SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Kamis, 02 Agustus 2012

Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer diasingkan di Pulau Buru, Maluku, selama 10 tahun, dari 1969 sampai 1979. Disana dia tetap menulis dan menulis, karena menurut dia, itulah tanggung jawab dia sebagai orang Indonesia. Dia menulis tanpa sepengetahuan petugas, karena apabila ketahuan, pasti akan dimusnahkan. Segala macam sarana menulis dia gunakan seadanya, bahkan selembar kertas bekas pun jadi.

Selama 10 tahun di Pulau Buru itu dia menelurkan tetralogi yang sangat mahsyur, yaitu Tetralogi Bumi Manusia, terdiri dari roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tapi tak banyak orang tahu bahwa dia juga membuat tetralogi yang lain, tetralogi sejarah bangsa ini pada abad pertengahan, yang juga merupakan karya besar. Tetralogi itu terdiri dari roman Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir. Mata Pusaran sudah hilang dirampas oleh petugas dan kemungkinan tidak akan ditemukan lagi selama-lamanya. Ini adalah kehilangan yang cukup besar akan karya dari seorang maestro, atas nama stabilitas politik.

Tidak seperti buku Pramoedya yang lain yang selalu dilarang terbit oleh Jaksa Agung, Arok Dedes terbit pertama kali tahun 1999, setelah orde baru runtuh. Jadi buku ini tidak banyak menimbulkan kontroversi karena pelarangannya itu sendiri. Harus diakui, semakin buku itu dilarang, semakin penasaran orang dibuatnya.

Arok Dedes adalah penulisan sejarah yang dibalut novel. Sejak kecil, saya telah dikenalkan kepada cerita tentang Ken Arok yang sama sekali transendental dan penuh mitos. Penulisan sejarah tentang Ken Arok maupun Kerajaan Singasari yang bahkan kemungkinan sama sekali bias, malah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sejarah bangsa ini.

Saya tumbuh dengan cerita-cerita tersebut, karena memang awal mula Kerajaan Singasari tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal. Diceritakan dalam cerita rakyat yang saya dengar sejak kecil, bahwa Ken Arok adalah anak dari hubungan gelap antara Dewa Brahma dan seorang perempuan desa. Oleh ibunya yang tidak menghendaki kelahirannya, Ken Arok dibuang, dan kemudian dipelihara oleh seorang penjudi yang bernama Bango Samparan. Ken Arok akhirnya menjadi perampok  yang ditakuti di wilayah kerajaan Kediri. Ken Arok kemudian bertemu dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang kemudian menjadi gurunya.

Lohgawe kemudian mengatur Arok agar menjadi prajurit di Pekuwuan (setara dengan Kecamatan) Tumapel yang dipimpin oleh Tunggul Ametung. Arok tertarik dengan istri Tunggul Ametung, Ken Dedes yang cantik, yang diramalkan oleh Lohgawe akan melahirkan keturunan raja-raja di Jawa. Arok meminta bantuan Mpu Gandring, seorang pembuat keris, untuk dibuatkan keris pusaka yang akan dipakainya membunuh Tunggul Ametung kelak. Karena tidak sabar kerisnya belum selesai juga, Arok marah kepada Mpu Gandring dan kemudian membunuhnya dengan keris yang setengah jadi. Sebelum mati, Mpu Gandring mengutuk Ken Arok, bahwa keris itu juga akan membunuh Ken Arok dan tujuh keturunannya.

Setelah mendapatkan keris tersebut, Ken Arok mulai menjalankan rencananya menggulingkan Tunggul Ametung. Pertama-tama, dia meminjamkan keris pusakanya ke Kebo Ijo, sesama prajurit Tumapel. Kebo Ijo memamerkan keris pusaka itu di seluruh Tumapel, sehingga semua orang mengenal keris itu sebagai milik Kebo Ijo. Suatu malam, Ken Arok mengambil keris itu dan menusuk Tunggul Ametung di kamar tidurnya. Akhirnya Kebo Ijo dipersalahkan atas kematian Tunggul Ametung dan Ken Arok menjadi Akuwu baru. Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, meskipun dia sedang hamil anak Tungul Ametung. Setelah berkuasa, Ken Arok menyerang Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Tumapel, yang kemudian berubah nama menjadi Singasari. Kelak Ken Arok akhirnya tewas dibunuh anak tirinya, Anusapati, dengan keris Mpu Gandring itu sendiri.

Begitulah cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut sangat berbau fantasi layaknya roman silat. Akan tetapi, keberadaan Ken Arok dalam sejarah kemungkinan besar memang benar, karena dialah yang telah meletakkan dasar pendirian kerajaan Singasari yang pernah berjaya dan runtuhnya kerajaan Kediri yang pernah sangat berkuasa.

Namun Pramoedya memakai pendekatan lain. Dia menulis novel Arok Dedes dengan mengambil jarak terhadap mitologi dan fantasi dari cerita rakyat. Arok Dedes ditulisnya sebagai sebuah roman politik Jawa abad pertengahan, yang berkisah mengenai kudeta.

Arok, diceritakan oleh Pram, adalah seorang yang cerdas, kuat, dan pemberani dari kasta sudra yang tak jelas keturunannya, yang kemudian menjadi Brahmana setelah ditasbihkan oleh Lohgawe. Lohgawe yang merupakan Brahmana Syiwa, telah lama tidak puas dengan berkuasanya wangsa (dinasti) Isana (terutama kerajaan Kediri) yang beragama Hindu Wisnu. Arok yang senang merampok prajurit Kediri dan Tumapel, disiapkan oleh Lohgawe untuk menjadi penguasa baru menggantikan Wangsa Isana agar bisa memuliakan kembali Dewa Syiwa. Strategi pertama yang disiapkan adalah kudeta terhadap Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel sebagai daerah jajahan Kediri.

Tunggul Ametung dibenci oleh para brahmana selain karena dia Wisnu yang tak berpendidikan, juga karea dia telah menculik Dedes, anak Mpu Parwa, begawan Syiwa yang sangat berpengaruh, untuk dijadikan istrinya. Tunggul Ametung makin hari makin geram, karena banyak kawanan pemberontak dan perampok menyerang pasukannya. Kawanan perampok yang bergerilya tersebut adalah anak buah Arok yang ditugaskan untuk mengacaukan stabilitas Tumapel.

Lohgawe sebagai seorang brahmana berpengaruh, menganjurkan Tunggul Ametung agar menerima Arok sebagai prajurit yang akan meredam kerusuhan dari para pemberontak. Tunggul Ametung walaupun curiga akan keyakinannya yang Syiwa, tidak menyadari bahwa Arok adalah otak dibalik segala kerusuhan tersebut. Dedes pun dibuat terpesona oleh pengetahuan Arok akan ilmu dan bahasa. Lama kelamaan, pasukan Arok semakin berkuasa di Tumapel, dan Arok menjadi sangat berpengaruh dalam kotapraja Tumapel.

Semakin berpengaruh dalam pemerintahan, Arok semakin sadar bahwa bukan hanya dia seorang yang mempunyai rencana untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Ada Empu Gandring, ahli senjata, yang menyusupkan pengaruhnya dalam pasukan Tumapel untuk melakukan kudeta. Ada pula Yang Suci Belakangka, pendeta yang merupakan wakil resmi dari Kediri di Tumapel, yang menjagokan seorang tamtama bernama Kebo Ijo, untuk menggantikan Tunggul Ametung apabila sudah digulingkan.

Arok mengatur taktik dan strategi untuk melenyapkan mereka, sekaligus melenyapkan Tunggul Ametung tanpa secara frontal melakukannya sendiri. Dengan dibantu Dedes, Arok dapat melenyapkan Empu Gandring dan memecah belah pasukannya. Dia juga menangkap Yang Suci Belakangka. Kebo Ijo pun masuk perangkap Arok dan akhirnya dianggap sebagai tersangka utama yang membunuh Tunggul Ametung ketika tidur. Arok diangkat oleh Lohgawe sebagai Akuwu Tumapel yang baru setelah Tunggul Ametung tewas.

Membaca Arok Dedes, tidak bisa tidak saya langsung terbayang skenario Indonesia tahun 1965, dimana keadaan genting negara ini saat itu sangat menentukan perkembangan bangsa ini hingga masa mendatang. Saat itu Indonesia yang dipimpin Soekarno, marak akan kerusuhan dan pamer kekuatan. Ada banyak pihak yang diam-diam ingin menggulingkan Soekarno, baik luar maupun dalam negeri. Ada banyak pihak yang menunjukkan kekuatannya, baik kalangan komunis maupun kalangan agama. Ada juga pihak yang menyusun strategi agar bisa berkuasa tanpa terlihat seperti pihak yang menodongkan senjata untuk melakukan kudeta.

Mungkin kesamaan ini tidak disengaja. Justru disinilah pentingnya karya Arok Dedes. Dia bisa menjadi aktual pada segala jaman dan tatanan politik. Seolah roman ini adalah sebuah panduan praktis untuk melakukan kudeta. Ada agitasi, propaganda, dukungan logistik, pertautan kepentingan politik, permainan opini publik, dan spionase yang dibutuhkan untuk sebuah kudeta yang sukses. Itulah kenapa Arok Dedes sukses sebagai sebuah roman politik.

Sebagai sebuah roman sejarah, Pramoedya menunjukkan kelasnya. Memang Ken Arok dan Tunggul Ametung hanya muncul dalam kitab Pararaton, yang diperkirakan terbit pertama kali pada abad 13, yang sangat penuh mitologi dan fantasi. Akan tetapi Ken Arok sangat besar kemungkinan ada dalam sejarah, mungkin dengan nama yang lain. Jejak peradaban yang dibangun Ken Arok atau siapapun namanya, terbentang luas sampai berdirinya Majapahit. Ken Arok lebih dekat kepada fakta daripada tokoh-tokoh seperti Angling Darma atau Damar Wulan yang hanya merupakan mitologi Jawa dan murni fiksi.

Kekuatan historis dalam novel ini pun layak dibanggakan, dimana Pram secara fasih menggambarkan silsilah Wangsa Isana, juga menggambarkan sejarah Mataram dan Bali. Dalam suatu kesempatan, Pram bercerita mengenai seorang Empu Sedah, seorang jenius otodidak yang menulis Bharata Yudha yang agung, hanya untuk kemudian dihukum pancung oleh Raja Jayabaya pada usia 25 tahun. Atau dalam kesempatan lain Pram bercerita mengenai sejarah pemisahan negeri Kediri menjadi Daha dan Jenggala karena konflik antara dua keturunan Airlangga yang saling memusuhi. Kerangka waktu, fakta geografis, dan penokohan dalam sejarah diceritakannya dengan keakuratan yang cukup mencengangkan.

Harus diingat, Pram menulis roman sejarah ini di Pulau Buru nan terpencil, tanpa alat tulis yang layak, tanpa perpustakaan, pun tanpa Internet yang kala itu belum sepopuler sekarang. Saat itupun Pramoedya masih berstatus seorang tahanan, tidak seperti penulis bebas yang mempunyai segala hak untuk berekspresi. Dia ternyata hapal sejarah Nusantara di luar kepala. Bukan hanya itu, dia juga hapal latar belakang sosial dan politik yang mendasari terbentuknya sejarah tersebut.

Dalam menulis novel sejarah ini, Pramoedya menolak pendekatan mistis yang dipakai dalam penulisan tradisional Jawa, yang bahkan juga telah masuk dalam kurikulum pendidikan sejarah nusantara di sekolah-sekolah. Ketika saya SD, saya diajarkan di kelas mengenai kutukan keris Empu Gandring selama 7 turunan. Saya juga diajarkan mengenai Ken Dedes yang memiliki mata kaki yang bersinar yang menyilaukan pandangan Ken Arok. Pram menolak semua itu, dan mengajukan hipotesis yang meskipun sama-sama kabur faktanya, lebih logis dan mudah diterima akal sehat. Jadilah Arok Dedes menjadi roman politik berlandaskan sejarah, bukan hanya dongeng rakyat menjelang tidur.

Apa yang dilakukan Pramoedya menurut saya bukanlah revisionisme. Apa yang mau direvisi apabila sejarahnya sendiri kabur? Pram justru meletakkan dasar baru untuk historiografi. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah oleh sejarawan, mengingat tokoh-tokoh dalam buku ini tidak memiliki nama asli, seperti Tunggul Ametung, Ken Arok, Lohgawe, dan lain-lain.

Mengingat ini sebuah novel politik, Pramoedya tetap mempertahankan wilayah abu-abu untuk interpretasi. Dalam politik, tidak ada baik ataupun buruk, hitam ataupun putih. Dalam politik hanya dikenal yang kalah dan yang menang. Apakah Arok seorang pahlawan, ataukah dia seorang pembunuh berdarah dingin? Apakah Arok orang yang licik, atau dia orang yang bijak? Jawabannya bisa dua-duanya. Arok adalah perampok sekaligus brahmana yang tekun belajar agama. Arok adalah pejuang sekaligus penjahat perang. Arok adalah gabungan antara kasta Sudra, Satria, dan Brahmana sekaligus. Arok adalah seorang Buddha, pemuja Syiwa, juga pemuja Wisnu sekaligus. Arok, seperti pemenang lain dalam sejarah, adalah sebuah kontroversi. Dalam buku ini, Arok adalah pemenang, tapi suatu saat dia akan menjadi pecundang. Saat itulah ketika sejarah berbalik membencinya.

Sejarah adalah milik para pemenang. Apa yang kita ketahui dari seorang tokoh sejarah, tetaplah abu-abu. Napoleon kita kenal sebagai seorang megalomaniak, toh jutaan orang tertentu masih memujanya sebagai pahlawan? Apa yang kita ketahui tentang Soekarno, apakah dia seorang  pembebas ataukah seorang despot? Banyak orang mencintai Soekarno sampai mati, banyak pula yang justru ingin menggulingkan dan membunuhnya. Apakah Soeharto pahlawan pembangunan, ataukah seorang pelanggar berat hak asasi manusia? Jutaan orang menggulingkannya dari tahta tahun 1998, tapi sampai saat ini pun masih ada yang memasang fotonya dengan penuh kerinduan. Dunia tidak melulu dipenuhi oleh protagonis dan antagonis. Karena kalau begitu, sudah sejak dahulu kala bumi ini terbelah menjadi dua.

6 komentar:

  1. bukan masalah benar atau tidaknya kejadian yang ditulis di buku ini, karena toh ini adalah sebuah novel yang "hanya" untuk dinikmati pecinta buku. tapi hal yang seharusnya dilihat adalah betapa luar biasanya rangkaian kata yang ada, penggunaan bahasa yang tidak lazim namun berkelas, jalinan cerita yang selalu berpaut dari awal, tengah, sampai akhir. tidak mengherankan penghargaan, pengakuan, dan pujian dari negara-negara maju berhamburan.

    BalasHapus
  2. Setuju dengan komentar di atas. Bahkan saya merasa 'gumun' dengan kepiawaian Pram menyajikan cerita yang nyatanya membuat saya bertanya-tanya, referensi darimanakah tulisan arok dedes ini? Karena saya juga ingin menyelami juga. Tapi, apa yang terjadi pada kisah arok dedes, merupakan sebuah proyeksi dari kondisi bangsa kita.


    bacaanipeh[dot]web[dot]id

    BalasHapus
  3. Kita dibuat tercengang. Nuasan mistik yang lekat dengan roman Arok Dedes seluruhnya terusir.

    BalasHapus
  4. makasih gan atas resensinya, luar biasa. membantu sekali.

    BalasHapus
  5. Makasih resensinya bagus sebagai bahan pembelajaran novel sejarah

    BalasHapus