SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Sabtu, 13 Agustus 2011

The Medici Dagger - Cameron West

Suatu saat saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Bekasi, dalam rangka memenuhi janji rapat dengan beberapa orang. Selesai rapat, saya sempatkan berjalan-jalan berkeliling tempat perbelanjaan yang cukup lengang itu. Mata saya sempat tergoda oleh sebuah counter yang menjual gorengan. Saya berpikir dua kali untuk membeli gorengan, karena terpikir kolesterol, sehingga uangnya bisa dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat. Ternyata di seberangnya ada bazaar buku murah. Mungkin sebaiknya alokasi dana untuk gorengan di realokasi ke buku murah.

Saya tidak menemukan buku yang ingin dibeli, kecuali buku ini, The Medici Dagger. Buku tulisan Cameron West ini dijual lebih murah dari harga gorengan, mungkin karena tidak laku. Abstraknya cukup menjanjikan, seakan buku ini adalah masuk genre The Da Vinci Code.

Ternyata saya tidak menemukan apa yang saya cari dalam sebuah buku. Buku ini tidak memberikan apa-apa untuk saya. Dalam beberapa hari saya membacanya, semuanya datar, tak menemukan logika apapun yang membuat cerah hati dan pikiran. Saya tidak menyangka, karena Cameron West pernah terkenal dengan buku memoirnya yang menghebohkan yang berjudul First Person Plural, yang mengklaim bahwa dia memiliki kepribadian ganda. Buku ini lebih heboh dari Sybil, karena diceritakan oleh penderitanya sendiri.

The Medici Dagger adalah novel pop laga biasa ternyata. The Medici Dagger mempunyai plot sangat khas Hollywood yang aneh. Semuanya serba kebetulan dan diselesaikan dengan cara jagoan. Apabila buku ini diangkat ke layar lebar (yang saya yakin itu memang tujuan penulisnya, terutama terlihat dari ucapan terima kasih penulisnya yang agak "menjilat" kepada Tom Cruise), saya yakin filmnya pun hanya menjadi film laga rating B.

Dalam buku ini dikisahkan seorang stuntman Hollywood yang jagoan bernama Reb Barnett yang dihantui oleh kematian ibu dan ayahnya yang seorang sejarawan terpandang. Ayah dan ibunya tewas terbunuh ketika Reb masih anak-anak, karena mengejar artifak yang diperebutkan kalangan kejahatan internasional, yaitu belati Medici. Belati Medici disebutkan sebagai ciptaan Leonardo Da Vinci paling berbahaya, terbuat dari logam yang tidak bisa dihancurkan namun sangat ringan. Da Vinci memutuskan untuk menyembunyikannya di abad ke-15 karena takut ciptaannya akan digunakan untuk kejahatan.

Entah kenapa, ketika Reb dewasa sudah kehilangan kesan akan artifak yang diburu mendiang ayahnya tersebut, dia tiba-tiba mendapat telepon yang memberi informasi tentang pembunuh ayahnya yang berada di Italia. Reb memutuskan untuk mencari tahu dan mengejar pembunuh ayahnya ke Venesia, Italia. Di sana dia bertemu seorang wanita asli New York yang bekerja sebagai kurator museum sejarah, bernama Antonia Gianelli, yang selalu Reb panggil "Ginny". Berdua mereka menjadi sasaran pengejaran Nolo Tecci, pembunuh ayahnya, dan gembong senjata internasional bernama Werner Krell. Juga mereka terlibat dalam kejar-kejaran dengan badan rahasia multinasional, lebih rahasia daripada CIA, bernama Gibraltar. Di akhir cerita, bisa ditebak, bahwa mereka menemukan belati Medici yang disembunyikan ratusan tahun oleh Leonardo Da Vinci.

Saya tidak bisa begitu menikmati buku ini, bahkan untuk sekadar sebagai hiburan. Saya sudah membaca The Da Vinci Code, yang walaupun menurut saya ditulis agak sembrono, namun cukup menarik. The Da Vinci Code adalah novel dengan genre thriller untuk mengungkap konspirasi internasional. The Medici Dagger berada di kaliber yang lebih rendah daripada The Da Vinci Code, apabila dibandingkan. Apalagi beberapa minggu sebelumnya, saya baru membaca buku 'raksasa' Foucault's Pendulum karya Umberto Eco. Setelah membaca Foucault's Pendulum, membaca The Medici Dagger seakan seperti makan permen kapas harum manis setelah minum segelas bir.

Akhirnya saya kembali memikirkan counter yang menjual gorengan di pusat perbelanjaan itu. Hmm, harum baunya masih terasa sampai sekarang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar