SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Selasa, 14 September 2010

Les Misérables - Victor Hugo

Oke, saya memang menonton filmnya lebih dulu. Tapi justru dari film itulah perkenalan saya dengan literatur klasik legendaris ini. Saya bersyukur pernah menonton film itu. Saya suka filmnya, saya terpaku dengan akting Liam Neeson, Geoffry Rush dan Uma Thurman, tergila-gila oleh logika plotnya. Ketertarikan saya semakin bertambah setelah menonton film serupa berbahasa Prancis yang dibintangi Jean Paul Belmondo. Setelah itu saya bertekad untuk memburu bukunya karena penasaran.


Ternyata bukunya jauh lebih luar biasa. Ada beberapa perbedaan antara buku yang terbit pertama tahun 1862 ini dengan filmnya, justru ini membuat saya apresiatif terhadap keduanya sebagai karya bermutu. Memang, tidak mungkin memasukkan novel setebal 690 halaman (dengan ukuran font yang sangat kecil, konon edisi bahasa Prancisnya bahkan tebal lebih dari 1.500 halaman) ke dalam film berdurasi 2 jam, untuk itu beberapa perubahan memang diperlukan. Dengan membaca bukunya, kita lebih bebas mengapresiasi, tanpa sesak napas terbatasi frame yang selalu menghimpit ketat.


Buku ini adalah magnum opus dari sastra Prancis abad 19. Victor Hugo adalah pengusung romantisme dalam sastra. Dalam romantisme, segalanya begitu agung, begitu emosional. Tak memulu hitam-putih, tapi sangat menjunjung tinggi pencarian kebenaran dan nilai-nilai kebajikan. Juga cinta dan kasih sayang bisa begitu dalam sampai menusuk ke tulang.


Les Miserables berarti orang-orang yang malang atau orang-orang yang mengiba. Oleh karena itu, sepanjang cerita dalam novel ini adalah tentang orang-orang yang tidak beruntung dalam peradaban, orang-orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat, orang-orang yang bergulat dalam kemiskinan struktural. Tapi dibalut dengan semangat romantisme tadi, kemalangan dan keibaan adalah jalan menuju kejujuran dan kebajikan sejati, meskipun pada akhirnya tetap kalah dan terpinggirkan.


Begitu panjangnya novel ini, konflik di dalamnya adalah konflik yang berlapis-lapis. Seakan tak cukup membuka lapis pertama, kita terus membuka lapis kedua, ketiga, dan selanjutnya. Pelajaran hidup dalam novel ini begitu lengkap, dari luar maupun dari dalam sekali. Membaca novel ini serasa lari marathon 42 kilometer. Tidak terbayang betapa luar biasa stamina Victor Hugo dalam menulis buku ini.


Novel ini bercerita tentang seseorang bernama Jean Valjean, seorang mantan narapidana yang dihukum kerja paksa selama 19 tahun karena mencuri roti untuk keluarganya yang kelaparan. Jean Valjean menjadi seseorang yang menegakkan kebajikan tanpa lelah, meskipun dirundung kemalangan dan kesulitan hidup. Jean Valjean meninggalkan dendam kesumatnya terhadap semua hal yang menentangnya dan membantu setiap orang tanpa pamrih. Valjean mengubah pandangan hidupnya yang skeptis berkat pelajaran hidup dari Uskup Myriel, yang membantunya lepas dari penjara meskipun Valjean telah mencuri di rumah sang Uskup.


Sejak itu Jean Valjean selalu berbuat baik tanpa pamrih kepada siapapun, meskipun disakiti orang. Ini serupa dengan etika Kristen yang "bila ditampar pipi kanan, memberikan pipi kirinya juga". Mungkin naif. Tapi begitulah Jean Valjean, memutuskan untuk menjadi naif, bahwa kebaikan tak ada batasnya. Naif tapi agung, itulah romantisme.


Ini adalah cerita mengenai Jean Valjean yang berusaha menegakkan kebajikan yang tulus, tapi masa lalunya selalu menjadi petaka baginya. Jean Valjean akhirnya menjadi walikota di sebuah kota, meninggalkan identitas masa lalunya sebagai mantan narapidana, mengganti namanya menjadi Monsieur Madelaine. Disana dia bertambah kaya dengan berhasil memiliki sebuah pabrik. Dia menolong seorang buruh pabrik yang miskin bernama Fantine yang terpaksa menjadi pelacur dan akhirnya meninggal karena TBC. Fantine memiliki anak haram bernama Cosette yang dititipkan kepada keluarga Thenardier yang mata duitan.


Kemalangan kemudian datang pada Valjean atau Monsieur Madelaine. Seorang inspektur polisi baru yang ambisius dan terobsesi untuk menegakkan hukum mengenali walikota baru itu sebagai mantan narapidana. Adalah melanggar hukum bagi seorang mantan narapidana mengubah identitas dan menjadi pejabat pemerintah. Setelah ketahuan kedoknya, Valjean melarikan diri ke Paris setelah sebelumnya menebus Cosette dan disana membesarkan Cosette sebagai anaknya sendiri.


Javert terus memburu Jean Valjean, melacaknya, dan kehilangan lagi. Ini menjadi obsesinya seumur hidup. Pada saat Javert mendapatkan kesulitan yang mengancam nyawanya karena mengejar Valjean, Valjean malah menolongnya. Hal ini yang membuat Javert berhutang nyawa terhadap Valjean, dan Javert tidak menyukai hal ini. Nurani Javert berperang melawan dirinya sendiri.


Begitu kaya karakterisasi dalam novel ini, kita serasa membaca 10 novel sekaligus. Tokoh utamanya tentu saja Jean Valjean, sang protagonis yang gigih. Fantine, wanita yang dikutuk karena melahirkan Cosette di luar nikah dan akhirnya dipecat sebagai buruh pabrik. Dia kemudian terpaksa menjadi pelacur yang kerap disiksa dan mendapat penyakit. Begitu miskinnya, Fantine sampai harus menjual rambut dan giginya untuk membiayai hidupnya dan mengirim uang untuk anaknya.


Cosette dibesarkan dalam keluarga Thenadier sebagai pembantu rumah tangga yang disia-siakan dan sering disiksa, sebelum ditebus Valjean. Thenardier adalah salah satu veteran perang Waterloo yang bankrut setelah menjalani bisnis penginapan dan akhirnya menjadi perampok di jalanan Paris. Gavroche, anak jalanan di Paris, adalah anak kandung Thenardier yang tidak terurus, yang akhirnya menjadi pahlawan anti monarki dan tewas ditembak tentara dalam peristiwa terkenal yaitu Pemberontakan Juni di Paris tahun 1832. 


Mereka adalah "Les Miserables". Negara tak pernah berpihak kepada mereka. Novel ini masih sangat aktual, meskipun satu abad lebih telah berlalu. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil. Novel ini juga cukup berharga sebagai sebuah novel historis. 


Menurut saya buku ini adalah novel paling luar biasa yang pernah saya baca. Begitu panjang, begitu luas, begitu lengkap, dan begitu dalam. Membuat saya terbawa secara emosional luar dalam, dan akhirnya di akhir buku saya benar-benar menangis. Ini pertama kalinya saya menangis dalam membaca buku, saya tak bisa menahannya.


Layaknya sebuah lari marathon, Victor Hugo tahu benar kapan harus berlari pelan, kapan harus sprint, kapan harus minum air, dan betapa luar biasanya pencapaian garis finish. Sangat intens. Sangat melelahkan. Tapi memang begitulah kehidupan.

1 komentar:

  1. sama,,sy juga baru menonton filmnya dan sedang mencari novelnya (dgn asumsi novelnya pasti lebih keren:). dari pendapat anda mengenai novel, hunting novel les miserables jd daftar no.1..thx

    BalasHapus