SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Minggu, 29 Agustus 2010

Things Fall Apart - Chinua Achebe

Saya tak ingat kapan terakhir kali saya membaca novel semenarik ini. Novel ini saya temukan di toko buku dengan harga yang sangat murah. Begitu hebatnya novel ini sampai saya bersedia membayar tiga kali lipat seandainya pihak toko buku mengetuk pintu rumah saya.


Tak diragukan lagi, buku ini pantas dipilih majalah TIME sebagai salah satu dari 100 novel terbaik. Saya sendiri belum pernah menemukan buku yang seperti ini. Benar-benar tidak ada bandingannya. Menurut saya, pandangan Anda tentang sastra akan berubah setelah Anda membaca buku ini.


Pertama-tama, temanya belum pernah saya temui. Buku ini ditulis pertama kali tahun 1958 oleh Chinua Achebe, berlatar belakang kehidupan suku Ibo, di Nigeria, sebelum masa penjajahan oleh sang kulit putih. Kedua, plotnya pun sangat hebat, semacam tragedi Shakespearian.


Chinua Achebe menulis novel debutan ini bak seorang master. Chinua adalah pendongeng sejati. Kata-kata meluncur deras dan tak satupun yang tak bermakna. Gaya penulisannya sangat intens dan penuh suspens. Bahkan Anda akan dibuat terpaku sampai halaman terakhir. 


Buku ini menceritakan tentang Okonkwo, seorang pahlawan dari sukunya yang tinggal di desa Umuofia, di pedalaman Nigeria. Ayahnya adalah seorang pemalas, lembek, gemar berhutang, dan cinta damai yang tidak memperoleh gelar apa-apa dalam sukunya. Untuk itu ayahnya memiliki status sosial yang rendah di suku tersebut. Okonkwo membenci ayahnya karenanya, dan bertekad menjadi orang paling dihormati di sukunya. Dia berjuang dengan keras untuk memperoleh status sosial dalam klannya, dengan pergi berperang dengan gagah berani dan menjadi pegulat paling tangguh. Karena sifat kerasnya, dia berhasil menjadi orang yang dihormati, memiliki tiga istri, dan membangun pertaniannya sendiri yang maju.


Okonkwo tidak tanggung-tanggung mendidik anak dan istrinya. Dia selalu menekankan bahwa laki-laki di keluarganya dilahirkan sebagai pahlawan, bukan pemalas. Dia harus dihormati istri-istrinya. Setiap perilaku anak dan istrinya yang tidak berkenan, mendapat ganjaran dengan hajaran dan pukulan.


Suatu saat terjadi pembunuhan wanita dari klan tersebut yang dilakukan oleh klan lain di desa yang lain. Okonkwo dipilih sebagai utusan untuk menghukum desa lain tersebut. Okonkwo sangat ditakuti oleh desa-desa dan klan yang lain. Klan tersebut meminta maaf, dan memberi ganti rugi seorang anak perempuan dan laki-laki untuk perjanjian damai dan menghindari perang. Menurut penerawangan pendeta, anak laki-laki tersebut harus dipelihara oleh Okonkwo di rumahnya sampai ada keputusan akan diapakan anak laki-laki itu.


Anak laki-laki itu bernama Ikemefuna, segera menjadi kesayangan Okonkwo, karena perilakunya yang baik. Dia bahkan menjadi contoh anak teladan bagi anak kandung sulungnya, Nyowe. Ikemefuna tinggal selama tiga tahun di desa tersebut, dan malah telah memanggil Okonkwo "ayah". Dia sudah lupa akan keluarga aslinya di desa asalnya.


Sampai saatnya tiba buat pendeta untuk menyampaikan perintahnya. Dia menyatakan bahwa dewa-dewa ingin agar Ikemefuna dibunuh. Okonkwo meskipun sangat terpukul oleh keputusan itu, tidak bertindak apa-apa untuk menentangnya. Orang tertua di suku itu mengingatkan agar Okonkwo tidak ikut campur dalam eksekusi anak itu. Tapi karena tidak mau dianggap lemah, Okonkwo justru bergabung dengan tim eksekusi Ikemenfuna, anak angkatnya sendiri, untuk pergi ke hutan.Di hutan, yang mengeksekusi anak itu sampai mati justru Okonkwo sendiri.


Sejak saat itu, tragedi muncul dalam kehidupan Okonkwo. Dalam sebuah pemakaman tetua di desa, Okonkwo secara tak sengaja membunuh seorang anak karena senapannya meletus tiba-tiba. Untuk itu Okonkwo dan keluarganya dihukum dengan diasingkan selama 7 tahun. Hampir pupus harapan untuk mendapatkan gelar ketiga, gelar tertinggi dalam klan itu.


Akhirnya Okonkwo dan keluarganya mengungsi selama 7 tahun di desa asal ibunya, dimana dia diterima dengan baik, tapi dia tidak pernah merasa di rumah. Selama di pengasingan, Okonkwo berniat sekuat tenaga ketika kembali nanti untuk memperoleh kedudukan paling tinggi di klannya. Dalam pengasingan, dia mendengar cerita bahwa orang-orang kulit putih telah datang ke daerah tersebut. Di sebuah klan lain, seorang kulit putih yang membawa kendaraan bermotor dibunuh karena dianggap siluman. Alhasil, klan tersebut menerima pembalasan dari orang-orang kulit putih lainnya dan dibantai habis. Okonkwo sangat marah geram mendengar kabar itu.


Lalu saatnya tiba bagi orang kulit putih untuk datang ke kampung ibu Okonkwo. Mereka mendirikan gereja di hutan kematian, tanah orang buangan, dan mulai menyebarkan agama Kristen. Okonkwo sekali lagi geram karena masyarakat klan ibunya mengijinkan orang kulit putih itu membangun gereja dan menyebarkan agama selain yang mereka anut. Ternyata diam-diam, anak kandungnya, Nyowe, tertarik dengan ajaran orang kulit putih itu dan minggat dari rumah. Okonkwo sangat marah akan kelakuan anaknya. Dia dalam hati menyalahkan klan ibunya karena tidak mengusir orang-orang kulit putih itu. Dia berharap jika kembali ke sukunya yang pemberani, Umuofia, orang-orang kulit putih itu pasti tidak berani masuk kesana.


Saatnya tiba bagi Okonkwo untuk kembali ke Umuofia, 7 tahun telah berlalu. Okonkwo kembali membangun pertaniannya di desa asalnya. Akan tetapi ternyata keadaan lebih parah di Umuofia. Disana telah berdiri sebuah gereja dan gedung pemerintahan orang kulit putih. Orang kulit putih mengambil alih hukum adat dan memenjarakan siapa saja yang menghina mereka. Okonkwo juga semakin berduka melihat semakin banyaknya penganut agama baru itu.


Salah satu penganut agama baru tersebut adalah Enoch, anak pendeta ular. Dia menjadi penganut Kristen yang sangat taat dan menjadi pembuat onar. Dia membunuh dan memakan ular piton suci yang disembah klan itu. Enoch juga yang mengganggu upacara pemanggilan arwah di desa, dengan membuka topeng orang yang kerasukan arwah (Egwugwu), sesuatu yang sangat membangkitkan amarah para arwah-arwah leluhur.


Akhirnya Okonkwo beserta pemuka desa lain kehilangan kesabaran. Mereka menyerbu gereja dan membungihanguskannya. Setelah gereja dihancurkan, Okonkwo dan beberapa pemuka klan lainnya dipanggil untuk berunding dengan komisaris wilayah, wakil pemerintahan ratu Inggris di daerah tersebut. Mereka diundang baik-baik, dan mereka gembira karena bisa membeberkan keluhannya terhadap agama kulit putih tersebut. Ternyata sesampainya di gedung pemerintahan Komisaris. Mereka ditangkap dan dipenjara. Mereka dihukum siksa sehari-hari sampai akhirnya penduduk desa membayarkan denda kepada komisaris untuk membebaskan Okonkwo dan teman-temannya.


Setelah dilepas, Okonkwo dipenuhi rasa dendam terhadap orang kulit putih. Dia datang dalam sebuah pertemuan dan berusaha membangkitkan semangat perang Umuofia, sesuatu yang pernah dihargai dan ditakuti dari desa tersebut. Dia meyakinkan penduduk desa untuk melancarkan perang terhadap orang kulit putih yang telah menghina mereka dan hukum adat mereka.


Ketika pertemuan desa sedang berlangsung, beberapa utusan Komisaris datang untuk membubarkan pertemuan tersebut. Okonkwo yang marah segera membunuh salah seorang sampai seketika tewas. Namun utusan-utusan lain berhasil melarikan diri dan tak ada penduduk desa lain yang berusaha menangkapnya. Sejak saat itu Okonkwo menyadari bahwa dirinya sendirian. Bahwa klannya telah berubah, bukan klan pemberani yang diharapkannya. Akhirnya dengan rasa frustrasi, Okonkwo melarikan diri dan menggantung diri. Dalam agama orang Ibo, membunuh diri adalah tindakan yang paling tercela, dan tidak ada orang Ibo lain yang boleh menguburkan atau menyentuh mayatnya.


Novel yang sangat lengkap ini menggambarkan kehidupan suku Ibo di Afrika pra imperialisme dan masa-masa-masa awal kedatangan orang kulit putih di Afrika. Suku Ibo, diwakili dengan klan Umuofia adalah masyarakat yang walaupun tradisional akan tetapi sangat teratur dan demokratis. Mereka memiliki hukum sendiri. Segala pengambilan keputusan dilakukan dengan kolektif dalam masyarakat. Mereka menghargai aturan main yang ditetapkan oleh para tetua dan pendeta.


Ternyata setelah orang Eropa datang membawa apa yang disebut dengan "kemajuan", kehidupan semakin buruk bagi orang Nigeria, bahkan sampai sekarang. Orang Eropa datang dengan membawa semangat kemajuan peradaban dan satu agama untuk seluruh dunia. Mereka menasbihkan diri mereka sebagai ras yang paling unggul, sebagai pendidik ras lainnya. Sungguh ironis, suku Ibo yang demokratis justru dijajah oleh bangsa Inggris yang Monarkis.


Penjajahan itu awalnya adalah ide penyebaran agama. Ide tentang semua orang di dunia ini menganut agama dan keyakinan yang sama adalah ide yang absurd. Ini disebutkan sebagai argumen dalam novel ini. Ide ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam sebuah budaya.


Segala tentang penyebaran kemajuan ini, akhirnya berakhir pada konflik yang tidak toleran. Hasil dari pendudukan kulit putih tersebut adalah perbudakan, perang sipil, rasisme, konflik antar agama, gegar budaya, dan lain-lain, alih-alih emansipasi dan dialog antar peradaban.


Salah satu hal yang menarik yang bisa digarisbawahi dalam buku ini adalah bagaimana timbulnya radikalisme agama itu sendiri. Kadang-kadang radikalisme agama bukan timbul dari penyebaran agama tersebut, melainkan timbul karena interpretasi silang. Dalam hal ini, Enoch, seorang putra pendeta ular, bisa menjadi seorang kristen radikal, melebihi pendeta Brown sendiri, yang mengenalkannya terhadap Kristen. Itu kenapa radikalisme agama sering muncul di negara-negara yang notabene bukan asal tradisional dari agama tersebut. Sebagai contoh, radikalisme Islam di Indonesia dan Afghanistan, atau radikalisme Kristen di Ambon dan Amerika, misalkan.


Untuk itu saya sebut ini sebuah novel yang sangat lengkap. Kita bisa belajar banyak dari membaca satu buku ini. Novel ini seperti kue lapis, dengan berlapis-lapis dimensi yang kaya. Eksotisme, humanisme, tragedi, suspens, aksi laga, Anda sebutkan sendiri. Bisa dibilang, Anda belum membaca novel, sebelum membaca novel ini.

Sabtu, 21 Agustus 2010

The Year Of Living Dangerously - Christopher Koch

Bagaimana orang barat memandang Indonesia? Anda bisa membaca novel ini untuk mengetahui cara pandang seorang Australia tentang Indonesia. Christoper Koch menulis novel "The Year of Living Dangerously" dengan setting Indonesia tahun 1964-1965. Selama ini kita tahu bangsa kita menulis tentang kita sendiri, hanya jarang sekali orang barat menulis tentang kita. Hasilnya memang sungguh membuat kita asing akan diri kita sendiri. Bukan karena persepsinya melulu salah, melainkan karena kita menemukan diri kita yang tak pernah terlihat oleh kita sendiri. Dibutuhkan orang asing untuk memberitahu siapa diri kita sebenarnya. Kita seperti diberikan cermin yang berbeda dari yang biasa kita pakai melihat diri sendiri.


Christopher Koch juga tidak berarti selalu benar melihat kita. Beberapa kesalahan penggambaran lokal dalam novel ini menunjukkan bahwa dia tidak tinggal cukup lama di Indonesia untuk benar-benar memahaminya. Namun itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah kita bisa merekonstruksikan arkeologi pemikiran orang barat tentang Indonesia. Mungkin bias, tapi justru itulah gunanya membaca novel ini, untuk mengetahui bagaimana ada perbedaan cara pandang antar budaya. Untuk mengetahui perspektif historis lainnya.


Novel ini adalah novel romansa dengan bumbu thriller politik, mengisahkan hari-hari terakhir Soekarno menjadi presiden dan Panglima Besar Revolusi. Judul "The Year of Living Dangerously" sendiri adalah terjemahan bebas dari pidato Bung Karno yang menyebutkan istilah "Vivere Pericoloso" (dari bahasa Italia yang kira-kira artinya "tahun yang berbahaya"). Novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia pada zaman orde baru. Sebenarnya bukan karena buku ini membawa fakta baru kudeta G30S/PKI, melainkan, menurut saya, hanya karena rezim Orde Baru berniat untuk mempertahankan diri sebagai referensi tunggal peristiwa G30S/PKI. Segala versi lain, meskipun mirip atau hanya menyerempet, tidak akan direstui karena tidak resmi dari Orde Baru. Apalagi sebuah buku yang menceritakan kedua sisi secara berimbang seperti ini.


Begitu pula filmnya, sempat dilarang sampai akhirnya Orde Baru ambruk. Filmnya dibintangi oleh Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt (meraih Oscar di film ini). Film, yang diadaptasi oleh Koch sendiri dari buku ini, akhirnya mengambil tempat shooting di Filipina, karena sudah pasti ditolak oleh Pemerintah Orde Baru untuk shooting di Jakarta. Menurut saya, buku ini terinspirasi oleh film Casablanca, dimana Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman sebagai dua orang asing terlibat percintaan di tengah spionasi dan pergolakan perang yang mendekat di suatu negeri yang jauh di timur.


Narator dalam buku ini adalah seorang wartawan asing bernama Cookie yang ditugaskan sebagai koresponden di Indonesia pada tahun 1964-1965. Dikisahkan dalam buku ini Guy Hamilton, seorang wartawan Australia, ditugaskan menjadi koresponden di Indonesia. Dia bergabung dengan klub tidak resmi wartawan asing di Indonesia yang selalu berkumbul di Bar Wayang, Hotel Indonesia. Dibandingkan dengan wartawan lain di klub Bar Wayang seperti Cookie, Wally O'Sullivan, Pete Curtis, dan lain-lain, Guy masih hijau dan tidak berpengalaman. Dia frustrasi untuk menemukan jalan untuk mendapatkan berita.


Akhirnya Guy dikenalkan pada Billy Kwan, seorang kate keturunan Cina yang berkebangsaan Australia, yang sering mendapatkan ejekan. Billy adalah seorang kamerawan lepas yang cerdas, eksentrik, dan idealis. Awalnya dia sangat kagum dengan Soekarno, lama kelamaan kekagumannya berubah karena melihat kemiskinan meluas dimana-mana. Guy menyewa jasa kamerawan Billy dengan kebebasan penuh, dan Billy akan memberikan timbal balik kepada Guy untuk membantunya mendapatkan sumber berita. Dengan bantuan Billy, Guy mendapatkan wawancara dari tokoh-tokoh tinggi di Indonesia, termasuk Aidit, ketua PKI. Seketika itu Guy menjadi superstar di kalangan wartawan asing. Reputasinya semakin bersinar mengalahkan senior-seniornya di Bar Wayang.


Billy Kwan juga mengenalkan Guy kepada Jill Bryant, wanita cantik yang bekerja pada Kedutaan Besar Inggris. Billy menjodohkan mereka secara tidak langsung, dan ternyata berhasil, mereka akhirnya jatuh cinta satu sama lain.


Merasa aman dengan hubungan percintaannya, Jill memberikan bocoran laporan intelijen Inggris kepada Guy bahwa Cina sedang melakukan pengiriman senjata ke PKI. Senjata tersebut sedianya akan digunakan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima yang mereka usulkan ke Soekarno, yaitu Angkatan Petani. Jill meminta Guy berjanji untuk tidak menjadikan bocoran ini sebagai berita.


Namun Guy Hamilton adalah jurnalis yang penasaran yang dibuai ambisi kesuksesan. Dia berusaha mencari sumber sendiri dan melakukan investigasi diam-diam mengenai berita ini. Di waktu yang sama, Billy Kwan menghilang karena sibuk dengan petualangannya dalam memahami penderitaan rakyat kecil di pedalaman kampung-kampung kumuh Jakarta. Billy juga diusir dari Klub Bar Wayang karena menghina beberapa rekannya. Merasa kehilangan bantuan, Guy menjadi tergantung kepada Kumar, asisten pribadinya, orang Indonesia asli yang diam-diam adalah seorang komunis.


Billy yang idealis dan menghabiskan banyak waktu di perkampungan kumuh Jakarta, semakin marah dengan politik Soekarno yang membangun monumen-monumen mewah dan proyek-proyek ambisius di dunia tapi melupakan rakyatnya yang kelaparan. Dalam suatu acara dimana semua orang asing dan Soekarno akan menghadiri jamuan di Hotel Indonesia, dia berniat untuk mengibarkan spanduk anti Soekarno. Namun sebelum spanduk itu terpasang, Billy terjatuh dari ketinggian Hotel Indonesia dan tewas di depan Guy. Guy curiga dia dibunuh oleh Dinas Rahasia Soekarno.


Setelah itu, Indonesia menjadi tidak kondusif untuk orang asing. Beberapa kedutaan asing diserang. Orang kulit putih dianggap sebagai antek Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme). Bahkan orang Sovyet merasa gerah karena PKI lebih percaya Peking daripada Moskwa. Beberapa wartawan dan orang asing sudah dipulangkan ke negaranya. Jill juga harus pergi ke Singapura tanpa penjelasan kepada Guy.


30 September 1965, PKI melancarkan kudeta yang tidak terorganisir. Mereka menculik jendral-jendral musuhnya dan menduduki bandar udara. Kudeta itu gagal hanya dalam beberapa waktu saja. Guy yang haus akan berita terbesar dalam karirnya, mencoba mendekati Istana Merdeka untuk mencari berita tentang kudeta. Waktu itu, hanya dia satu-satunya wartawan barat yang masih tersisa di Jakarta. Dalam pencarian berita di depan Istana Negara tersebut, Guy Hamilton dipukul popor senapan oleh Tentara AD. Pukulan di kepala tersebut membuat dia terluka dan nyaris buta.


Dia dirawat sendirian di apartemen milik Kedutaan Inggris, terisolir dan tidak bisa melihat apa-apa. Kumar mengunjunginya, menanyakan kabarnya, dan kemudian berpamitan untuk bergabung dengan kamerad-kamerad PKI-nya yang melarikan diri ke daerah pedalaman. Dia berencana untuk membantu mereka melakukan kudeta berikutnya. Guy menasehati agar Kumar tidak bergabung dengan PKI, tapi Kumar sudah teguh dengan pendiriannya. Dia siap menerima setiap konsekuensinya.


Dan Kumar pergi. Kita semua tahu, setelah kudeta yang gagal 30 September, anggota PKI yang tersisa diburu dan dibunuh tanpa ampun.


Guy kemudian melarikan diri dari Indonesia tanpa mengindahkan resiko kebutaan total, mengingat dia belum sembuh benar. Dia bertemu Jill di Singapura yang sedang hamil, dan akhirnya mereka berdua pergi ke Eropa.


Ini adalah novel yang cukup baik menggambarkan masa-masa kelam sejarah Indonesia tersebut. Sebelumnya sangat jarang, hanya bisa dihitung dengan jari, sebuah roman yang menggambarkan masa-masa pemberontakan G 30 S/PKI tanpa adanya sponsor dari pemerintah. Untuk itu, novel ini terhitung berharga untuk bangsa Indonesia.


Indonesia disini dipandang dari kacamata orang asing. Pada masa itu, Indonesia sangat membenci orang asing dengan propaganda Soekarno yang anti Nekolim. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno pernah begitu tegas terhadap dunia. Malaysia diganyang. Amerika dan Inggris "Go to hell!". Keluar dari PBB. Peduli amat dengan blok barat dan timur, Soekarno membuat NEFO (New Emerging Forces).


Soekarno, telah diakui oleh siapapun, selalu membuat decak kagum, bahkan oleh musuh-musuhnya. Dia orator yang sangat ulung dan logis, yang membuat orang-orang tergerak hanya dengan mendengarkannya. Dia punya mimpi besar untuk Indonesia, untuk dunia. Namun seperti anak yang terlalu asyik bermain dengan mainannya, dia lupa menapak ke realitas. Realitasnya adalah rakyatnya miskin dan kekurangan makanan.


Soekarno, di mata orang yang tak pernah bisa memahaminya secara menyeluruh, adalah tiran dan pahlawan. Bahkan orang yang menganggap dia tiran pun mengakui bahwa Soekarno adalah pahlawan terbesar Indonesia. Soekarno selalu menarik untuk diperbincangkan, tak ada habis-habisnya membicarakan Soekarno. Bagaimana kecerdasannya yang melebihi rata-rata. Bagaimana percaya dirinya yang luar biasa. Bagaimana dia benar-benar di dalam hati mencintai petani (seperti Marhen) dan tukang becak. Bagaimana serunya petualangan seksualnya. Bagaimana dia berusaha membangun monumen-monumen untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah Superpower. Monumen Nasional konon dibangun menunjukkan mitos alat kelaminnya berujung emas. Orang membenci sekaligus mencintainya setengah mati. Seperti jatuh cinta, kita jatuh cinta kepada Soekarno, tapi kemudian frustrasi oleh cinta itu sendiri. Seperti Billy Kwan dalam buku ini, yang obsesif terhadap Soekarno.


Buku ini benar-benar bukan novel biasa. Sangat kompleks sebagai thriller psikologis. Sangat detail sebagai roman sejarah. Sangat mencekam sebagai sebuah drama. Sebuah buku yang lengkap, Anda tak akan menyesal membacanya. Ini adalah buku yang penting untuk Indonesia.


Dari orang asing, kita mendapatkan gambaran mengenai sejarah negeri kita. Dari orang asing, kita mengenal stereotip bangsa kita, orang-orang berkulit coklat, dengan etika kerja yang terganggu oleh cuaca yang begitu panas, selalu merokok kretek yang baunya membuat mual, dan menggemari sate.


Ya itulah kita, bangsa Indonesia. Bangsa yang pernah membuat negara-negara besar malu. Bangsa yang kemudian menjadi bangsa yang malu akan dirinya sendiri.

Senin, 16 Agustus 2010

The Catcher In The Rye - J.D. Salinger

Saya terganggu sekali dengan buku ini. Ini buku yang sama sekali tidak membuat saya semakin semangat membaca, malah menyurutkannya. Bahkan kadang-kadang emosi saya naik tidak jelas terhadap buku ini maupun pengarangnya.


The Catcher In The Rye adalah buku yang sangat populer di Amerika Serikat. Majalah Time mengategorikannya sebagai salah satu dari 100 novel berbahasa Inggris terbaik. Efek dari buku ini lebih mencengangkan lagi. Tokoh dalam buku ini, Holden Caulfield, dianggap sebagai pahlawan generasi muda menantang kemapanan. Bahkan seorang Mark David Chapman di tahun 1980 membunuh John Lennon setelah membaca buku ini dan menemukan kesadaran baru. Begitu pula seorang John Hinckley Jr. yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap presiden AS Ronald Reagan. Juga beberapa pembunuhan lain. Apakah ini buku setan?


Novel yang ditulis tahun 1951 ini sebenarnya adalah buku remaja. Tokohnya, Holden Caulfield, adalah remaja usia 16 tahun yang pemarah dan emosional. Holden baru saja dikeluarkan dari sekolahnya karena nilainya yang rendah. Dia menganggap semua tentang sekolah dan teman-temannya adalah kepalsuan.


Dia pergi dari sekolahnya, tapi tidak menuju rumahnya. Dia pergi menuju sebuah hotel di New York, dan mencoba menggoda seorang pelacur. Ketika pelacur itu datang untuk melayaninya, Holden berubah pikiran dengan bermaksud hanya mengobrol saja dengan pelacur itu. Pelacur itu meminta uang lebih, tapi Holden menolak. Holden akhirnya babak belur dipukuli oleh germo pelacur tersebut.


Holden akhirnya berkeliling kota tidak jelas, sendirian, dan seringkali mabuk. Dia menemui mantan guru bahasanya, Pak Antolini yang sangat dihormatinya. Pak Antolini memberi nasihat-nasihat yang berguna dan Holden hanya mendengarkan dia sebagai orang yang dihargai. Holden sangat nyaman berada bersama Pak Antolini. Namun pada akhirnya dia pergi dengan marah-marah setelah Pak Antolini berusaha melakukan pelecehan seksual terhadapnya.


Holden adalah anak muda yang sangat terganggu. Dia muak dengan lingkungannya, dia muak dengan keluarganya, dia muak dengan sekolahnya, dia muak dengan segalanya. Dia membenci semuanya. Segala hal yang dipercayanya pun menjadi suram. Dia analah anak muda yang kehilangan kepercayaannya terhadap hidupnya dan dunianya. Holden Caulfield adalah seorang antisosial. Dia mengritik siapa saja. Dia marah kepada siapa saja.


Hal ini adalah wajar, mengingat dia baru berusia 16 tahun. Masa remaja adalah masa yang berapi-api, kata Rhoma Irama. Tapi Holden adalah remaja yang mengira bahwa dunia belum dewasa ketika dia sendiri bertingkah seperti belum dewasa. Dia kehilangan nilai-nilai, dan hal ini membuat dia kehilangan tujuan hidup. Tak ada optimisme dalam novel ini, sepanjang yang saya baca. Ini adalah alienasi dari masyarakat modern yang muncul begitu dini. Itu mungkin menjelaskan bagaimana Holden Caulfield menjadi idola remaja bermasalah (dan pembunuh), mereka merasakan hal yang sama dengan Holden: alienasi. Kemuakan pada nilai-nilai kapitalisme yang memperbudak murid-murid sekolah dan remaja.


Dalam novel ini diceritakan mengenai tindakan kekerasan dan kata-kata kasar, sehingga saya rasa akan menimbulkan kontroversi apabila dibaca pembaca remaja. Saya kurang nyaman membaca novel ini. Tapi menurut saya, buku yang bagus adalah buku yang mengganggu. Buku ini tidak membuat saya tidur, melainkan membuat saya mengernyitkan dahi. Bukan favorit, tapi saya beruntung telah membacanya.

Minggu, 15 Agustus 2010

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

Indonesia patut bangga mempunyai Pramoedya Ananta Toer. Menurut saya, belum ada lagi buku dari Indonesia sebaik Bumi Manusia. Buku ini adalah sumbangan Indonesia untuk dunia.


Tapi Indonesia sendiri sempat memperlakukan Pramoedya secara tidak layak. Dia menulis buku ini di tahanan pengasingan pulau Buru. Dia menceritakan buku ini sebelum ditulis kepada tahanan-tahanan lain. Dia dilarang memiliki alat tulis, jadi dia menulis secara sembunyi-sembunyi dengan apapun yang dijumpainya, kertas bekas, kertas bungkus rokok, dan sebagainya. Tak jarang ketahuan aparat penjara, naskah tulisannya akan dirampas dan dibakar.


Setelah dia bebas, dia berusaha sekuat tenaga untuk merekonstruksi novel ini kembali. Setelah diterbitkan pun, pihak yang berwajib kala itu (rezim orde baru) melarang peredaran buku ini dengan alasan meyebarkan komunisme dan Marxisme. Hal ini sebenarnya tidak terbukti karena dalam buku itu tidak satu kalipun disebutkan kata komunisme dan Marxisme, maupun membahas ajarannya.


Buku ini bercerita tentang masa penjajahan Belanda atas Indonesia. Minke, tokoh dalam novel ini adalah seorang Jawa yang beruntung bisa bersekolah bersama-sama bangsa Belanda dan keturunannya. Dia adalah anak seorang Bupati yang dianggap layak hidup berdampingan bersama orang Belanda. Minke berprofesi sebagai penulis yang dihormati pada media-media berbahasa Belanda.


Meskipun dapat mengecap pendidikan Belanda, dia membenci teman-temannya yang benar-benar keturunan Belanda, baik Belanda Totok maupun Indo. Dia merasakan benar-benar ketidakadilan antara masyarakat Belanda dan rakyat pribumi.


Kemudian Minke berkenalan dengan istri simpanan seorang Belanda yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh memiliki anak yang cantik bernama Annelies. Nyai Ontosoroh adalah wanita yang tak biasa dan tradisonal. Meskipun dia wanita yang tak berpendidikan formal, dia menguasai pengetahuan melalui buku-buku dan pengalaman dan pengamatan pribadi. Nyai Ontosoroh adalah wanita yang berpikiran lebih luas dari wanita-wanita bangsanya yang dilemahkan dan termasuk perempuan yang provokatif.


Meskipun begitu, dia adalah wanita yang dianggap rendah oleh bangsanya sendiri karena telh menjadi budak nafsu seorang Belanda, meskipun dia tidak memiliki pilihan lain. Anaknya, Annelies, kemudian menikah dengan Minke, tapi tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Ayahnya yang seorang Belanda pemabuk, Herman Mellena, menentang Minke yang dianggapnya seorang pribumi rendah.


Itulah gambaran yang dilukiskan oleh Pramoedya Ananta Toer, gambaran mengenai inferioritas bangsa ini. Gambaran ini bahkan masih relevan dalam masa ini. Bangsa kita selama ini masih rendah tingkat pendidikan, dan harus berhamba terhadap bangsa lain.


Ini adalah novel anti-imperialisme. Novel yang membela kemanusiaan di atas segala entitas politik lainnya, sesuai judulnya, Bumi Manusia. Rasisme bukan dikumandangkan dari negeri-negeri tak berpendidikan, tetapi malah terutama oleh bangsa Eropa. Adalah ironi bagaimana orang Eropa (kala itu) memandang manusia di Asia dan Afrika. Manusia pribumi dianggap oleh manusia Eropa sebagai manusia yang savage (tak beradab), yang asing (strange), yang berjalan dengan telapak kaki tanpa alas dan makan dengan kelima cakar kita. Alhasil, Eropa dianggap sebagai satu-satunya referensi peradaban yang mulia. Inilah awal mula dari penindasan dan penjajahan. Ini adalah buku yang melihat manusia Eropa dari sudut pandang kita yang asing. Bangsa Eropa mengagumi kekayaan dan keindahan alam Hindia Belanda, tapi merasa bahwa penghuninya adalah masyarakat kelas dua, sekelas budak yang tidak mampu berpikir dan berdaya. 


Menurut Pramoedya, pendidikan adalah poin yang terpenting dari perlawanan terhadap penjajahan. Bangsa yang terdidik adalah bangsa yang mampu menjadi setara dengan bangsa lain. Bangsa yang terdidik adalah bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri. Pendidikan adalah kunci dari kemerdekaan. Pendidikan adalah emansipasi, bukan monopoli golongan.


Sementara di negeri ini, rakyat terus terjajah. Novel yang emansipatoris seperti ini bahkan dilarang oleh pemerintah, seolah mengulang kembali ketakutan penjajah Belanda akan rakyat pribumi yang berpendidikan. Pendidikan saat ini pun cenderung elitis. Pendidikan di negeri seperti perahu Nabi Nuh, hanya sebagian kecil golongan yang bisa masuk, yang lain akan tenggelam dalam air bah. Hanya sebagian kecil orang kaya yang bisa bersekolah tinggi saat ini, sama dengan yang diceritakan Pramoedya semasa penjajahan Belanda. Kita negeri yang sulit belajar.

Jumat, 13 Agustus 2010

To Kill A Mockingbird - Harper Lee

To Kill A Mockingbird adalah salah satu buku terbaik yang pernah saya baca. Sebelum membaca saya menganggap remeh Harper Lee yang baru pertama kali menulis novel. Saya juga belum pernah melihat filmnya. Jadi mulanya saya tidak terlalu antusias membaca buku yang terbit pertama kali tahun 1960 ini.


Buku ini sungguh orisinil, segar, dan menyenangkan di tengah ironi masyarakat yang tidak adil. Sang pencerita di novel ini adalah 'Scout' Finch, seorang anak perempuan berumur 6 tahun yang tomboy. Dia bercerita tentang ayahnya, Atticus Finch, seorang pengacara yang ditinggal istrinya, dan Jem Finch, kakak laki-lakinya. Dia bercerita tentang kota kecilnya, Maycomb, Alabama. Dia bercerita tentang pendidikan yang kolot di sekolahnya. Dia bercerita tentang ketidakadilan sistem peradilan dan diskriminasi ras. Apapun yang dia ceritakan, selalu dengan kepolosan anak umur 6 tahun yang membuat senyum.


Scout dan Jem berteman dengan anak laki-laki bernama Dill semasa liburan musim panas. Bertiga mereka menunjukkan keberaniannya dan kenakalannya, serta kepolosannya. Untungnya, Atticus mendidik mereka dengan tegas dan menanamkan nilai-nilai luhur dan kesadaran kemanusiaan dengan baik, meskipun dia sering dituduh orang lain bahwa dia tidak mengajarkan nilai-nilai dasar untuk anak-anak. Suatu saat, seorang kulit hitam bernama Tom Robinson dituduh memperkosa seorang perempuan kulit putih, Mayella Ewell. Atticus ditunjuk sebagai pengacara untuk Tom.


Scout dan Jem menyelinap masuk ke dalam ruang pengadilan untuk melihat sepak terjang ayahnya membela sang terdakwa. Atticus berhasil menunjukkan fakta bahwa Mayella Ewell dan ayahnya, Bob Ewell, merekayasa tuduhan dan menjebak Tom Robinson. Namun di tengah kota yang penuh orang baik hati tersebut, diskriminasi rasial adalah nilai-nilai yang tetap dipegang dengan teguh. Juri tetap menyatakan Tom Robinson bersalah memperkosa Mayella. Namun si pemabuk Bob Ewell, merasa telah dipermalukan oleh Atticus di depan pengadilan. Dia menuntut balas, dengan berniat membunuh Scout dan Jem.


Harper Lee adalah pendongeng alami. Dia bisa membuat cerita yang mengalir tanpa terasa ada penggalan. Buku ini seolah menyihir pembaca untuk terus membaca. Buku ini adalah tentang ironi. Masyarakat yang ramah tapi bisa begitu tega mendominasi ras lain. Sistem pendidikan yang kolot yang justru menyesali seorang anak didik yang menjadi pintar. Sistem pengadilan yang justru tidak diberdayakan untuk mendukung penegakan keadilan. Dan semua ini hanya bisa kita lihat dari sudut pandang seorang anak umur 6 tahun. Kita tersenyum ketika anak cerdas ini bercerita.


Atticus Finch dalam novel ini adalah simbol dari perlawanan terhadap kekolotan dan matinya akal sehat. Atticus Finch adalah pahlawan moral. Atticus Finch adalah seorang pengacara yang memiliki integritas tinggi. Di saat profesi pengacara yang sedang disorot mengalami kemerosotan moral dan pendewaan materi, Atticus adalah pahlawan idaman. Atticus Finch adalah ayah dari Scout.


Betapa Scout telah menimbulkan kekaguman kita terhadap Atticus. Betapa kita mendambakan seorang ayah seperti Atticus. Atau setelah selesai membaca buku ini, kita bisa menjadi seorang ayah seperti Atticus, untuk anak-anak kita.

Kamis, 12 Agustus 2010

The Witch Of Portobello - Paolo Coelho

Paolo Coelho menulis banyak buku tentang petualangan spiritual seseorang. Hal ini mungkin karena pengalaman pribadinya. Dia pernah menulis buku memoir tentang perjalanan spiritualnya sendiri ke Santiago de Compostela, Spanyol, berjudul The Pilgrimage. Perjalanan ini merupakan renungan spritual dan filosofis, yang membuat dia menulis The Alchemist yang sangat kondang itu tahun berikutnya.


Begitu pula buku The Witch of Portobello, yang bercerita tentang seorang wanita gipsi yang memiliki kelebihan mistis. Meskipun begitu, buku ini jauh berbeda dengan The Alchemist. The Alchemist adalah sebuah fabel, sementara The Witch of Portobello adalah sebuah roman metropolitan modern. Tema besar yang serupa, hanya memiliki implikasi yang berbeda.


Yang dimaksud dengan The Witch of Portobello (Penyihir dari Portobello) adalah seorang wanita bernama Athena. Sesungguhnya dia keturunan seorang gipsi dari Rumania, namun diadopsi oleh pasangan Lebanon yang bermigrasi ke Inggris. Wanita cantik ini sejak kecil memang memiliki perilaku aneh, tidak seperti anak lain pada umumnya. Sepertinya dia juga memiliki kelebihan dalam meramal dan berhubungan dengan dunia gaib.


Dia menikah, punya anak, dan kemudian bercerai di usia muda. Dia pernah memuja gereja konvensional, namun kemudian dikecewakan. Dia radikal dalam proses pencarian jati diri. Belajar tarian spiritual rusia, kaligrafi arab, mempraktekkan trance, dan mulai memuja agama kuno yang merupakan pemujaan terhadap dewi. Athena memiliki keluarga yang kaya raya, karir yang sukses, wajah yang cantik, dipuja-puja orang, tetapi tetap pikirannya tidak tenang. Dia selalu berusaha untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan spiritual.


Lama kelamaan, Athena memiliki murid-murid yang belajar hal-hal spiritual kepadanya. Athena mengajari mereka kepercayaan kuno tentang ketuhanan yang disebut dengan "Sang Ibu". Dia mulai memiliki kekuatan gaib, mengklaim bahwa dia sudah menyatu dengan "Sang Ibu". Perkumpulan mereka yang membesar mulai menimbulkan kekhawatiran agama yang konvensional. Perguruan Athena mulai diagresi oleh gerakan gereja yang dipimpin oleh Pendeta Buck.


Gaya penulisan novel ini adalah wawancara pihak ketiga. Athena, tokoh utamanya, tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi subyektif. Athena diceritakan melalui pandangan orang ketiga protagonis yang ada di sekeliling dia, dalam bentuk wawancara.


Novel ini adalah novel yang sangat feminin. Novel ini menggambarkan semangat pembebasan gerakan perempuan. Bahkan agama yang dicari mereka adalah agama keibuan. Hanya novel ini memang agak berlebihan, yanpa menjelaskan poin sebenarnya. Apa sebenarnya yang dicari Athena? Apakah Athena sudah menemukannya?


Terlalu banyak tema spiritual dan filosofis yang berseliweran dalam novel ini yang membuat kita kehilangan fokus. Ada agama dewi, penyatuan Tuhan dan alam, ketuhanan yang feminin, arti cinta, pencarian jati diri, pembukaan energi yang dimiliki jiwa, sampai membahas diet wanita, dan lebih banyak lagi. Jika boleh dibandingkan, The Alchemist adalah buku yang jelas tentang pencarian spiritual; tokohnya mencari harta karun ke piramida Mesir, bertemu cinta sejatinya, bertemu orang bijak dan belajar kepadanya; kemudian kembali ke Spanyol. Sementara dalam The Witch of Portobello ini, kita pergi kemana-mana, tapi kita tak pernah sampai ke tujuan. Bahkan kita kadang bingung sedang berada dimana. Terlalu banyak tikungan yang dipaksakan untuk kita ambil.

Rabu, 11 Agustus 2010

A Spot Of Bother - Mark Haddon

A Spot of Bother adalah buku kedua Mark Haddon setelah The Curious Incident of the Dog in the Night-time. Seperti buku pertamanya, di buku ini Mark Haddon menulis tentang gangguan mental seseorang dari perspektif si pengidap.


George adalah seorang pensiunan yang ternyata menderita hipokondria, kondisi kecemasan yang berlebihan terhadap suatu penyakit. Suatu kelainan kulit biasa di tubuhnya dianggap sebagai kanker ganas. Dia semakin takut akan kematian. Lama kelamaan kondisi mentalnya semakin menurun dan semakin labil. Dia tak pernah membicarakan hal ini dengan keluarganya, sampai dia mengambil sebuah gunting dan mencabut eksim yang dikira kanker dengan gunting di kamar mandi.


Jean adalah istri George. Dia setia menemani George sampai menjelang masa tua, sebelum akhirnya dia tak sengaja bertemu David, mantan rekan kerja George. Jean merasakan jatuh cinta kembali di usia senja, dan akhirnya terlibat perselingkuhan yang membara dengan David.


Mereka memiliki 2 anak yang masing-masing memiliki masalah sendiri-sendiri. Katie, seorang single mother pemarah yang memutuskan akan menikah dengan seorang pria bernama Ray, tapi tidak yakin akan rasa cintanya. Anak kedua adalah Jamie, seorang gay yang sedang bermasalah dengan pasangannya, Tony. Dalam ketegangan dan keributan menuju pesta perkawinan Katie, semua masalah keluarga itu seakan tumpah menjadi satu.


Dan semuanya dibungkus oleh Mark Haddon dalam komedi. Kita melihat melalui kacamata George, dimana akal sehatnya mulai menghilang, rasa takutnya akan kematian semakin menyerang. Kita seperti merasakan perselingkuhan Jean dan David. Kita merasakan pertengkaran antara Katie dan Ray sampai merasa sangsi apakah pernikahan bisa terjadi. Kita melihat dari kacamata seorang gay, bagaimana krisis identitas dapat merusak segala yang kita inginkan dari sebuah hubungan. Semuanya adalah hal yang patut ditangisi. Tapi humor Mark Haddon membuat kita tersenyum kecut.


Mark Haddon, seperti orang Inggris lainnya, menyukai humor kering. Ini seperti sebuah terapi komedi. Dia dapat menemukan komedi di setiap kehidupan biasa-biasa saja dalam sebuah keluarga normal. Kita dibuat tertawa di saat kita menangis, dan sebaliknya, menangis di saat kita tertawa.

Sang Alkemis - Paolo Coelho

Ini adalah buku paling laris di planet bumi, saya heran bila Anda belum pernah membacanya. Penulisnya, Paolo Coelho (baca: Ëˆpawlu kuˈeÊŽu), seketika menjadi penulis paling laris gara-gara buku ini. Konon awalnya buku ini tidak dilirik sama sekali oleh khalayak luas, karena hanya diterbitkan oleh penerbit kecil di Brasil, negara asal Coelho.


Tema dari tulisan Coelho adalah pengembaraan spiritual seorang anak manusia. Di setiap bukunya selalu perenungan spiritual. Termasuk buku yang menghebohkan ini.


Sang Alkemis adalah dongeng modern, untuk membedakannya dengan dongeng klasik yang sering ditulis pengarang jaman dulu. Pada jaman dahulu di spanyol, hiduplah seorang anak gembala yang kutu buku bernama Santiago. Santiago sepanjang tahun menggembalakan domba-dombanya untuk kemudian dijual bulunya di desa terdekat.


Suatu saat Santiago tidur di bawah pohon sikamor dekat gereja tua. Dia bermimpi.Dalam mimpinya, dia disuruh pergi ke Mesir untuk menemukan harta karun di bawah piramida. Belakangan mimpi itu semakin sering datang.


Akhirnya dia memutuskan untuk menjual domba-dombanya dan pergi ke Mesir, meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya mencapai Mesir. Dia tak punya peta, hanya berbekal uang penjualan domba, menyeberang ke Afrika, benua yang tidak dikenalnya. Tanpa mengerti bahasanya juga. Dalam perjalanannya mencari harta karun di Mesir, dia menemukan bahaya, malapetaka, dan juga cinta. Dia juga bertemu dengan legenda dunia timur yang disebut dengan Sang Alkemis, orang bijak yang konon menguasai ilmu kimia dan bisa mengubah besi menjadi emas.


Di akhir cerita, sukses atau tidaknya dia menemukan harta karun sendiri tidak terlalu penting. Yang terpenting, yang ingin didongengkan Coelho, adalah perjalanan spiritual itu. Perjalanan ke Mesir telah mengisi sisi spiritual Santiago, telah mengubahnya hidupnya menjadi bermakna.


Sebuah dongeng yang indah dan --yang terpenting-- logis untuk digunakan sebagai motivasi kemanusiaan. Setiap orang adalah pemimpi. Semua orang pasti pernah bermimpi. Tapi yang membedakan mereka adalah, ada orang yang hanya bermimpi, ada orang yang berusaha untuk mewujudkan mimpinya dengan segala tenaga.


Dalam sebuah bab buku ini diceritakan mengenai Santiago yang sempat bekerja pada pedagang Arab. Cerita ini cukup pendek tapi menggambarkan bagaimana kita harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi kita. Pedagang Arab itu bercerita kepada Santiago bahwa sebagai orang Islam dia diwajibkan menjalankan 5 hal rukun Islam: Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan kemudian naik haji ke Mekkah. Pedagang itu sudah menjalankan yang empat pertama, dan dia bermimpi untuk menjalankan yang terakhir, naik haji ke Mekkah.


Pedagang itu mengumpulkan uang untuk naik haji, karena untuk pergi ke Mekkah yang jauh dia merasa perlu modal. Dia mulai berdagang. Makin lama dia makin sukses berdagang. Pelanggan berdatangan, dan dia semakin makmur. Kehidupannya menjadi lebih baik. Tapi dia tak kunjung pergi ke Mekkah, karena dia belum siap meninggalkan semua yang dia bangun untuk melakukan perjalanan yang berbahaya melewati padang pasir sejauh ribuan kilometer itu.


Pedagang Arab itu melihat tiap hari orang melewati tokonya, berjalan kaki jauh, bahkan ada orang sakit yang ditandu, hanya untuk melakukan perjalanan ke Mekkah. Mungkin ada yang berhasil mencapai Mekkah, mungkin ada yang gagal. Namun dia hanya melihat mereka, bukannya ikut dengan mereka. Hidupnya sudah makmur. Seharusnya sudah cukup untuk biaya perjalanan ke Mekkah. Tapi begitu kesuksesannya sebagai pedagang tercapai,dia sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan ribuan kilometer melewati padang pasir.


Mimpinya tetap hanya mimpi. Dia tidak mendapatkan apa yang diimpikannya sejak kecil. Dia menjalani kehidupannya yang tak berarti. Hanya menjalani hidup hari demi hari tanpa tujuan.

Minggu, 08 Agustus 2010

Of Mice And Men - John Steinbeck

John Steinbeck adalah peraih hadiah Nobel untuk kategori sastra. Of Mice And Men sendiri adalah karya klasik yang terbit pertama kali tahun 1932. Saya mendapatkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, lengkap dengan bonus kata pengantar dari Pramoedya Ananta Toer. Saya menyadari betapa berharganya buku kecil ini.


Buku ini bercerita tentang George dan Lennie yang mengembara untuk suatu mimpi. George adalah pria biasa yang bermimpi untuk mempunyai tanah dan peternakan sendiri. Lennie adalah orang berbadan besar dan kuat, tapi memiliki keterbelakangan mental. Obsesi dia hanya ingin memegang benda yang lembut, seperti bulu kelinci, atau rambut seseorang. Mereka melakukan perjalanan karena terpaksa. Sebelumnya mereka bekerja di sebuah peternakan, tapi kemudian mereka melarikan diri. Mereka dikejar-kejar penduduk, karena Lennie dituduh memperkosa seorang wanita, padahal yang ingin Lennie lakukan hanyalah memegang gaunnya yang lembut.


Setelah beberapa lama mereka melarikan diri, mereka bekerja di sebuah peternakan di Soledad, California. Candy, seorang pekerja peternakan bertangan satu, juga memiliki mimpi yang sama dengan George untuk memiliki tanah sendiri. Akhirnya mereka bertekad pada akhir bulan mereka akan membeli tanah sendiri dan tinggal bersama-sama.


Ternyata sesuatu terjadi sebelum mimpi itu terwujud. Lennie membunuh istri pemilik peternakan secara tidak sengaja. Dia hanya ingin memegang rambut istri pemilik peternakan yang lembut itu. Akhirnya George dan Lennie kembali melarikan diri. Pemilik peternakan mengumpulkan penduduk untuk mengejar dan menghukum mereka berdua.


Dalam pelarian, George bercerita bahwa dia masih bermimpi untuk memiliki tanahnya sendiri. Dalam hati dia menyadari bahwa apabila dia menginggalkan Lennie sendiri, maka dia tewas karena balas dendam yang menyakitkan dari pemilik peternakan dan penduduk. George akhirnya mengambil pistol, dan menembak sendiri Lennie di belakang kepalanya sampai tewas.


Saya terhenyak dengan plotnya. Buku ini bercerita tentang kesepian yang begitu terasa di udara. George berteman dengan Lennie yang terbelakang karena kesepian. Candy juga mengalami kesepian. Begitu pula istri pemilik peternakan, begitu kesepiannya walaupun telah memiliki suami, dia menggoda laki-laki yang ada di peternakan itu. Bahkan kota yang diceritakan dalam novel ini, "Soledad", berarti "sendiri".


Mereka adalah pinggiran-pinggiran peradaban yang tidak berdaya. George ingin memiliki tanah sendiri, tapi sampai akhir cerita dia tidak mendapatkannya. Lennie adalah pria yang sangat kuat, tapi malah dia memiliki keterbelakangan mental. Di balik mimpi-mimpi mereka, mereka tetap menjadi pelarian. Dan kematian cepat kadang menjadi solusi yang menarik untuk orang-orang tak berdaya. Ironis.

Insiden Anjing Di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran - Mark Haddon

Pertama kali saya menemukan buku ini saya terhenyak. Setelah selesai membacanya, saya terpana, tersenyum, dan terharu. Benar-benar buku yang luar biasa! Gaya penulisan yang tidak biasa. Setiap paragrafnya, meskipun terkesan enteng, pasti telah melalui riset yang terkontrol dan sangat terencana.


Buku ini berjudul asli The Curious Incident Of The Dog In The Night-Time ini ditulis oleh penulis piawai Mark Haddon, terbit edisi pertama di Inggris tahun 2003. Di tahun yang sama buku ini mendapatkan hadiah sastra Whitbread Award.


Pencerita dalam buku ini, si "Aku", adalah pengidap sindrom Asperger, sejenis autisme. Dia bernama Christopher Boone, berumur 15 tahun. Dia kesulitan untuk menunjukkan emosi, tidak menunjukkan perasaan, tidak suka menatap wajah orang, tidak suka warna kuning dan coklat, tidak suka disentuh, tidak memahami lelucon, tapi luar biasa pintar. Dia memiliki memori fotografis, sangat pintar matematika, mahir komputer, dan hapal bilangan prima sampai 7.507.


Alur dalam novel ini meloncat-loncat, seakan-akan ditulis sendiri oleh Boone. Setiap babnya tidak dinomori secara linear, melainkan berdasarkan bilangan prima. Di novel ini tidak bab 1. Bab di buku ini adalah 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, dan seterusnya.


Inilah kekuatan buku ini. Kita seakan dibawa melihat dunia melalui kacamata penyandang sindrom Asperger. Seakan kita sendiri adalah pengidap sindorm ini. Betapa frustasinya kita, mempunyai emosi tapi kesulitan untuk mengungkapkannya. Tema ini sebenarnya tidak baru. Sebelumnya tahun 1988 kita menonton film Rain Man, yang dibintangi oleh Dustin Hoffman dan Tom Cruise. Namun baru dalam buku ini, kita berada tepat di dalam kepala sang penderita autisme itu sendiri. Kita tidak melihat dari mata "Tom Cruise", kita melihat dari kacamata "Dustin Hoffman". Hasilnya seperti masuk ke perangkap luas yang menyesatkan. Atau seperti menaiki Roller Coaster.


Suatu tengah malam di rumah Nyonya Shears, Christopher Boone menemukan anjing Nyonya Shears tewas ditusuk dengan garpu tanaman. Boone berniat menyelidiki siapa yang membunuh anjing itu, dan kemudian menuliskannya sebagai buku cerita detektif. Seperti idolanya, Sherlock Holmes dalam novel tulisan Sir Arthur Conan Doyle. Akan tetapi dalam perjalanan penyelidikannya, dia menemukan kenyataan lain tentang kenyataan keluarganya yang pahit. Sampai akhirnya Boone yang belum pernah pergi lebih jauh dari jarak rumah dan sekolahnya (karena sindrom aspergernya yang membuat dia ketakutan akan hal-hal baru dan tempat-tempat baru), harus bertualang ke kota London.


Hasilnya adalah petualangan yang mengharukan, dan kadang menggelikan, kadang keduanya sekaligus. Dan ini kita dapatkan dari seorang yang tidak bisa senyum dan menangis.

A Thousand Splendid Suns - Khaled Hosseini

Ketika menemukan buku kedua dari Khaled Hosseini, harapan saya melambung. Tentunya saya akan menemukan buku yang lebih baik atau kurang lebih sama dari The Kite Runner yang fenomenal itu. Ternyata harapan saya tidak dipuaskan.


Saya membaca A Thousand Splendid Suns, buku kedua dari Khaled Hosseini. Ini termasuk buku yang perlu waktu yang lama bagi saya untuk menyelesaikan membacanya. Sama dengan The Kite Runner, A Thousand Splendid Suns berlatar belakang carut marut negara yang dilanda perang sipil tak berkesudahan, Afghanistan. Afghanistan negara yang sangat kompleks, secara sejarah tercatat sebagai tempat berkembangnya agama Budha. Negara ini terdiri dari puluhan etnis yang selalu saling curiga, dipengaruhi oleh budaya China, Arab, Persia, India, dan Rusia. Mereka menjadi pemeluk Islam yang kuat. Pengaruh Arab mendominasi negara itu, terutama dengan berkuasanya aliran wahabi garis keras yang bernama Taliban.


Novel ini menceritakan tragedi miris yang dialami perempuan yang disebabkan 2 hal: tradisionalisme dan fundamentalisme agama (Islam garis keras). Perempuan seakan menjadi obyek penindasan dan tak memiliki tempat dalam dunia tersebut.


Khaled Hosseini bercerita tentang 2 orang perempuan asli Afghanistan yang berbeda yang kemudian terjalin cerita satu sama lain. Perempuan pertama bernama Mariyam, seorang anak haram (dalam novel ini disebut Harami) dari seseorang kaya di Herat yang sudah memiliki terlalu banyak istri dan anak yang sah. Ketka ibunya bunuh diri, Mariyam menjadi beban ayah dan istri-istri yang lain. Akhirnya Mariyam yang baru berumur 15 tahun 'dibuang' dengan cara dinikahkan dengan dengan Rasheed, seorang duda tukang sepatu yang berumur 40 tahun. Mariyam mengutuk ayah yang sangat dicintainya yang telah tega membuangnya.


Mariyam dibawa oleh Rasheed ke Kabul. Disana awalnya Mariyam dimanjakan. Apalagi begitu tahu bahwa Mariyam hamil. Setelah Mariyam keguguran, Rasheed mulai berubah. Awalnya Mariyam menerima cercaan dan makian. Lama kelamaan dia dipukul, ditendang, dan disiksa secara fisik oleh Rasheed.


Perempuan kedua adalah seorang remaja bernama Laila. Dia memiliki sahabat, yang belakangan ternyata menjadi cinta sejatinya, bernama Tariq. Ayah Laila adalah mantan guru yang selalu mengingatkannya bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu dan bekerja. Laila dididik di sekolah yang dikuasai rezim revolusioner Uni Sovyet. Kedua kakaknya pergi bergabung dengan Mujahidin, untuk berperang mengusir Uni Sovyet dari Afghanistan. Ibunya depresi ketika kedua anak laki-lakinya itu tewas dalam perang.


Tahun 1992, saat Laila umur 16 tahun, Uni Sovyet kalah dan melarikan diri dari Kabul. Mujahidin menguasai kota dan tiap faksi saling berebut kekuasaan. Terjadilah perang saudara. Sesama mujahidin beda faksi saling menembakkan roket ke satu sama lain. Perang sipil ini menimbulkan luka yang mendalam, ketakutan, dan pengungsian. Tariq bersama keluarganya mengungsi Pakistan, meninggalkan Laila. Sebelum pergi, mereka mengadakan perpisahan berdua yang membuat Laila hamil.


Tak lama setelah Tariq pergi, rumah Laila terkena roket dari salah satu pihak yang bertikai. Ayah dan Ibunya tewas seketika. Laila sebatang kara. Dia ditolong oleh pasangan suami istri Rasheed dan Mariyam yang tidak bahagia. Mariyam merasa cemburu atas kehadiran Laila di rumah itu.


Ternyata Rasheed mengharapkan sesuatu. Dia ingin menikahi Laila supaya mendapat keturunan, dengan dalih Laila berhutang budi kepadanya. Laila bersedia menikah karena tahu dia hamil muda tanpa seorang ayah untuk bayinya. Apalagi setelah dia diberi kabar bahwa Tariq telah tewas di Pakistan. Rasheed sangat memanjakan Laila, tapi segera kecewa begitu tahu anaknya adalah perempuan. Akhirnya Laila juga menjadi obyek penyiksaan fisik Rasheed, membuat Mariam dan Laila senasib.


Mereka dipukul dan ditendang dan disiksa, tapi mereka tak kuasa untuk melawan. Pernah mereka coba untuk melarikan diri, tetapi pada masa Taliban, mereka ditangkap karena wanita tidak boleh berkeliaran di jalan tanpa muhrimnya.


Pada waktu berikutnya, Laila kembali hamil, kali ini benar-benar anak Rasheed. Aziza, anak pertama Laila, dibuang di panti asuhan. Anak keduanya seorang laki-laki bernama Zalmai. Sampai suatu saat Tariq yang ternyata masih hidup muncul kembali. Rasheed menghajar habis-habisan Laila dan Mariyam setelah mengetahui bahwa Laila secara diam-diam ketemu Tariq dibantu oleh Mariyam.


Tidak tahan lagi, akhirnya Mariyam membunuh Rasheed. Dia menyuruh Laila dan Tariq membawa anak-anaknya melarikan diri ke Pakistan. Mariyam ditangkap oleh Taliban, dan dihukum gantung.


Sepanjang buku, kita disuguhi penderitaan perempuan. Penyiksaan fisik yang tak kunjung reda. Penghinaan dan cacian. Ketidakadilan terhadap perempuan. Semuanya adalah tema penting yang diusung buku ini.


Akan tetapi berbeda dengan The Kite Runner, A Thousand Splendid Suns bukan novel yang lugas dan efektif. Kita melihat penyiksaan dan penyiksaan sampai pada akhirnya kita harus bilang pada sang penulis, "Oke Khaled, kami dapat poinnya."


Meskipun begitu, buku ini cukup menggugah. Tradisionalisme dan fundamentalisme agama selalu menjadi musuh perempuan. Dalil-dalil agama seringkali dibuat dasar untuk merendahkan perempuan. Tak perlu di Afghanistan, di Indonesia sini pun masih banyak kita lihat.