisi, penerjemahan judul seperti ini malah bisa berakibat fatal. Misalkan puisi Sitor Situmorang yang berjudul 'Malam Lebaran'. Puisinya hanya berisi satu baris: 'Bulan di atas kuburan'. Bila judulnya bukan lagi 'malam lebaran', maka keseluruhan 'bulan di atas kuburan' itu tidak akan berlaku. Demikian pula 'The Furnished Room', yang mengesankan sebuah kamar yang mistis, alih-alih sebuah cinta yang menye-menye.

O. Henry memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan novelnya dengan memberi kejutan. Apabila Anda berniat membacanya, sebaiknya Anda berhenti membaca review ini sampai disini, karena bila Anda teruskan, Anda akan kehilangan kesenangan membaca cerpen-cerpen ini. Mohon maaf.

The Furnished Room atau Cinta Yang Hilang bercerita mengenai seorang lelaki muda yang mengembara mencari kekasihnya yang pergi entah kemana. Kekasihnya adalah seorang penyanyi panggung yang berkulit cerah, berambut merah keemasan, bertahi lalat di alis kirinya, dan tinggal berpindah-pindah. Lelaki muda itu berpindah-pindah tempat, demi mencari kekasihnya, dan akhirnya menyewa sebuah kamar di lantai tiga di sebuah rumah. Dia bertanya kepada induk semangnya, apakah kekasihnya pernah tinggal disana. Induk semangnya bilang dia tidak pernah melihatnya. Lelaki muda itu tinggal di kamar lantai tiga dan membayangkan bahwa wanita yang dicintainya pernah tinggal disitu. Akhirnya dia membunuh dirinya di dalam kamar itu dengan membuka keran gas. Pada waktu yang sama induk semangnya sedang mengobrol dengan orang lain tentang rahasia seorang wanita bertahi lalat di alis kirinya yang bunuh diri di kamar lantai tiga seminggu sebelumnya.

The Gift of The Magi, atau dalam buku ini diganti menjadi Hadiah Kejutan, adalah cerpen paling populer dari O. Henry. Cerpen ini sering sekali diceritakan kembali, diadaptasi, diubah, dan diterjemahkan. Saya sendiri sudah membacanya sejak dulu, tapi pangling karena diberi judul Hadiah Kejutan. Cerpen ini bercerita tentang Della yang ingin memberikan hadiah natal istimewa untuk suaminya James, meskipun uang tabungannya pas-pasan. Akhirnya dia memutuskan untuk menjual rambutnya yang indah menjuntai untuk mendapatkan uang untuk membeli hadiah istimewa untuk suaminya, James. Uang hasil penjualan rambutnya dia belikan rantai emas untuk jam suaminya yang sangat dibanggakan. Dia ingin memberikan kejutan untuk suaminya. Begitu pulang, suaminya terkaget-kaget karena rambut indah Della sudah tiada. Della menyatakan bahwa dia mengorbankan rambutnya agar bisa memberikan hadiah natal istimewa untuk James, yaitu sebuah rantai emas untuk jamnya. James memberikan kabar lebih mengagetkan lagi, bahwa dia telah menjual jam kebanggaannya untuk membelikan hadiah natal istimewa untuk Della, yaitu satu set jepit rambut mewah.

Bukti Cerita atau judul aslinya Proof of The Pudding bercerita tentang redaktur sukses sebuah majalah bernama Westbrook. Ketika sedang berjalan-jalan di taman, dia didekati oleh seorang lusuh yang meminta waktunya sebentar untuk berbicara. Orang yang lusuh itu ternyata teman lamanya, Shackleford Dawe. Dawe adalah seorang penulis fiksi gagal. Ketika masih makmur, mereka berteman baik, begitu pula istri masing-masing. Sekarang tidak ada orang yang menerima tulisannya, bahkan temannya sendiri, redaktur Westbrook. Dia mempertanyakan kenapa tulisan terakhirnya ditolak oleh Westbrook. Westbrook menganggap karyanya tidak sesuai dengan kaidah sastra. Westbrook menganggap karya yang bagus adalah karya yang dramatis. Dawe menolaknya, dengan mengatakan bahwa di kehidupan nyata, orang akan melupakan drama. Mereka berdebat. Akhirnya Dawe mempunyai ide untuk membuktikan teorinya. Walaupun segan, Westbrook setuju untuk ikut serta. Dawe berencana untuk menulis surat perpisahan kepada istrinya, dengan menyatakan bahwa dia menemukan jodoh yang baru. Mereka berniat bersembunyi untuk melihat reaksi istrinya pertama kali membaca surat bohongan itu. Begitu mereka berdua sampai rumah Dawe, sebelum sempat menulis surat bohongan, mereka menemukan sebuah surat dari istri Dawe. Dalam suratnya, Istri Dawe pamit meninggalkan Dawe karena tak tahan hidup dengannya. Dia juga mengajak istri Westbrook yang juga tidak betah, dan mencoba mengejar mimpi berdua dalam dunia pertunjukan.

Cerita keempat adalah Strictly Business, atau diterjemahkan menjadi Semata-mata Bisnis. Hart adalah seorang aktor yang serius. Dia juga mencoba menulis sebuah skenario. Suatu saat dia melihat sebuah pertunjukan dan terpesona dengan akting aktris tak terkenal bernama Cherry. Hart mendekati Cherry untuk mengajaknya bermain dalam drama tulisan skenario Hart. Hart serius dengan rencananya, ternyata Cherry juga serius. Mereka sangat ambisius, sehingga mereka mempunyai rencana-rencana bisnis tertentu. Mereka dikenal sebagai Hart & Cherry, dengan drama tulisan mereka berjudul Mice Will Play. Drama itu sukses besar, sampai bertahun-tahun selalu mendapat review yang bagus. Suatu saat dalam pertunjukan di New York, terjadi kecelakaan. Secara tak sengaja Cherry menembakkan pistol ke Hart di tengah pertunjukan. Hart terluka, tapi dia merasa tidak apa-apa. Seorang rekan Hart bercerita bahwa Cherry menangis meraung-raung ketika Hart terluka. Itu adalah bukti bahwa Cherry sebenarnya mencintai Hart. Hart bilang, sudah terlambat untuk cinta, karena mereka sebenarnya sudah resmi menikah sejak dua tahun yang lalu.

Cerita kelima berjudul Kenyataan Adalah Sandiwara, diterjemahkan dari The Thing's The Play. Ini adalah cerita favorit saya dalam buku ini. Frank dan John adalah sepasang teman, namun mereka memperebutkan cinta dari orang yang sama, Helen. Ketika Helen yang seorang gadis cantik tiada tara itu memilih Frank sebagai suaminya, John menjabat tangan Frank. Namun pada hari pernikahan mereka, John tiba-tiba masuk ke kamar ketika Helen sendirian. Dia memohon agar Helen meninggalkan Frank. Helen menolak, namun John tetap mencium-cium tangan Helen. Tiba-tiba Frank masuk ke dalam kamar, mendapati John mencium tangan Helen. John loncat keluar jendela, melarikan diri. Frank pun marah karena cemburu. Frank pergi keluar rumah dengan kesal. Selama 20 tahun, Helen menunggu Frank yang tidak pulang-pulang. Dia menolak pinangan banyak orang karena tetap setia pada Frank, walaupun dirinya sendiri sudah menua. Suatu saat dia menyewakan kamar di rumahnya kepada seorang pemain biola bernama Ramonti. Ramonti tertarik kepada Helen dan dia mengungkapkan perasaan cintanya kepada Helen. Ramonti mengungkapkan masa lalunya, bahwa Ramonti adalah nama buatan manajernya. Dia sendiri tidak ingat kehidupannya yang dulu, karena ditemukan orang tergeletak di pinggir jalan, pingsan dengan kepala berdarah. Karena lupa akan masa lalunya, dia mengejar masa depannya dengan nama Ramonti dengan belajar biola dan berkelana ke Paris. Helen sangat tertarik kepada Ramonti, akan tetapi dia bilang tidak bisa mencintainya, karena Helen bilang bahwa dia sudah punya suami, walau pergi entah kemana selama 20 tahun. Ramonti segera berlalu kembali ke kamarnya. Tiba-tiba muncul lelaki asing di depan Helen. Laki-laki itu minta maaf karena telah membuat perkawinan Helen berantakan dulu. Helen tidak mengenalnya, ternyata laki-laki itu adalah John. John mengaku bahwa setelah dia melarikan diri dari kamar Helen 20 tahun lalu, dia mencegat Frank karena cemburu. John memukul kepala Frank sehingga pingsan dan berdarah. Selanjutnya dia melihat orang lain membawa Frank ke rumah sakit, 20 tahun yang lalu.

Cerita keenam berjudul Perempuan dan Suap Menyuap, atau terjemahan dari The Girl and The Graft. Cerita ini adalah tentang seorang bernama Vaucross yang ingin terkenal di kalangan masyarakat di New York. Dia telah mencoba apapun, tetapi tetap belum berhasil. Dia meminta bantuan seorang licik bernama Ferguson Pogue. Pogue menyiapkan sebuah skandal untuk Vaucross yang akan membuat dia terkenal. Vaucross setuju untuk melakukannya. Pogue merencanakan bahwa dia harus medekati seorang wanita, yang sudah disiapkannya, bernama Artemisia Blyte. Sesudah Artemisia dan Vaucross (pura-puranya) berhubungan, Vaucros akan (pura-puranya) memutuskan Artemisia. Setelah itu, Pogue merencanakan bahwa Artemisia akan (pura-puranya) menuntut Vaucross ratusan ribu dolar, dan hal itu akan membuat Vaucross terkenal. Tak disangka-sangka, ternyata Vaucross dan Artemisia sama-sama jatuh cinta, dan mereka (benar-benar) memutuskan untuk hidup bersama.

Judul terakhir adalah Demi Cinta, atau dari versi bahasa Inggris A Service of Love. Joe, seorang seniman lukis bertemu dengan Delia, seorang penyanyi. Mereka berdua adalah seniman dan mencintai seni, yang satu seni musik, yang lain seni lukis. Mereka akhirnya menikah. Joe kuliah seni rupa dan Delia kuliah seni musik. Akan tetapi dalam perjalanannya, mereka sering kekurangan uang. Masing-masing tak ingin pasangannya putus kuliah karena biaya. Suatu saat Delia bilang Joe bahwa dia sudah memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan seni musik, yaitu memberi pelajaran menyanyi privat pada anak seorang jenderal. Dia membawa pulang uangnya dan diberikan kepada Joe. Pada saat yang lain, Joe pulang membawa uang yang menurutnya hasil penjualan lukisannya. Akhirnya pada suatu hari, Delia pulang ke rumah dengan tangan yang luka bakar. Dia beralasan bahwa itu terluka kena panggangan ketika anak sang jenderal memanggang kelinci. Joe tidak percaya cerita itu. Akhirnya Delia mengaku bahwa selama ini dia hanya bekerja sebagai tukang setrika di sebuah binatu. Tangannya terluka karena terkena setrika. Ternyata Joe tahu kebohongan Delia, karena Joe juga tidak pernah menjual lukisannya. Diam-diam Joe kerja sebagai operator mesin di Binatu yang sama, dan hari itu dia mendengar ada kecelakaan tangan pada seorang tukang setrika. Akhirnya mereka gembira karena saling jujur.

Membaca O. Henry sangat mengasyikkan. O. Henry adalah pencerita yang ulung, dimana kata-kata mengalir secara pandai. Pada akhirnya, kita terkagum-kagum akan ending dari ceritanya. Kita akan bertanya-tanya, darimana dia mendapatkan bakat seperti itu. Ada ironi yang mencekat seperti dalam The Furnished Room, maupun humor yang cerdas seperti dalam Proof of The Pudding. O Henry seperti seorang pesulap, yang memasukkan sapu tangan ke dalam sebuah topi, memantrai topi itu, alih-alih malah mengeluarkan kelinci hidup dari topi itu. Karya-karyanya magis.