SPOILER ALERT!


SPOILER ALERT!
Bila Anda serius ingin membaca buku-buku yang saya bahas di bawah ini dan tak ingin ceritanya Anda ketahui sebelum membaca bukunya, sebaiknya Anda meninggalkan website ini dan mengunjunginya kembali setelah selesai membaca. Terima kasih.

Selasa, 22 Maret 2011

Moby Dick - Herman Melville

Suatu saat, di sebuah toko buku di sebuah pertokoan di daerah Pejaten, Jakarta, saya menemukan buku-buku klasik berbahasa Inggris dengan harga hanya Rp 30.000 saja. Tentu saja saya merasa girang bukan kepalang. Semuanya dipatok dengan harga yang sama, baik buku Leo Tolstoy, Charles Dickens, William M. Thackeray, Jane Austen, maupun penulis besar lainnya. Tidak mau merasa rugi (meski kalau dipikir lagi, agak naif logika saya waktu itu), saya memilih buku yang paling tebal. Buku yang paling tebal disitu adalah Anna Karenina karya Leo Tolstoy, yang ternyata saya sudah punya dan baca edisi bahasa Indonesianya. Saya mencari yang paling tebal kedua setelah Anna Karenina, menemukan buku Moby Dick karya Herman Melville.

Sejak dulu saya ingin membaca buku ini, tapi belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku setebal itu tentunya saya bayangkan akan menemani saya dalam perjalanan yang sering saya lakukan, sehingga terasa lebih asyik, ringan, dan cepat. Lagipula, Moby Dick termasuk ke dalam 100 novel terbaik sepanjang masa, dimana saya mempunyai ambisi terpendam untuk membaca semuanya.

Ternyata belakangan saya merasa salah memilih buku. Buku Moby Dick sangat sulit dibaca, apalagi dengan kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Buku ini sangat aneh dan memiliki struktur yang asing. Belum pernah saya membaca buku seperti tulisan Herman Melville ini. Alhasil, saya menghabiskan waktu hampir dua bulan untuk menghabiskan dan mencernanya.

Harus diingat, saya hanya sempat membaca di perjalanan, baik di kereta listrik maupun di lobi bandara. Sehari mungkin hanya bisa membaca 5-10 halaman, ditambah dengan kesulitan bahasa Inggris saya, jadi kadang lebih lambat lagi saya membacanya. Kadang setelah membaca beberapa halaman, saya balik lagi, membaca ulang, demi memahami apa yang sebenarnya tersirat dari kata-kata penulisnya. Sekarang setelah selesai membacanya, buku ini sudah tidak berbentuk, kucel dan keriting. Alih-alih merasa asyik dan terhibur, saya selalu mengernyitkan dahi ketika dalam perjalanan sambil membaca buku ini. Berat sekali. Tapi tak apalah, kepuasan menyelesaikan sebuah buku sungguh tiada tara rasanya.

Buku Moby Dick menurut saya 10 kali lebih rumit dari The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Ditambah lagi kenyataan bahwa Herman Melville adalah seorang ahli bahasa Inggris dan pendalam filsafat. Buku ini sulit dimengerti, terutama juga karena Herman Melville sendiri tidak berusaha keras untuk dimengerti oleh pembacanya. Dia tidak mengharap sembarang orang bisa menikmati bukunya. Namun setelah selesai membacanya, saya menjadi mengerti bahwa kerumitan dari buku ini adalah sebuah berkah. Setelah lama membaca dan mempelajari, saya semakin mengagumi buku Moby Dick ini sebagai sebuah buku yang hebat dengan tema yang luar biasa. Buku ini bercerita tentang perburuan seekor ikan paus, sementara buku ini sendiri bisa dianggap sebuah karya 'ikan paus' dari segi kebesarannya.

Melville seakan sedang terlibat dalam sebuah proyek mahakarya yang menggambarkan segalanya dalam sebuah buku fiksi, dan dia berhasil. Hasilnya adalah buku setebal 469 halaman dengan 135 bab yang menggambarkan perburuan ikan paus putih yang dijuluki Moby Dick, dimana si Moby Dick itu sendiri hanya muncul pada tiga bab terakhir. Jelas ini bukanlah sebuah novel laga, karena ada 132 bab lain yang tidak terkait dengan pertempuran melawan Moby Dick. Anda yang bermaksud membacanya untuk mencari aksi laga pertempuran melawan ikan paus raksasa yang buas Moby Dick, sebaiknya melupakannya.

Novel ini dimulai dengan kalimat pembuka yang sangat terkenal, yaitu, "Call me Ishmael." Narator dalam novel ini adalah Ishmael. Dia adalah seorang anak muda (yang ternyata digambarkan sebagai orang yang mempunyai referensi luar biasa) yang ingin ikut dalam sebuah kapal pemburu ikan paus. Pada masa itu, abad 19, minyak ikan paus adalah sumber energi utama karena minyak fosil belum banyak digunakan. Dia berteman dengan seorang pagan barbar yang kanibal bernama Queequeg, seorang penembak harpoon. Berdua mereka bergabung dengan kapal Pequod, yang berangkat dari Nantucket, yang dikomandoi oleh kapten Ahab, seorang tiran yang obsesif.

Kapten Ahab mempunyai dendam membara untuk membunuh ikan paus putih raksasa yang dijuluki Moby Dick. Ahab hanya mempunyai satu kaki, karena dalam perburuan sebelumnya Moby Dick merampas sebelah kakinya. Dibakar oleh kesumat, dia mengarahkan semua kru kapalnya untuk mengejar Moby Dick sampai ke ujung dunia dan membunuhnya. Kapal Pequod tak akan kembali sebelum berhasil membunuh Moby Dick, meskipun pada akhirnya Pequod memang tak pernah kembali ke Nantucket.

Yang aneh dari novel ini adalah, bahwa sang narator, Ishmael, dalam buku ini semakin dalam semakin menghilang perannya. Buku ini lebih mirip sebuah jurnal daripada sebuah novel, menggambarkan catatan perjalanan kru pelaut. Tapi bukan hanya itu, buku ini juga kadang menjadi buku yang sangat ilmiah, dengan pembahasan Cetology (ilmu tentang ikan paus) yang rinci. Pada suatu titik tertentu, buku ini berubah menjadi panduan yang detail tentang bagaimana cara berlayar dan berburu ikan paus. Kadang secara tak terduga penulis membawa kita ke perdebatan filsafat yang dalam dan pembahasan agama dan mitos-mitos. Dalam beberapa bagian tertentu, seolah buku ini berubah menjadi drama Shakespearean. Bahkan buku ini juga dalam beberapa sudutnya berubah menjadi sebuah buku puisi.

Ini adalah proyek besar Melville, dimana dia menggabungkan fiksi, biologi, puisi, drama Shakespeare, perdebatan filosofi, dan panduan menangkap ikan dalam satu buku. Proyek sebesar ini memerlukan stamina luar biasa dan kekayaan referensi seluas lautan itu sendiri. Melville menulis seakan dia berada di kapal itu ikut berburu ikan paus. Tapi dalam waktu yang sama, dia juga menulis seolah dia sedang melakukan perenungan yang dalam di sebuah perpustakaan ilmu. Dia bisa menjadi keduanya dengan sangat magis.

Herman Melville tak pernah mendapatkan gelar sarjana. Dia menulis tentang perburuan ikan paus karena dia memang pernah menjadi kru sebuah kapal pemburu ikan paus selama 14 bulan. Tapi dia adalah pembaca yang luar biasa. Dia seorang otodidak. Dia mempelajari segalanya sendirian, dari hasil pengamatannya dan membaca buku yang sangat banyak. Dalam novel ini (tidak seperti novel lain yang melulu fiksi) dia mengutip dan menceritakan pemikiran banyak sumber. Bible, Shakespeare, Milton, Sir Thomas Browne, Jefferson, William Scoresby, Champollion, John Locke, Immanuel Kant, dan masih banyak lagi. Dia juga membuat terobosan baru dalam dunia intelektual, yaitu dalam bab 32 tentang cetology, dimana dia mengklasifikasikan ikan paus ke dalam 3 kelas, Ikan Paus Folio (terdiri dari Sperm Whale, Right Whale, Fin Back Whale, Hump-backed Whale, Razor Back Whale dan Sulphur Bottom Whale), Ikan Paus Octavo (terdiri dari Grampus, Black Fish, Narwhale, Trasher, dan Killer Whale), dan Ikan Paus Duodecimo (terdiri dari Lumba-Lumba Huzza, Lumba-Lumba Algerine, dan Lumba-Lumba Bermulut Penuh). Melville membahas mengenai anatomi seekor ikan paus, dari paru-parunya, matanya, semburannya (spout), ekornya, tulang belakangnya, dan semuanya secara detail. Seakan Melville sedang menerbitkan sebuah karya ilmiah dalam sebuah novel. Novel seperti ini, untuk itu, adalah novel besar yang aneh dan susah dikategorikan. Ini adalah potret sebuah kekayaan pemikiran.

Melville sendiri menghabiskan satu tahun untuk menulis buku ini. Anda bisa bayangkan betapa luasnya referensi Herman Melville, betapa banyak dia telah membaca buku filsafat, buku drama, buku puisi, buku agama, dan buku zoology. Sebuah energi yang dahsyat yang diperlukan Melville dalam menulis buku ini kalimat per kalimat. Seandainya dia hidup di jaman sekarang, dimana informasi dapat diperoleh dengan mudah memakai internet, mungkin dia akan menjadi raja pengetahuan.

Ini bukan buku yang mudah yang pernah saya baca. Bahkan untuk orang Amerika sendiri, buku ini sempat dianggap tidak berarti. Itu mengapa saya kira kita belum menemukan terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia. Buku ini terlalu susah untuk diterjemahkan, juga sulit dicerna oleh pembaca. Tapi saya beruntung telah membacanya. Setelah membaca buku ini, saya seperti telah melangkah melewati batas pemikiran yang selama ini ada sebagai konvensi. Sekali lagi, buku ini membuat saya kagum luar biasa. Saya telah membacanya. Seperti Yunus, saya membiarkan diri saya ditelan oleh ikan paus, dan kembali dengan selamat. Anda berani?

9 komentar:

  1. Untuk memudahkan Anda dalam membaca buku ini, Anda dapat mendapatkan bantuan di http://www.mobydickthewhale.com
    disana ada ilustrasi bergambar, vocabulary, dan analisis.
    mungkin bisa membantu Anda. semoga bermanfaat.
    Bagi saya sih, tidak membantu sama sekali. Seperti yang Anda ketahui di atas, saya membaca buku ini di kereta, sangat susah bagi saya untuk mengakses internet dari kereta listrik.

    BalasHapus
  2. Oh ya, bukan dalam rangka promosi nih, saya tidak dibayar sepeserpun, tapi kabar baik harus selalu diteruskan.
    saya mendapatkan buku klasik terbitan wordsworth ini di toko buku Times di Pejaten Village. saya sudah cek, dan ternyata di setiap cabangnya juga berlaku harga khusus ini, yaitu Rp 30.000. ada Tolstoy, Dickens, Jane Austen, Mary Shelley, dan lain-lain.

    BalasHapus
  3. Wah, kabar baik. Saya masih plesir sampai sekarang untuk menemukan buku ini. Tapi masih kesulitan, sempat saya datangi pasar tiban daerah solo dan mendapat beberapa buku klasik berbahasa asing dengan harga sangat murah (mark twin, tepehen king, regan bahkan Harry potter yang masing2 hanya 10ribu saja) tapi juga belum ketemu dengan karya Melville ini. Thanks infonya :-)

    BalasHapus
  4. Bisa tau ga dimana beli novel ini secara online?

    BalasHapus
  5. Bisa tau ga dimana beli novel ini secara online?

    BalasHapus
  6. ada gak yang punya novel beginian di indonesia?

    BalasHapus
  7. Jujur saya tertarik karena saya pikir novel ini menceritakan tentang laga. Tapi sepertinya saya salah, ya. Waktu saya mulai di halaman pertama, saya sudah kesulitan memahami isinya. Kemampuan bahasa Inggris saya juga pas-pasan. Setelah membaca review ini, saya jadi sedikit ragu apakah harus melanjutkannya atau tidak. 😂😂😂

    BalasHapus