SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Sabtu, 04 September 2010

The Name Of The Rose - Umberto Eco

Sartre pernah bercerita, waktu kecil dia sedang bermain di perpustakaan kakeknya. Dia bermain di antara buku-buku. Tapi buku-buku itu tetap diam.Kalimat-kalimat dalam buku itu tidak kunjung membuka rahasia dirinya.


Bagaimana membuka rahasia kalimat-kalimat itu? Dengan membacanya. Pembaca adalah pemegang kunci agar kata-kata dalam buku itu bisa tercipta menjadi realitas. Membaca adalah proses penciptaan ulang. Setiap teks adalah terbuka, dan pembaca melakukan interpretasi ulang, dan menciptakan dunia sendiri. Tidak terlalu penting apakah dunia yang diciptakan sama dengan dunia yang diciptakan oleh si penulis.


Inilah yang disebut dengan teori respon pembaca. Pengarang sudah tidak memiliki otoritas lagi terhadap benak pembaca. Pembaca memiliki kebebasan interpretasi atas teks yang dibacanya. Ini adalah sebuah teori yang post-modernist. Interpretasi tentang kebenaran dan makna adalah hal yang relatif.


Novel The Name Of The Rose juga merupakan sebuah argumen dari post-modernism, ala Umberto Eco. Kita semua tahu, Umberto Eco adalah sejarawan abad pertengahan yang piawai dalam semiotika dan pemikir post-modernism yang terkemuka.


Novel ini adalah sebuah cerita detektif. Terjadi serangkaian pembunuhan misterius yang harus diungkapkan. Eco menggambarkan bahwa interpretasi teks bisa menemukan makna dan kebenaran baru, sehingga mampu dijadikan alat untuk menemukan sang pembunuh.


Tersebutlah seorang Adso dari Melk yang menjadi cantrik dari seorang biarawan fransiskan yang cerdas bernama William dari Baskerville di abad pertengahan. Dia bercerita bahwa suatu hari mereka tiba di sebuah biara katolik, dimana terjadi pembunuhan-pembunuhan misterius yang keji. William dengan dibantu oleh Adso diberi tugas oleh abas dari biara tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Belakangan terungkap petunjuk bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan perpustakaan biara dan sebuah buku yang terlarang.


Dalam sejarah seperti diungkapkan sendiri oleh Eco dalam kata penutup, memang benar ada tokoh biarawan fransiskan terkenal bernama William of Ockham. Dia dikenal sebagai penganjur rasionalitas dalam iman katolik. Dan Eco memakai nama William of Baskerville, disengaja sebagai perwujudan Sherlock Holmes abad pertengahan. Ingat buku Sir Arthur Conan Doyle "The Hound of Baskervilles"? Nama Adso juga dekat pengucapannya dengan Watson, asisten Sherlock Holmes.


Banyak kemunculan teks lain dalam buku ini, sepertinya memang disengaja oleh Umberto Eco. Eco sengaja mengambil tokoh-tokoh, teks, kesamaan sejarah. Ini sesuai dengan semangat post-modernism, yaitu intertekstualitas. Menurut para pemikir post-modernist, sebuah teks selalu merujuk kepada teks-teks lain, bukannya kebenaran hakiki. Seperti yang dikatakan William of Baskerville dalam buku ini, "Buku selalu membicarakan buku-buku yang lain, dan setiap cerita selalu menceritakan cerita yang sudah pernah diceritakan sebelumnya."


Untuk sebuah novel dari seorang pemikir "berat", novel ini cukup enak dibaca dan menghibur. Untuk Anda yang menyukai wawasan pengetahuan, buku ini cukup menghilangkan dahaga dengan sejarah pemikiran yang sangat luas dan detail. Untuk Anda yang lain, yang suka berpikir tentang filsafat arkeologi pengetahuan dan ilmu sampai kepala botak, silakan dikupas habis buku ini paragraf demi paragraf dan Anda bisa mendiskusikannya berhari-hari.


Hal tersebut menjadikan buku ini sebagai sebuah masterpiece. Umberto Eco adalah sejarawan yang detail, filsuf yang dalam, sekaligus pencerita yang menarik, yang membuat kita tekun mendengarkan seperti seorang anak TK duduk mendengarkan fabel dari gurunya.


Seperti layaknya sebuah buku post-modernist sejati, akhir dari buku ini adalah ketidakpastian (relativitas). Juga kaya intertekstualitas seperti yang saya sebut di atas. Sarat wacana dekonstruksi seperti diskusi tentang silogisme dari William dan pencarian yang asyik akan petunjuk-petunjuk detektif. Juga pertanyaan-pertanyaan penting tentang makna dalam bahasa dan simbol.


Eco sendiri bercerita dalam kata penutup buku ini, mengapa novel ini diberi judul "The Name Of The Rose" (Nama dari Mawar). Dia bilang, karena mawar adalah figur simbolis yang telah memiliki begitu banyak arti, sampai akhirnya sekarang hampir tidak ada arti yang tersisa. Mungkin bahasa adalah penindasan, seperti kita diingatkan oleh Foucault. Seperti Sutardji yang pernah bertanya, sejak kapan sungai disebut "sungai". Bagi orang lain, dia adalah "kali", atau bahkan "river".


Seperti berharap tanpa makna, Anda sebaiknya membaca buku ini tanpa perlu menjadi pribadi yang njlimet. Anda bebas menciptakan dunia makna sendiri. Umberto Eco adalah Umberto Eco, Anda adalah Anda. Lagipula, agak aneh membicarakan post-modernism dengan latar belakang abad pertengahan, iya kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar