SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Selasa, 22 Maret 2011

Moby Dick - Herman Melville

Suatu saat, di sebuah toko buku di sebuah pertokoan di daerah Pejaten, Jakarta, saya menemukan buku-buku klasik berbahasa Inggris dengan harga hanya Rp 30.000 saja. Tentu saja saya merasa girang bukan kepalang. Semuanya dipatok dengan harga yang sama, baik buku Leo Tolstoy, Charles Dickens, William M. Thackeray, Jane Austen, maupun penulis besar lainnya. Tidak mau merasa rugi (meski kalau dipikir lagi, agak naif logika saya waktu itu), saya memilih buku yang paling tebal. Buku yang paling tebal disitu adalah Anna Karenina karya Leo Tolstoy, yang ternyata saya sudah punya dan baca edisi bahasa Indonesianya. Saya mencari yang paling tebal kedua setelah Anna Karenina, menemukan buku Moby Dick karya Herman Melville.

Sejak dulu saya ingin membaca buku ini, tapi belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku setebal itu tentunya saya bayangkan akan menemani saya dalam perjalanan yang sering saya lakukan, sehingga terasa lebih asyik, ringan, dan cepat. Lagipula, Moby Dick termasuk ke dalam 100 novel terbaik sepanjang masa, dimana saya mempunyai ambisi terpendam untuk membaca semuanya.

Ternyata belakangan saya merasa salah memilih buku. Buku Moby Dick sangat sulit dibaca, apalagi dengan kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Buku ini sangat aneh dan memiliki struktur yang asing. Belum pernah saya membaca buku seperti tulisan Herman Melville ini. Alhasil, saya menghabiskan waktu hampir dua bulan untuk menghabiskan dan mencernanya.

Harus diingat, saya hanya sempat membaca di perjalanan, baik di kereta listrik maupun di lobi bandara. Sehari mungkin hanya bisa membaca 5-10 halaman, ditambah dengan kesulitan bahasa Inggris saya, jadi kadang lebih lambat lagi saya membacanya. Kadang setelah membaca beberapa halaman, saya balik lagi, membaca ulang, demi memahami apa yang sebenarnya tersirat dari kata-kata penulisnya. Sekarang setelah selesai membacanya, buku ini sudah tidak berbentuk, kucel dan keriting. Alih-alih merasa asyik dan terhibur, saya selalu mengernyitkan dahi ketika dalam perjalanan sambil membaca buku ini. Berat sekali. Tapi tak apalah, kepuasan menyelesaikan sebuah buku sungguh tiada tara rasanya.

Buku Moby Dick menurut saya 10 kali lebih rumit dari The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Ditambah lagi kenyataan bahwa Herman Melville adalah seorang ahli bahasa Inggris dan pendalam filsafat. Buku ini sulit dimengerti, terutama juga karena Herman Melville sendiri tidak berusaha keras untuk dimengerti oleh pembacanya. Dia tidak mengharap sembarang orang bisa menikmati bukunya. Namun setelah selesai membacanya, saya menjadi mengerti bahwa kerumitan dari buku ini adalah sebuah berkah. Setelah lama membaca dan mempelajari, saya semakin mengagumi buku Moby Dick ini sebagai sebuah buku yang hebat dengan tema yang luar biasa. Buku ini bercerita tentang perburuan seekor ikan paus, sementara buku ini sendiri bisa dianggap sebuah karya 'ikan paus' dari segi kebesarannya.

Melville seakan sedang terlibat dalam sebuah proyek mahakarya yang menggambarkan segalanya dalam sebuah buku fiksi, dan dia berhasil. Hasilnya adalah buku setebal 469 halaman dengan 135 bab yang menggambarkan perburuan ikan paus putih yang dijuluki Moby Dick, dimana si Moby Dick itu sendiri hanya muncul pada tiga bab terakhir. Jelas ini bukanlah sebuah novel laga, karena ada 132 bab lain yang tidak terkait dengan pertempuran melawan Moby Dick. Anda yang bermaksud membacanya untuk mencari aksi laga pertempuran melawan ikan paus raksasa yang buas Moby Dick, sebaiknya melupakannya.

Novel ini dimulai dengan kalimat pembuka yang sangat terkenal, yaitu, "Call me Ishmael." Narator dalam novel ini adalah Ishmael. Dia adalah seorang anak muda (yang ternyata digambarkan sebagai orang yang mempunyai referensi luar biasa) yang ingin ikut dalam sebuah kapal pemburu ikan paus. Pada masa itu, abad 19, minyak ikan paus adalah sumber energi utama karena minyak fosil belum banyak digunakan. Dia berteman dengan seorang pagan barbar yang kanibal bernama Queequeg, seorang penembak harpoon. Berdua mereka bergabung dengan kapal Pequod, yang berangkat dari Nantucket, yang dikomandoi oleh kapten Ahab, seorang tiran yang obsesif.

Kapten Ahab mempunyai dendam membara untuk membunuh ikan paus putih raksasa yang dijuluki Moby Dick. Ahab hanya mempunyai satu kaki, karena dalam perburuan sebelumnya Moby Dick merampas sebelah kakinya. Dibakar oleh kesumat, dia mengarahkan semua kru kapalnya untuk mengejar Moby Dick sampai ke ujung dunia dan membunuhnya. Kapal Pequod tak akan kembali sebelum berhasil membunuh Moby Dick, meskipun pada akhirnya Pequod memang tak pernah kembali ke Nantucket.

Yang aneh dari novel ini adalah, bahwa sang narator, Ishmael, dalam buku ini semakin dalam semakin menghilang perannya. Buku ini lebih mirip sebuah jurnal daripada sebuah novel, menggambarkan catatan perjalanan kru pelaut. Tapi bukan hanya itu, buku ini juga kadang menjadi buku yang sangat ilmiah, dengan pembahasan Cetology (ilmu tentang ikan paus) yang rinci. Pada suatu titik tertentu, buku ini berubah menjadi panduan yang detail tentang bagaimana cara berlayar dan berburu ikan paus. Kadang secara tak terduga penulis membawa kita ke perdebatan filsafat yang dalam dan pembahasan agama dan mitos-mitos. Dalam beberapa bagian tertentu, seolah buku ini berubah menjadi drama Shakespearean. Bahkan buku ini juga dalam beberapa sudutnya berubah menjadi sebuah buku puisi.

Ini adalah proyek besar Melville, dimana dia menggabungkan fiksi, biologi, puisi, drama Shakespeare, perdebatan filosofi, dan panduan menangkap ikan dalam satu buku. Proyek sebesar ini memerlukan stamina luar biasa dan kekayaan referensi seluas lautan itu sendiri. Melville menulis seakan dia berada di kapal itu ikut berburu ikan paus. Tapi dalam waktu yang sama, dia juga menulis seolah dia sedang melakukan perenungan yang dalam di sebuah perpustakaan ilmu. Dia bisa menjadi keduanya dengan sangat magis.

Herman Melville tak pernah mendapatkan gelar sarjana. Dia menulis tentang perburuan ikan paus karena dia memang pernah menjadi kru sebuah kapal pemburu ikan paus selama 14 bulan. Tapi dia adalah pembaca yang luar biasa. Dia seorang otodidak. Dia mempelajari segalanya sendirian, dari hasil pengamatannya dan membaca buku yang sangat banyak. Dalam novel ini (tidak seperti novel lain yang melulu fiksi) dia mengutip dan menceritakan pemikiran banyak sumber. Bible, Shakespeare, Milton, Sir Thomas Browne, Jefferson, William Scoresby, Champollion, John Locke, Immanuel Kant, dan masih banyak lagi. Dia juga membuat terobosan baru dalam dunia intelektual, yaitu dalam bab 32 tentang cetology, dimana dia mengklasifikasikan ikan paus ke dalam 3 kelas, Ikan Paus Folio (terdiri dari Sperm Whale, Right Whale, Fin Back Whale, Hump-backed Whale, Razor Back Whale dan Sulphur Bottom Whale), Ikan Paus Octavo (terdiri dari Grampus, Black Fish, Narwhale, Trasher, dan Killer Whale), dan Ikan Paus Duodecimo (terdiri dari Lumba-Lumba Huzza, Lumba-Lumba Algerine, dan Lumba-Lumba Bermulut Penuh). Melville membahas mengenai anatomi seekor ikan paus, dari paru-parunya, matanya, semburannya (spout), ekornya, tulang belakangnya, dan semuanya secara detail. Seakan Melville sedang menerbitkan sebuah karya ilmiah dalam sebuah novel. Novel seperti ini, untuk itu, adalah novel besar yang aneh dan susah dikategorikan. Ini adalah potret sebuah kekayaan pemikiran.

Melville sendiri menghabiskan satu tahun untuk menulis buku ini. Anda bisa bayangkan betapa luasnya referensi Herman Melville, betapa banyak dia telah membaca buku filsafat, buku drama, buku puisi, buku agama, dan buku zoology. Sebuah energi yang dahsyat yang diperlukan Melville dalam menulis buku ini kalimat per kalimat. Seandainya dia hidup di jaman sekarang, dimana informasi dapat diperoleh dengan mudah memakai internet, mungkin dia akan menjadi raja pengetahuan.

Ini bukan buku yang mudah yang pernah saya baca. Bahkan untuk orang Amerika sendiri, buku ini sempat dianggap tidak berarti. Itu mengapa saya kira kita belum menemukan terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia. Buku ini terlalu susah untuk diterjemahkan, juga sulit dicerna oleh pembaca. Tapi saya beruntung telah membacanya. Setelah membaca buku ini, saya seperti telah melangkah melewati batas pemikiran yang selama ini ada sebagai konvensi. Sekali lagi, buku ini membuat saya kagum luar biasa. Saya telah membacanya. Seperti Yunus, saya membiarkan diri saya ditelan oleh ikan paus, dan kembali dengan selamat. Anda berani?

Senin, 21 Maret 2011

Cinta Yang Hilang - O. Henry

Ada saatnya, ketika masih belia, saya bermimpi untuk menjadi penulis cerita pendek (cerpen). Tapi hingga kini mimpi itu belum terjadi, dan hasrat untuk mewujudkannya juga semakin memudar. Yah, paling tidak saya pernah bermimpi.

Kala itu, saya mengidolakan O. Henry. Setiap penulis cerpen pasti menjadikan O. Henry pahlawan mereka, selain Chekov dan Kafka. Sejak duduk di bangku SMA, saya sudah terkagum-kagum membaca cerita pendek O. Henry di sebuah majalah remaja.

O. Henry mempunyai nama asli William Sydney Porter. Dia memakai nama pena karena dia mulai menulis ketika dia dipenjara karena sebuah dakwaan kriminal. O. Henry adalah master dalam penulisan cerpen. Ciri khas cerpennya adalah permainan-permainan kata yang cerdas, plot yang mengalir, dan ending yang mengejutkan. Begitu populernya O. Henry di Amerika Serikat, namanya diabadikan sebagai penghargaan untuk sastrawan-sastrawan terbaik, menjadi O. Henry Award.

Tak disangka, saya menemukan buku O. Henry kembali ketika sedang berada di sebuah toko buku di luar kota. Bukunya sangat tipis, berjudul Cinta Yang Hilang, terdiri dari tujuh cerpen terkenal dari O. Henry yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat cocok untuk menemani perjalanan, mengingat ringannya untuk dibawa, juga ceritanya yang tidak bersambungan. Namun dalam waktu hanya 5 jam untuk menghabiskannya (mungkin Anda malah bisa lebih cepat lagi).

Tapi ternyata saya merasa penerjemahannya kurang begitu layak. Bahkan mungkin buku ini terbit atas dasar pertimbangan ekonomi belaka. Satu buku hanya berisi tujuh cerita yang sebenarnya beberapa sudah pernah saya baca atau saya dengar ceritanya. Buku ini diberi judul Cinta Yang Hilang, berdasarkan judul cerpen pertama dalam buku ini. Akan tetapi, setelah disimak dengan teliti, tidak ada cerpen O. Henry yang berjudul 'Lost Love' atau yang diterjemahkan sebagai 'Cinta Yang Hilang'. Cerpen pertama dalam buku ini yang diberi judul Cinta Yang Hilang adalah terjemahan dari cerpen berjudul The Furnished Room. Terjemahan dari The Furnished Room mungkin kurang komersial dibandingkan dengan Cinta Yang Hilang.

Menerjemahkan judul, menurut saya, tidak bisa menggantinya dengan semena-mena. Judul adalah ruh dari sebuah karya tulis. Ini penerjemahan yang buruk. Seburuk menerjemahkan judul acara 'Bill Cosby Show' di TVRI jaman dahulu menjadi 'Keluarga Pak Huxtable'. 'Bill Cosby' adalah ruh dalam acara itu, adalah logika utama yang ingin disampaikan, bukan 'keluarga Huxtable'. Dalam puisi, penerjemahan judul seperti ini malah bisa berakibat fatal. Misalkan puisi Sitor Situmorang yang berjudul 'Malam Lebaran'. Puisinya hanya berisi satu baris: 'Bulan di atas kuburan'. Bila judulnya bukan lagi 'malam lebaran', maka keseluruhan 'bulan di atas kuburan' itu tidak akan berlaku. Demikian pula 'The Furnished Room', yang mengesankan sebuah kamar yang mistis, alih-alih sebuah cinta yang menye-menye.

O. Henry memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan novelnya dengan memberi kejutan. Apabila Anda berniat membacanya, sebaiknya Anda berhenti membaca review ini sampai disini, karena bila Anda teruskan, Anda akan kehilangan kesenangan membaca cerpen-cerpen ini. Mohon maaf.

The Furnished Room atau Cinta Yang Hilang bercerita mengenai seorang lelaki muda yang mengembara mencari kekasihnya yang pergi entah kemana. Kekasihnya adalah seorang penyanyi panggung yang berkulit cerah, berambut merah keemasan, bertahi lalat di alis kirinya, dan tinggal berpindah-pindah. Lelaki muda itu berpindah-pindah tempat, demi mencari kekasihnya, dan akhirnya menyewa sebuah kamar di lantai tiga di sebuah rumah. Dia bertanya kepada induk semangnya, apakah kekasihnya pernah tinggal disana. Induk semangnya bilang dia tidak pernah melihatnya. Lelaki muda itu tinggal di kamar lantai tiga dan membayangkan bahwa wanita yang dicintainya pernah tinggal disitu. Akhirnya dia membunuh dirinya di dalam kamar itu dengan membuka keran gas. Pada waktu yang sama induk semangnya sedang mengobrol dengan orang lain tentang rahasia seorang wanita bertahi lalat di alis kirinya yang bunuh diri di kamar lantai tiga seminggu sebelumnya.

The Gift of The Magi, atau dalam buku ini diganti menjadi Hadiah Kejutan, adalah cerpen paling populer dari O. Henry. Cerpen ini sering sekali diceritakan kembali, diadaptasi, diubah, dan diterjemahkan. Saya sendiri sudah membacanya sejak dulu, tapi pangling karena diberi judul Hadiah Kejutan. Cerpen ini bercerita tentang Della yang ingin memberikan hadiah natal istimewa untuk suaminya James, meskipun uang tabungannya pas-pasan. Akhirnya dia memutuskan untuk menjual rambutnya yang indah menjuntai untuk mendapatkan uang untuk membeli hadiah istimewa untuk suaminya, James. Uang hasil penjualan rambutnya dia belikan rantai emas untuk jam suaminya yang sangat dibanggakan. Dia ingin memberikan kejutan untuk suaminya. Begitu pulang, suaminya terkaget-kaget karena rambut indah Della sudah tiada. Della menyatakan bahwa dia mengorbankan rambutnya agar bisa memberikan hadiah natal istimewa untuk James, yaitu sebuah rantai emas untuk jamnya. James memberikan kabar lebih mengagetkan lagi, bahwa dia telah menjual jam kebanggaannya untuk membelikan hadiah natal istimewa untuk Della, yaitu satu set jepit rambut mewah.

Bukti Cerita atau judul aslinya Proof of The Pudding bercerita tentang redaktur sukses sebuah majalah bernama Westbrook. Ketika sedang berjalan-jalan di taman, dia didekati oleh seorang lusuh yang meminta waktunya sebentar untuk berbicara. Orang yang lusuh itu ternyata teman lamanya, Shackleford Dawe. Dawe adalah seorang penulis fiksi gagal. Ketika masih makmur, mereka berteman baik, begitu pula istri masing-masing. Sekarang tidak ada orang yang menerima tulisannya, bahkan temannya sendiri, redaktur Westbrook. Dia mempertanyakan kenapa tulisan terakhirnya ditolak oleh Westbrook. Westbrook menganggap karyanya tidak sesuai dengan kaidah sastra. Westbrook menganggap karya yang bagus adalah karya yang dramatis. Dawe menolaknya, dengan mengatakan bahwa di kehidupan nyata, orang akan melupakan drama. Mereka berdebat. Akhirnya Dawe mempunyai ide untuk membuktikan teorinya. Walaupun segan, Westbrook setuju untuk ikut serta. Dawe berencana untuk menulis surat perpisahan kepada istrinya, dengan menyatakan bahwa dia menemukan jodoh yang baru. Mereka berniat bersembunyi untuk melihat reaksi istrinya pertama kali membaca surat bohongan itu. Begitu mereka berdua sampai rumah Dawe, sebelum sempat menulis surat bohongan, mereka menemukan sebuah surat dari istri Dawe. Dalam suratnya, Istri Dawe pamit meninggalkan Dawe karena tak tahan hidup dengannya. Dia juga mengajak istri Westbrook yang juga tidak betah, dan mencoba mengejar mimpi berdua dalam dunia pertunjukan.

Cerita keempat adalah Strictly Business, atau diterjemahkan menjadi Semata-mata Bisnis. Hart adalah seorang aktor yang serius. Dia juga mencoba menulis sebuah skenario. Suatu saat dia melihat sebuah pertunjukan dan terpesona dengan akting aktris tak terkenal bernama Cherry. Hart mendekati Cherry untuk mengajaknya bermain dalam drama tulisan skenario Hart. Hart serius dengan rencananya, ternyata Cherry juga serius. Mereka sangat ambisius, sehingga mereka mempunyai rencana-rencana bisnis tertentu. Mereka dikenal sebagai Hart & Cherry, dengan drama tulisan mereka berjudul Mice Will Play. Drama itu sukses besar, sampai bertahun-tahun selalu mendapat review yang bagus. Suatu saat dalam pertunjukan di New York, terjadi kecelakaan. Secara tak sengaja Cherry menembakkan pistol ke Hart di tengah pertunjukan. Hart terluka, tapi dia merasa tidak apa-apa. Seorang rekan Hart bercerita bahwa Cherry menangis meraung-raung ketika Hart terluka. Itu adalah bukti bahwa Cherry sebenarnya mencintai Hart. Hart bilang, sudah terlambat untuk cinta, karena mereka sebenarnya sudah resmi menikah sejak dua tahun yang lalu.

Cerita kelima berjudul Kenyataan Adalah Sandiwara, diterjemahkan dari The Thing's The Play. Ini adalah cerita favorit saya dalam buku ini. Frank dan John adalah sepasang teman, namun mereka memperebutkan cinta dari orang yang sama, Helen. Ketika Helen yang seorang gadis cantik tiada tara itu memilih Frank sebagai suaminya, John menjabat tangan Frank. Namun pada hari pernikahan mereka, John tiba-tiba masuk ke kamar ketika Helen sendirian. Dia memohon agar Helen meninggalkan Frank. Helen menolak, namun John tetap mencium-cium tangan Helen. Tiba-tiba Frank masuk ke dalam kamar, mendapati John mencium tangan Helen. John loncat keluar jendela, melarikan diri. Frank pun marah karena cemburu. Frank pergi keluar rumah dengan kesal. Selama 20 tahun, Helen menunggu Frank yang tidak pulang-pulang. Dia menolak pinangan banyak orang karena tetap setia pada Frank, walaupun dirinya sendiri sudah menua. Suatu saat dia menyewakan kamar di rumahnya kepada seorang pemain biola bernama Ramonti. Ramonti tertarik kepada Helen dan dia mengungkapkan perasaan cintanya kepada Helen. Ramonti mengungkapkan masa lalunya, bahwa Ramonti adalah nama buatan manajernya. Dia sendiri tidak ingat kehidupannya yang dulu, karena ditemukan orang tergeletak di pinggir jalan, pingsan dengan kepala berdarah. Karena lupa akan masa lalunya, dia mengejar masa depannya dengan nama Ramonti dengan belajar biola dan berkelana ke Paris. Helen sangat tertarik kepada Ramonti, akan tetapi dia bilang tidak bisa mencintainya, karena Helen bilang bahwa dia sudah punya suami, walau pergi entah kemana selama 20 tahun. Ramonti segera berlalu kembali ke kamarnya. Tiba-tiba muncul lelaki asing di depan Helen. Laki-laki itu minta maaf karena telah membuat perkawinan Helen berantakan dulu. Helen tidak mengenalnya, ternyata laki-laki itu adalah John. John mengaku bahwa setelah dia melarikan diri dari kamar Helen 20 tahun lalu, dia mencegat Frank karena cemburu. John memukul kepala Frank sehingga pingsan dan berdarah. Selanjutnya dia melihat orang lain membawa Frank ke rumah sakit, 20 tahun yang lalu.

Cerita keenam berjudul Perempuan dan Suap Menyuap, atau terjemahan dari The Girl and The Graft. Cerita ini adalah tentang seorang bernama Vaucross yang ingin terkenal di kalangan masyarakat di New York. Dia telah mencoba apapun, tetapi tetap belum berhasil. Dia meminta bantuan seorang licik bernama Ferguson Pogue. Pogue menyiapkan sebuah skandal untuk Vaucross yang akan membuat dia terkenal. Vaucross setuju untuk melakukannya. Pogue merencanakan bahwa dia harus medekati seorang wanita, yang sudah disiapkannya, bernama Artemisia Blyte. Sesudah Artemisia dan Vaucross (pura-puranya) berhubungan, Vaucros akan (pura-puranya) memutuskan Artemisia. Setelah itu, Pogue merencanakan bahwa Artemisia akan (pura-puranya) menuntut Vaucross ratusan ribu dolar, dan hal itu akan membuat Vaucross terkenal. Tak disangka-sangka, ternyata Vaucross dan Artemisia sama-sama jatuh cinta, dan mereka (benar-benar) memutuskan untuk hidup bersama.

Judul terakhir adalah Demi Cinta, atau dari versi bahasa Inggris A Service of Love. Joe, seorang seniman lukis bertemu dengan Delia, seorang penyanyi. Mereka berdua adalah seniman dan mencintai seni, yang satu seni musik, yang lain seni lukis. Mereka akhirnya menikah. Joe kuliah seni rupa dan Delia kuliah seni musik. Akan tetapi dalam perjalanannya, mereka sering kekurangan uang. Masing-masing tak ingin pasangannya putus kuliah karena biaya. Suatu saat Delia bilang Joe bahwa dia sudah memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan seni musik, yaitu memberi pelajaran menyanyi privat pada anak seorang jenderal. Dia membawa pulang uangnya dan diberikan kepada Joe. Pada saat yang lain, Joe pulang membawa uang yang menurutnya hasil penjualan lukisannya. Akhirnya pada suatu hari, Delia pulang ke rumah dengan tangan yang luka bakar. Dia beralasan bahwa itu terluka kena panggangan ketika anak sang jenderal memanggang kelinci. Joe tidak percaya cerita itu. Akhirnya Delia mengaku bahwa selama ini dia hanya bekerja sebagai tukang setrika di sebuah binatu. Tangannya terluka karena terkena setrika. Ternyata Joe tahu kebohongan Delia, karena Joe juga tidak pernah menjual lukisannya. Diam-diam Joe kerja sebagai operator mesin di Binatu yang sama, dan hari itu dia mendengar ada kecelakaan tangan pada seorang tukang setrika. Akhirnya mereka gembira karena saling jujur.

Membaca O. Henry sangat mengasyikkan. O. Henry adalah pencerita yang ulung, dimana kata-kata mengalir secara pandai. Pada akhirnya, kita terkagum-kagum akan ending dari ceritanya. Kita akan bertanya-tanya, darimana dia mendapatkan bakat seperti itu. Ada ironi yang mencekat seperti dalam The Furnished Room, maupun humor yang cerdas seperti dalam Proof of The Pudding. O Henry seperti seorang pesulap, yang memasukkan sapu tangan ke dalam sebuah topi, memantrai topi itu, alih-alih malah mengeluarkan kelinci hidup dari topi itu. Karya-karyanya magis.